(n) ; blu-bio-philè | an author who loves rain and her character so much.

Tentang Bulan dan Matahari.

Temaram, dan sunyi. Malam ini aku kembali termenung, menatap jendelaku dengan penuh tanya dalam akalku. Entah apa yang membuatku hampir terjaga setiap malam, rasanya menyebalkan. Tapi, di sisi lain rasanya sangat menyenangkan.

Aku menutup mataku sejenak, ratusan memori dalam otakku mulai berebutan untuk menampakkan diri. Seolah ingin agar aku memimpikan sosok yang mereka bawa dari masa laluku.

“𝗞𝗮𝗺𝘂 𝘁𝗮𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮 𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵 𝗿𝗼𝗺𝗮𝗻𝘀𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻?”

Aku membuka netraku perlahan; merasa tidak asing dengan salah satu cuplikan memoriku dulu.

“Kisah mereka terlalu pilu untuk diceritakan, cinta sepihak yang tak akan pernah menemukan titik untuk dapat bersama.” bisikku.

Terdengar kekehan kecil keluar dari bibirnya, “𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗺𝗮𝘂 𝘁𝗮𝗵𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗿𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮?”

Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya. Walau aku tahu dia tidak akan pernah bisa melihat anggukanku.

“𝗕𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶, 𝗮𝗽𝗮𝗸𝗮𝗵 𝗶𝘁𝘂 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮. 𝗠𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗮𝘁𝗮𝗽 𝘀𝗮𝗻𝗴 𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗻𝘆𝘂𝗺 𝗴𝗲𝘁𝗶𝗿 𝗱𝗶 𝘄𝗮𝗷𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮, “𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗺𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗵𝗮𝘁𝗶𝗺𝘂 𝘁𝗲𝗿𝗯𝗮𝗸𝗮𝗿.” 𝗕𝘂𝗹𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶 𝗮𝗽𝗮 𝗺𝗮𝗸𝘀𝘂𝗱 𝘀𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗶𝘁𝘂.”

Kuresapi setiap kata yang keluar dari bibir kecilnya sembari berpikir, entah kenapa rasanya aku tidak asing dengan obrolan ini.

“𝗡𝗮𝗺𝘂𝗻, 𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗱𝗮𝗿 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗸𝗱𝗶𝗿. 𝗦𝗲𝗺𝗲𝘀𝘁𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗿𝗲𝘀𝘁𝘂𝗶𝗻𝘆𝗮, 𝗯𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗺𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗻𝗴𝗶𝘁 𝗽𝘂𝗻 𝘁𝘂𝗿𝘂𝘁 𝗺𝗲𝗻𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮.”

Tunggu, kenapa mataku memanas?

“𝗦𝗮𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗮𝗸𝘂 𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝘀𝗮𝗻𝗴 𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻, 𝗱𝗶𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗸𝗮𝘁𝗮 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗱𝗶𝗮 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮𝗶 𝘀𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝘄𝗮𝗹𝗮𝘂 𝗱𝗶𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗿. 𝗕𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗸𝗮𝘁𝗮 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗺𝘂𝗻𝗴𝗸𝗶𝗻, 𝗱𝗶𝗮 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮𝗶 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗻𝘂𝗵 𝗵𝗮𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮.”

Tanpa sadar, pipiku kini sudah basah. Dihujani oleh air mata yang berdesakan keluar dari pelupuk netra.

“𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻𝗸𝗮𝗵, 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗿𝘁𝗶 𝗸𝗶𝘁𝗮? 𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗸𝘂 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻. 𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮𝗺𝘂 𝗮𝗸𝘂 𝘁𝗮𝗸 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁. 𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮𝗸𝘂, 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗶𝗻𝗮𝗿 𝘁𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴. 𝗕𝗲𝗻𝗮𝗿 𝗯𝗲𝗴𝗶𝘁𝘂 𝗸𝗮𝗻?”

Satu hal yang membekas dalam memoriku adalahnya senyumnya. Teduh layaknya langit, dan menenangkan layaknya lautan. Entah apa yang kini aku pikirkan, tetapi ingatan itu berhasil membuatku luruh dalam sendu malam ini.