๑ ⩩ 𖥨 Ramen.

Pistachio mengaduk-aduk kuah ramen di depannya dengan tampang muram. Bahkan ia tidak menghiraukan Hazel yang asik memindahkan sayur ke mangkuknya padahal Chio benci sayuran.

“Kenapa lagi sih, Prince Chi? Makan bareng udah gue turutin nih..” Celetuk Hazel menyadarkan Chio dari lamunannya.

Yang disindir hanya nyengir dan buru-buru menyeruput ramen yang ia pesan walau dengan terpaksa. Belum beberapa menit, wajah lesu itu kembali lagi di wajah Chio.

Ia masih kepikiran pacarnya, Azura. Pacarnya itu memang selalu sibuk saat musim ujian. Azura anak yang sangat penurut dan baik, ibunya sangat ketat jika menyangkut akademis. Bahkan kali ini, Azura sudah mengikuti sepuluh kali les dalam seminggu.

Senin, untuk les renang dan biola. Selasa, les kerajinan dan matematika. Rabu, ada futsal dan pembuatan tembikar, selanjutnya kamis, les piano dan komputer yaitu hari ini. Jumat, les masak dan kepribadian.

Entah bagaimana Azura melakukan semua itu, tapi di akhir pekanpun pacarnya itu masih saja sibuk entah dengan sekolahnya maupun dengan teman-teman lesnya. Chio merasa waktu untuk dirinya tersingkirkan.

Yang di depannya saat ini adalah tetangga juga sahabat Chio sejak kecil sekaligus MANTAN pertamanya. Iya. Lelaki bernama Hazel yang sedang tolah-toleh sambil menyeruput ramen ini adalah mantan kekasih Chio. Putus karena Hazel tidak sengaja menginjak buntut anjing peliharaan kakak Chio, Alasan yang konyol.

“Lu kalo gak dimakan, gue makan nih..” Ancam Hazel dengan ancang-ancang hendak merebut mangkuk milik Chio.

“Gue lagi galau, gila. Lu gak liat?” Jari Chio menunjuk ke ekspresi wajahnya sendiri.

“Hehe, emang kenapa?”

“Pacar gue. Azura.”

Tangan Hazel berhenti menyumpit ramen di depannya sejenak mendengar nama itu disebut. Hazel kenal Azura, Chio yang mengenalkan. Azura juga tahu mereka berdua pernah pacaran dan tidak masalah kalau mereka main bersama karena ya Chio dan Hazel kan sahabat kecil baginya, lagipula itu masa lalu, munkin hanya cinta monyet saja, pikir Azura. Padahal masih ada yang menyimpan rasa sampai sekarang.

“Bener-bener dia tuh nurut banget sama mamahnya! Gue pikir pacaran sama anak lugu, kutu buku yang belajar mulu tuh gak bakal sesusah ini.. Iya sih gue jadi yakin dia gak bakal selingkuh, tapi KAYAK gak ada waktu buat gue tau, Zel.” Tanpa sadar ramen yang masih panas masuk ke mulut Chio sambil ia ceritakan Azura dengan berbagai gerakan tangan.

“Elu sih pacaran sama anak baik-baik.”

“Kudunya pacaran sama berandalan kayak lu gitu?”

“HAHAHAHA.”

“Bokap, Nyokap, bahkan Kakak gue setujunya ya sama si Azura. Gue benci backstreet.. lu tau sendiri kan?” Chio menghela nafas sesaat. “Gue juga sayang dia...” Tambahnya, kali ini raut Pistachio sudah seperti anime dalam adegan menyedihkan.

“Chi..” Dengan lembut, tangan Hazel mengusap lembut surai coklat legam Chio, yang diusap hanya melirik pasrah. “Anggep aja gue Azura lu hari ini, hari ini aja tapi..” Ucap Hazel meledek di akhir ucapannya.

Chio menatap Sahabatnya yang juga mantannya itu dengan pandangan sayu, Hazel terkekeh polos sambil terus mengacak-acak rambut Chio.

Terbesit di kepala Chio sesaat, jika begini terus bisa-bisa ia disebut selingkuh dengan Hazel. Chio paham Azura sibuk untuk masa depannya, tapi ini benar-benar terlalu menyiksanya. Ia bukan orang yang bisa ditinggalkan dan jarang dihubungi. Terkesan terlalu manja jika tidak mengalaminya sendiri. Chio adalah tipe orang yang berpacaran dengan bertemu setiap hari dan bercanda bersama pasangannya. Bukan seperti sekarang ini.

“Zel, lu sendiri sama si Fawn itu gimana?” Entah kepikiran pertanyaan darimana, tapi satu-satunya topik yang muncul di kepala Chio adalah membahas pacar Hazel.

Saat ini mereka berdua memang sama-sama memiliki kekasih.

“Tuh orang sibuk acara kampus mulu, males gue.. lu bayangin ngechat gue cuma buat nyuruh jajan risol danusan dia?” Ekspresi Hazel langsung berubah kesal.

