(n) ; blu-bio-philè | an author who loves rain and her character so much.

How it ends.


Ada banyak hal yang Jaehee suka dari Jeongwoo; Parfumnya, Suaranya, dan mungkin segala sesuatu yang berbau Jeongwoo. Katakan ia bucin karena ya, kenyataan begitu. Hubungan mereka terbilang damai; terisi dengan tawa dan suka cita yang mewarnai setiap sudut monokrom di hati masing-masing. Jaehee dengan sifat lembutnya, dan Jeongwoo dengan keasikannya, kombinasi yang sempurna bukan?

Tak pernah terlintas di benak Jaehee bahwa hubungan mereka akan menemui babak penutupnya pada malam ini, di apartemennya. Jeongwoo, lelaki itu tengah sibuk menundukkan kepalanya; merangkai kalimat yang harus ia lontarkan pada sosok Jaehee yang membisu di depannya.

“Jadi?” Jaehee membuka suara, tidak tahan dengan keheningan yang menerpa mereka.

Jeongwoo mengangkat kepalanya. Menatap manik coklat gelap itu dengan dalam, menelisik setitik kekhawatiran, dan rasa takut yang menyelimuti kedua manik indahnya. Jeongwoo masih terdiam sembari mengamati Jaehee yang kini menggigit bagian bawah bibirnya; gelisah, hingga akhirnya Jeongwoo menghela nafas pasrah.

“Aku mau kita udahan, Jahe.”

Jaehee termangu. Ia menatap Jeongwoo dengan tatapan tidak percaya sembari menelisik kebohongan di manik pacarnya itu. Namun, nihil; dia tidak menemukan kebohongan disana.

“Aku.. bikin salah ya?”

“Nggak.”

“Terus.. kenapa tiba-tiba?”

“I lost the spark, Jahe. Our relationship has meeting its waves of deadness.”

Jeongwoo menghela nafasnya pelan, mengumpulkan semua tenaganya untuk mengutarakan sisa kalimatnya.

The butterflies isn't there anymore. I lost the excitement, Jahe. Rasanya beda, aku udah nyoba buat balikin semuanya. Tapi nihil, aku ngga bisa. Semakin dipaksa, rasanya semakin memuakkan. Maaf Jahe, maaf karena harus mengakhiri semuanya di bagian klimaks dari cerita kita sebelum aku berhasil bikin akhir yang bahagia buat kamu.”

Jeongwoo meraih tangan Jaehee yang terlihat berusaha keras untuk menahan isak tangisnya agar tidak tumpah, dan mengelusnya dengan lembut.

Maaf karena aku bukanlah akhir bahagia yang kamu cari, Jahe. Maaf karena aku ditakdirkan hanya untuk singgah, bukan menetap. Juga, maaf karena aku ngga ngasih tau ini ke kamu ketika kita masih berhubungan, dan bohongin kamu dengan semua kalimat manis dan hal lainnya selama sebulan ke belakang. I'm really sorry, Jahe.

Kacau.

Kacau sudah hati dan pikiran Jaehee, seluruh energinya dan kebahagiaannya seperti direnggut dalam satu tarikan nafas. Nafasnya memburu, air matanya perlahan berjatuhan, membasahi pipinya. Isakan demi isakan mulai mewarnai telinga Jeongwoo.

Oh tidak.. dia tidak mau melihat ini.

“Jeongwoo..” Jaehee menggenggam tangan Jeongwoo dengan erat, dan menatap dua manik obsidian milik Jeongwoo dengan lekat.

“Bercandanya ngga lucu lho... kamu lagi bercanda kan?”

Jeongwoo menggeleng pelan, “Ngga, aku ngga bercanda Jaehee.”

Ia melepas genggaman tangan Jaehee dan memutus kontak mata mereka sembari membawa jaket yang tersampir di bahu sofa apartemen Jaehee.

“Maaf Jaehee, aku pamit ya?” Jeongwoo melangkah menjauh, meninggalkan Jaehee yang kini tenggelam dalam isak tangisnya seorang diri.