Pie’s collection of midday and midnight thoughts

[Rectoverso: Ikjun's Side]

-iksong-


“Aku takut jadi bahan gosip di rumah sakit jika hasilnya buruk.” gumam Songhwa sembari menghela napas, tertegun menatap kosong makanan yang ada di meja.

“Aku tidak suka itu.” lanjutnya.

“Buruk apanya.” bantah Ikjun. “Tidak mungkin.”

Ikjun lalu terdiam, merenung sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Jika ada penghargaan untuk aktor dengan ekspresi wajah terbaik, piala itu mungkin akan dan seharusnya diberikan kepada Ikjun.

Kekhawatiran itu disembunyikannya dengan sangat baik.

Dengan sangat baik, setidaknya untuk malam itu.


Pukul enam lewat empat puluh lima menit.

Suara mesin pembersih lantai otomatis berdengung di kejauhan, bersahutan dengan detik waktu yang berbunyi pada jam. Suara detik yang semula hanya berbunyikan ketokan kecil menjadi seperti dentuman besar seiring berjalannya waktu.

Di mana Songhwa?

Ikjun menyandarkan tubuhnya di pilar persis di sebelah tempatnya duduk, beristirahat sejenak. Ikjun memang bukan orang yang sangat religius, ya, jika dibandingan dengan Jeongwon... ah sudahlah, orang awam pun akan tahu jelas mana malaikat dan mana yang iblis.

Tapi di kala itu, di saat itu, persis di depan ruangan nomor satu tempat Songhwa akan menemui dokternya dan mengetahui hasil tes itu, Ikjun yang hampir selalu meracau itu diam.

Dan di dalam itu, di saat dimana mulutnya tidak dapat berbicara, hatinya menggebu berseru memanjatkan lantunan doa.

“Tolong jangan biarkan hal buruk terjadi kepadanya...” bisik Ikjun.

Chae Songhwa.

Asalkan kau tahu, harus mengesampingkan kekhawatiranku kepadamu selama beberapa jam di ruang operasi itu sangat menyiksa. Harus berada jauh darimu, tidak berada disampingmu dan menemanimu semalam itu sudah cukup menjadi siksa yang membuatku resah.

“Tapi jika Kau berkehendak lain, maka jadilah.” bisiknya lagi. “Akan tetapi aku meminta satu hal dan aku harap kau akan mendengar yang ini...”

Ikjun menghela napas, menutup mata dan membayangkan Songhwa dibenaknya.

”...berikan aku kesehatan dan kekuatan agar bisa selalu merawatnya. Tolong biarkan aku yang merawat dan menjaganya. Bukan yang lain, itu harus aku.”

Hampir terhanyut di alam bawah sadarnya, langkah kaki dan bayangan sosok seorang wanita yang berdiri di ujung lorong itu sampai tidak digubris Ikjun.

“Kenapa kau datang?” tanyanya dalam senyum, membangunkan si pria dengan kemeja abu-abu itu.

“Kenapa lagi? Tentu karena khawatir.”

Songhwa lalu mulai berjalan mendekat, menempatkan dirinya untuk duduk di sebelah Ikjun.

Melihat sahabatnya yang menguap begitu besar dan nampak kelelahan Songhwa merasa bersalah. “Mulutmu nyaris sobek karena menguap. Mestinya kau tidur saja di rumah.”

Bagaimana bisa?

Kau mau aku bermimpi buruk? Sudah jelas aku tidak akan bisa tidur.

Selang beberapa detik suster lalu berjalan ke arah mereka dan memberikan salam, meminta waktu sekitar sepuluh menit untuk bersiap-siap sebelum memperbolehkan Songhwa masuk.

Mereka kembali duduk dan menunggu. Kali ini berdua, berdampingan.

“Hei, bagaimana kalau aku terkena kanker?” tanya Songhwa, sembarangan saja tanpa berpikir.

Mata Ikjun terbelakak, pertanyaan itu lebih ampuh membangunkannya dibandingkan suara alarm telepon genggam yang memekikan telinga.

Bicara apa sih wanita ini?

“Tinggal diobati.” jawabnya santai.

Songhwa langsung melirik Ikjun, hampir tidak bisa percaya akan bagaimana ia bisa merespon semua ini dengan tenang.

“Aku pasti akan menyembuhkanmu.” katanya dengan tegas. Bicaranya sangat angkuh, penuh percaya diri. Ada orang yang pernah berkata, jika anda pikir hari ini akan hujan, maka jangan heran jika hujan terjadi. Sama halnya dengan ini pikir Ikjun, jika aku berpikir untuk bisa menyembuhkan Songhwa dan wanita itu akan sembuh, maka jangan beran jika hal itu dapat terjadi.

Songhwa hanya menganggukan kepala mendengar itu, sebelum terkekeh seperti mencemooh. Ia bilang ia senang mendengarnya, namun sebaiknya dokter tidak mengatakan hal-hal semacam itu. Menurutnya, jika kenyataannya tidak sesuai harapan dan hal buruk terjadi, ia akan putus asa.