Hubungan yang mereka berdua jalanipun sama-sama bermasalah.

“Hahaha, terus lu beli?”

“Terpaksa..”

“Berarti sama dong ya..”

“Maksudnya?”

“Gue ditinggal belajar, lu ditinggal danusan.”

“Punya gue agak gimana gitu ya..”

Keduanya tertawa terpingkal-pingkal tanpa kehabisan topik satupun, toko ramen yang tadinya ramai pun sampai berubah sepi karena mereka betah berlama-lama disana.

Entah perasaan apa itu, tapi hal yang tidak dapat dijelaskan itu hanya datang saat Pistachio bertemu Hazel, begitupun sebaliknya. Tanpa merasa takut akan mengganggu dan membuat risih, mereka berbicara sesuka hati membahas hal-hal yang sangat nyambung di antara mereka.

Toko ramen hampir ditutup, keduanya pulang berjalan kaki sambil masih terus bercanda. Kebetulan toko ramennya memang tidak terlalu jauh dari rumah mereka.

“Oh iya, Chi. Lu dulu mutusin gue tuh kenapa sih?” Pertanyaan spontan yang Hazel keluarkan membuat Chio otomatis gelapan.

Malu sekali kalau harus mengaku bahwa itu semua gara-gara kakaknya yang mengomel dari pagi sampai malam karena buntut anjingnya tidak sengaja terinjak oleh Hazel saat sedang lari-larian di depan rumah Chio. Hazel juga bukannya tidak bertanggung jawab atas anjing kakaknya, ia sempat membelikan obat dan berniat mengajak ke dokter hewan tapi kakak Chio yang galak itu terlanjur murka.

“Gara-gara.. lu nginjek buntut anjing peliharaan kakak gue lah.. apalagi?” Walau sedikit ragu tapi akhirnya Chio mengaku.

“Lu inget kan, setelah kejadian itu kita gak nyapa seminggu.. itu kakak gue yang nyuruh, maaf juga tiba-tiba minta putus lewat sms hehe.” Chio tertawa canggung.

”.....Gara-gara itu?”

“I-iya..”

Hazel melamun sesaat membuat keheningan di antara mereka berdua. Ia lalu berdiri mematung di tempatnya membuat langkah Chio ikut terhenti. Hazel kepikiran atas alasan Chio memutus hubungan mereka selama ini, tahun-tahun berlalu dan ternyata.. itu alasannya?

“Chio.”

“I-iyaa iyaaa maaf, gue kan kudu nurut kakak gue..”

“Bukan itu.”

“Apa?”

Secara mendadak Hazel mendekatkan badannya ke arah Chio yang langsung mendongak menatap kaget. Yang lebih tinggi menunduk sambil menatap detail mata berwarna coklat terang milik lawan bicaranya. Chio meneguk ludah berdebar.

“Berarti.. lu masih sayang gak sama gue?”

Setelah pertanyaan itu keluar dari mulut Hazel, tidak ada jawaban dari Chio dan hanya bunyi jangkrik yang beradu di belakang mereka. Pistachio masih termenung menatap Hazel tidak menemukan jawaban yang tepat untuk itu. Ia yakin perasaannya sudah hilang namun setelah dipikir kembali, apakah benar sudah hilang? Atau hanya dia yang berusaha melupakan perasaan itu karena terdoktrin kakaknya? Chio hanya terdiam dan menggigit bibir bawahnya.

Merasakan atmosfir mereka yang terasa kaku, Hazel menjauhkan jarak mereka dan memimpin jalan. Seolah hal barusan tidak pernah terjadi dan sibuk menyapa anjing jalanan yang tidak sengaja lewat. Chio yang masih kalut dalam pikirannya sendiri, memilih tidak memperdulikan lagi kejadian tadi sama halnya dengan Hazel, walau otaknya masih.

Pistachio di antar sampai pintu depan oleh Hazel, biasanya hanya sampai pagar saja karena Kakak Chio pasti akan memarahinya kalau sampai ketahuan. Tapi mereka sekarang sudah dewasa, Chio pasti akan balik memarahi Kakaknya kalau sampai itu terjadi.

“Darimana?” Itu Gray. Lelaki berperawakan sengit yang tidak lebih tinggi dari Hazel. Kakak Chio.

“Makan ramen sama Hazel, kak..” Chio menjawab lesu, lelah berdebat.

“Hai kak, hehe.. lama gak jumpa! Apa kabar?” Dengan berusaha sedikit ramah walau canggung, Hazel menyapa.

“Gak. Baik.” Jawab Gray ketus.

“Makasih udah anterin adek gue. Makasih juga udah injek buntut Bubu-”

“Ya ampun kak itu kan udah lama berlalu? Bubu juga masih sehat..” Sanggah Chio.

Dilanjut omelan oleh Gray yang mengharuskan Chio menyuruh Hazel untuk segera pulang sebelum pertengkaran melelahkan terjadi di rumahnya. Sangat memalukan jika harus mengatakan semua itu karena buntut anjing.