(n) ; blu-bio-philè | an author who loves rain and her character so much.

Amnésie.


Bagaimana rasanya menjadi saksi dari cerita tragis antara dua insan yang saling jatuh hati namun keduanya ditentang oleh takdir?


Wonjin termangu, menatap cangkir tehnya dengan pandangan kosong sembari bertopang dagu. Kalau boleh jujur, dia lelah menjadi jembatan penghubung sekaligus human diary bagi kedua sahabatnya; Jungmo dan Minhee.

Awalnya, kisah mereka berdua begitu manis. Menghantarkan perasaan hangat dan gemas untuk siapapun yang melihatnya, termasuk Wonjin. Hubungan Jungmo dan Minhee berjalan dengan baik, mereka saling mencintai, juga saling memiliki hati masing-masing. Hari-hari keduanya selalu dihiasi dengan canda tawa, membuat tak sedikit orang yang iri dengan hubungan mereka.

Kalau boleh jujur, Wonjin memiliki perasaan lebih pada Jungmo. Namun, dia tidak setega itu untuk bersikap egois karena kedua sahabatnya memiliki rasa yang sama. Maka dari itu, Wonjin memutuskan untuk menyimpan hal ini rapat-rapat.

Wonjin menghela nafas pelan lalu meninggalkan cangkir tehnya di meja kantin rumah sakit. Kedua kaki jenjangnya membawanya menuju ruang perawatan milik sahabatnya, Jungmo. Wonjin mengetuk pintu dengan pelan, lalu beranjak memasuki ruangan dengan nuansa putih gading dan bau obat-obatan yang mendominasi. Ia melihat sosok Jungmo yang sedang memfokuskan netranya pada pemandangan di luar kamar inapnya.

“Jungmo.”

Wonjin menginterupsi. Yang dipanggil menolehkan wajahnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Wonjin sudah terbiasa dengan hal itu, ia hanya melempar sebuah senyuman kecil di wajah lelahnya.

“Apa aku mengganggumu?”

“Tidak, aku hanya berdiam diri. Apa Minhee belum mau menemuiku?”

'ah ternyata masih sama..'

Wonjin membatin dan menggeleng pelan sebagai jawaban. Ia bingung harus menjelaskan apa pada Jungmo. Fakta bahwa Kang Minhee, sosok yang selalu terpatri di lubuk hati terdalamnya, kini sudah terbaring kaku dan kembali menyatu bersama sang bumi. Jungmo terlihat lesu ketika lagi-lagi ia mendapat gelengan dari Wonjin, ia merindukan Minhee.

Wonjin berjalan mendekati Jungmo, dan duduk di samping ranjang sahabatnya itu. Ia meraih tangan Jungmo dan mengusapnya dengan lembut, berusaha menyemangati sahabatnya yang kini terlihat murung.


8 bulan lalu

Jungmo dan Minhee sedang berkencan, bersama dengan Wonjin dan Serim. Berbicara tentang Serim, ia adalah sosok yang kini resmi menyandang status sebagai kekasih Wonjin. Keempatnya saling berbagi cerita dan tawa sembari menyantap beberapa hidangan ringan di cafe yang mereka singgahi saat ini.

Jam demi jam mereka lalui dengan suka cita, hingga Jungmo dan Minhee berpamitan untuk pulang karena sudah larut malam dan Minhee harus mendatangi acara penting esok paginya.

Wonjin dan Serim mengiyakan dan melambaikan tangan sebagai simbol perpisahan, tanpa mengetahui bahwa malam itu adalah petaka bagi Jungmo dan Minhee.

Selama di perjalanan pulang, Jungmo dan Minhee masih berbincang ringan dan sesekali tertawa karena guyonan Minhee.

“Besok habis acara aku jemput ya?”

Tawar Jungmo pada Minhee.

“Jangan deh, besok aku pergi sama keluarga. Jadi, kamu ga perlu repot-repot jemput ya. Pake istirahat aja oke?”

Jungmo terkekeh kecil lalu mengangguk sebagai jawaban untuk pernyataan Minhee.

Semuanya berjalan lancar, sebelum sebuah truk yang hilang kendali melewati pagar pembatas dan menabrak mobil yang ditumpangi oleh Jungmo dan Minhee. Tabrakan itu tidak bisa dihindari, dan berakhir mobil milik Jungmo yang ringsek dengan Jungmo dan Minhee yang sama-sama tidak sadarkan diri setelah benturan keras itu terjadi.

