(n) ; blu-bio-philè | an author who loves rain and her character so much.

'Sore ini mendung kembali memeluk langit Surabaya. Menghiraukan derasnya arus kendaraan di bawah kungkungannya. Semilir angin sejuk turut membelai kulit dengan lembutnya. Membuai setiap insan yang dilaluinya untuk bergegas pulang ke rumah. Decitan rem serta raungan klakson saling bersahutan, menciptakan kebisingan yang tiada tandingnya.

Rintik hujan perlahan turun membasahi kulit bumi. Menciptakan suatu aroma khas yang mungkin bisa menghipnotismu untuk lari dari kesibukan dunia. Membawamu berlarian di tengah padatnya jalanan kota, juga di padang fana bernama rindu.'

Nida, sosok gadis yang kini terdiam manis sembari menikmati hujan di balkon rumahnya, terkekeh kecil ketika mendengar rekaman podcast yang sedang ia putar beberapa saat yang lalu. Nida melepas earphone yang bertengger manis di telinganya sembari mengingat salah satu kalimat yang mungkin akan menjadi favoritnya mulai saat ini.

ㅡ 'Bukankah hujan begitu konyol? Dia menciptakan sebuah fantasi tentang kerinduan dan rasa kehilangan yang tak berdasar pada apapun.'

Nida melangkahkan kakinya menjauhi balkon. Langkah ringannya berhenti di depan counter dapur, membuat netranya terpaku pada dua gelas teh hangat lengkap dengan sepiring gorengan yang nampak menggoda untuk dicicipi. Mamanya? Tidak mungkin, mamanya sudah mengirim pesan bahwa hari ini beliau akan pulang malam. Ayahnya? Juga tidak mungkin, beliau sedang di luar kota untuk mengurus kerjaannya. Lalu, siapa?

“Oh, aku kira kamu masih belajar. Baru aja aku mau ngajak nyemil.”

Nida terperanjat ketika sebuah suara menyapa kedua telinganya. Nida menolehkan pandangannya dan menemukan sosok tetangganya yang terkekeh pelan. Nida ingin mengumpat, tapi bukankah tidak sopan jika kita mengumpat di depan makanan? Apalagi ini gorengan, big no.

“Kak Yoga kenapa ngagetin sih? Hampir aja aku ngira ada penghuni ghaib di rumah!”

Nida menyilangkan kedua tangannya di depan dada sembari mencebikkan bibirnya. Lucu, batin Yoga.

Yoga mengelus pelan surai Nida, “Memangnya aku gaboleh datang kesini? Aku denger dari mama kalau kamu lagi sendirian, makanya aku bawain gorengan. Tadi, niatnya mau aku bawain ke kamar, tapi ternyata kamu udah ke dapur duluan. Yaudah deh.”

Rona merah tampak menghiasi pipi Nida. Yoga yang melihatnya hanya terkekeh kecil sembari mengajak Nida untuk duduk dan menikmati gorengan yang sudah dibawanya.

Nida mengambil satu mendoan dari piring dan mulai menyantapnya dengan santai. Begitupula Yoga. Keduanya terlibat dalam obrolan santai tentang permasalahan uliah Yoga dan kesibukan Nida untuk persiapan UTBK.

“Nid, ada saus di tepi bibir kiri kamu.”

Yoga menyodorkan selembar tisu pada Nida, yang direspon dengan baik oleh Nida. Nida membersihkan sisa saus di tepi bibirnya dan melanjutkan makannya setelah menggumamkan kata terima kasih pada Yoga.

“Kak, kakak pernah ngga jatuh hati sama orang terdekat kakak?”

Sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Nida, yang mana berhasil membuat Yoga tersedak gorengannya. Nida yang melihatnya buru-buru menyodorkan gelas tehnya pada Yoga. Yoga menegak sisa teh hangat di gelasnya dengan rakus.

“Eh, maaf kak. Aku gamaksud bikin kakak kaget.”

Yoga menggeleng pelan sebagai jawaban, “Gapapa dek, aku ga expect aja kamu nanya gini ke aku.”

Nida hanya menggaruk pelipisnya sembari terkekeh. Canggung. Yoga kembali mengambil mendoan dan menatap Nida yang sepertinya mati canggung.

“Kalau kamu nanya soal pernah jatuh hati atau engga, maka jawabannya pernah. Orang ini cinta pertama kakak, tapi kakak gaberani buat confess karena kakak tahu dia sedang berjuang untuk masa depannya.”

Yoga bangkit dari tempatnya dan mengambil segelas air. Nida masih terdiam sembari menatap setiap kegiatan tetangganya itu.

“Kamu mau tahu ngga siapa orangnya?”

Nida menatap Yoga dengan ragu, “Memangnya boleh?”

Yoga terkekeh lalu menyodorkan segelas air pada Nida, “Boleh kok.”

Setelahnya Nida hanya mengangguk kecil.

“Orangnya ada di depan kakak, lagi megang mendoan, pakai hoodie abu-abu.”

Butuh waktu sepersekian detik sebelum mendoan yang Nida pegang terjatuh, dan sadar bahwa yang dibicarakan oleh Yoga adalah dirinya.

“Kak Yoga bercanda ya? Gamungkin ah.”

Nida mengibaskan tangan di depan wajahnya, tak percaya.

“Ngapain kakak bercanda. Emang beneran kamu kok.”

Kali Nida dibuat terpaku karena sebuah ciuman hangat yang mendarat di dahinya.

“Untuk saat ini aku kasih di dahi, suatu saat nanti aku kasih disini kalau udah mukhrim.”

Yoga menyentuh bibirnya sembari tertawa renyah. Sebelum telinga Yoga menjadi korban ocehan Nida, maka Yoga bergegas keluar dari dapur.

“KAK YOGAAAAAAAAAAA!”