Suara sirine ambulans dan polisi bersahut-sahutan, menimbulkan polusi suara yang memecah heningnya malam. Supir truk dinyatakan tewas di tempat, sedangkan Jungmo dan Minhee berada dalam kondisi kritis.

Wonjin tersedak ketika melihat breaking news yang ditayangkan di televisi yang berada di cafe tempat mereka berkumpul tadi.

“Kak Serim... lihat beritanya..”

Wonjin meremat tangan Serim dengan erat dengan raut wajah khawatir, keringat dingin juga terlihat menuruni dahi Wonjin. Serim mengarahkan netranya pada televisi di pojok ruangan dan terdiam, tidak tahu harus merespon apa ketika dirinya melihat mobil Jungmo yang ringsek, juga dua orang yang menjadi korban dalam kecelakaan malam ini. Serim menggenggam tangan Wonjin erat, berusaha menguatkan kekasihnya yang kini menangis dalam diam.

Gawai Wonjin berbunyi, dan Serim mengangkatnya. Wonjin memperhatikan, pun mendengarkan obrolannya. Serim segera mengajak Wonjin untuk keluar dari cafe dan bergegas menuju rumah sakit.

Sesampainya mereka di rumah sakit, Wonjin kembali menumpahkan air matanya ketika melihat Minhee yang sudah terbujur kaku di IGD. Hati Wonjin mencelos, Minhee sudah tidak ada, dan Jungmo mengalami koma. Dunianya seolah runtuh, Wonjin hanya bisa terdiam di pelukan Serim. Ya Tuhan, apa yang harus ia katakan pada Jungmo begitu Jungmo sadar?

-

3 bulan berlalu, Wonjin dan Serim sedang berada di kamar tempat Jungmo dirawat. Wonjin mengelus pelan punggung tangan Jungmo sembari melafalkan doa agar sahabatnya itu terbangun dari tidur panjangnya.

Tak lama, Wonjin merasakan adanya gerakan dari tangan Jungmo dan diikuti dengan Jungmo yang mulai membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk ke retinanya. Wonjin terkejut, dan memekik girang. Serim segera memanggil dokter begitu melihat Jungmo sudah tersadar sepenuhnya.

“Jungmo.. Ya Tuhan.. akhirnya kamu bangun..”

Jungmo menatap Wonjin, lalu mengernyit heran.

“Minhee.. mana Minhee? Kamu.. siapa?”

Dunia Wonjin runtuh begitu mengetahui bahwa Jungmo, sahabatnya kini mengalami amnesia dan skenario terburuknya adalah.. Jungmo melupakan dirinya, dan hanya mengingat Minhee.


“Wonjin?”

Wonjin mengangkat kepalanya begitu mendengar namanya dipanggil. Jungmo menatapnya dengan lekat, membuat Wonjin sedikit gugup dibuatnya.

“Katakan yang sejujurnya.. Minhee kemana?”

Wonjin menelan ludah, haruskah dia menceritakan hal yang sebenarnya terjadi pada Jungmo?

“Minhee..”

Nafas Wonjin tercekat, ia takut untuk melanjutkan kalimat selanjutnya.

“Minhee sudah tenang, Jungmo.. Nyawanya tidak terselamatkan.”

Wonjin mampu melihat Jungmo yang terkejut dan menangis sejadi-jadinya saat itu juga. Hati Wonjin mencelos begitu melihat betapa hancurnya Jungmo saat ini, dan ia hanya memilih untuk diam sembari mengelus pelan punggung Jungmo.


Bulan demi bulan berlalu, kini Jungmo memberanikan dirinya untuk mengunjungi makam Minhee. Memberikan beberapa tangkai lili putih pada sosok yang dia sayangi sepenuh hati. Ia mengusap lembut nisan Minhee sembari berbisik,

“Maaf aku baru mengunjungimu hari ini. Maaf karena aku tidak bisa melindungimu dan menghadiri pemakamanmu. Berbahagialah disana, Minhee. Aku juga akan berbahagia disini. Kau tahu kan, aku akan selalu menyayangimu sepanjang hidupku. Beristirahatlah dengan damai, separuh rusukku.”

.

fin