Ikjun menatap Songhwa dan sedikit merasa bersalah. Maksudnya adalah untuk menenangkan Songhwa, tapi alih-alih, ia malah membuatnya menjadi lebih khawatir.

Suara telepon Songhwa yang berbunyi lalu memecah ketegangan suasana. Seokhyeong menelepon, menanyakan kabar dan hasil tesnya. Siapa sangka, beruang penyuka televisi itu juga memiliki rasa empati yang sangat tinggi. Terlebih lagi ini Songhwa, sahabatnya sendiri.

Ikjun bisa melihat bagaimana beberapa detik dari telepon Seokhyeong itu berhasil membuat sedikit senyum terpancarkan di wajah Songhwa. Sebagai orang yang selalu tahu cara paling ampuh memutar balikkan suasana, ia menceritakan kisah lama kepada Songhwa, setidaknya untuk membuat pikirannya teralihkan sejenak.

“Berarti kau sudah tahu?” tanya Songhwa penasaran. “Kenapa pura-pura tidak tahu?”

Ikjun seketika mengalihkan pandang matanya ke tembok di depan. Ia sendiri pun kaget, tidak menyangka Songhwa akan menebakkan pertanyaan itu padanya.

“A-aku hanya tahu Seokhyeong menyukaimu.” jawabnya cepat. “Aku tidak tahu detailnya.”

Yaaa... aku tidak tahu dan tidak peduli detailnya. Seokhyeong menyukaimu. Begitu juga aku, ia sainganku saat itu. Dan terlebih lagi, aku terlalu sibuk menyuikaimu untuk mencari tahu isi hati Seokhyeong.

Nada dari jawaban Ikjun menjadi sedikit lebih tinggi, hampir terdengar seperti sebuah bantahan. Takut Songhwa akan menggali lebih dalam. Songhwa terus mengamatinya.

Aduh sial

Ikjun berharap Songhwa tidak akan melontar pertanyaan lagi kepadanya, sampai-sampai dewi keberuntungan berpihak kepada Ikjun dan pintu nomor satu itu seketika terbuka.

“Bu Chae Songhwa, masuklah.” ujar si suster. Bereaksi, keduanya dengan sinkron menurunkan kaki yang semula disilangkan satu ke atas kaki yang lain dan menatap si suster.

“Ah, baik.”

Songhwa memalingkan wajahnya kepada Ikjun, mencari kepastian, meyakinkan dirinya sendiri. Ia hanya menatap Ikjun, mencari rasa aman dan ketenangan. Semua itu, yang hanya bisa diberikan oleh seorang Lee Ikjun kepada Chae Songhwa.

Semua akan baik-baik saja.


Satu tangan diselipkannya di saku celananya, berjalan dengan tegap sambil tersenyum dengan lebar.

“Orang akan menganggapmu aneh.” ejek Ikjun.

“Apa?” balas Songhwa.

Ikjun menunjuk ke arah bibir Songhwa. “Yaa itu. Kalau begitu terus sampai ke mobil nanti orang kira kau aneh.”

Songhwa memicingkan mata dan bergumam seperti mencibir. “Apa sih? Aku kan hanya senang. Apa itu dilarang?”

“Tidak.”

“Ya sudah.” kata Songhwa, merasa menang. “Lagian orang tidak akan menganggap aku aneh.”

“Kenapa?”

Songhwa menghentikan langkah kakinya, lalu kembali melirik Ikjun. “Ada kau.”

“Memang aku kenapa?”

Songhwa membetulkan kacamatanya sebelum kembali berjalan, tertawa melihat Ikjun yang tiba-tiba cemberut seperti anak kecil. “Lucu.”

Pipi Ikjun langsung memerah, tersipu malu.

Mereka berdua berjalan sambil saling terus mengejek di area parkiran. Kekhawatiran yang semula menaungi keduanya berubah menjadi canda tawa lepas, menandakan suatu hal baik.

“Berikan kunci mobilmu.” pinta Ikjun sambil menjulurkan tangannya.

Songhwa memeluk tas nya dengan erat seakan takut Ikjun akan mengambil dengan paksa. “Kau mau apa?”

“Menyupir.”

“Kemana?”

Ikjun menahan tawanya. “Yulje?”

“Sudah gila.”

Ikjun melongo, kebingungan sendiri. “Apanya yang gila?”

“Kau.” kata Songhwa, menggelengkan kepalanya sembari berjalan ke arah pintu mobil. “Jangan coba-coba. Diam dan duduk saja.”

Mengitari mobil dan berlari ke arah Songhwa, Ikjun berusaha merebut kunci mobil. “Biar aku saja.”

“Aku!” balas Songhwa. “Yaa! Lee Ikjun tutup mulutmu dan duduk saja! Kau ini gila? Kau kira kau punya berapa nyawa? Hah? Kau begadang semalaman karena harus operasi! Daripada beristirahat kau juga memilih untuk datang kesini hanya untuk menemaniku, kau gila?”

“A-aku...”

“Tadi malam juga kau tidak makan!” Songhwa hampir menangis. “Aku juga tidak tahu apa kau sudah sarapan atau belum! Tadi pagi kau menguap saja mulutmu hampir sobek, jadi tolong kali ini diam dan duduk saja! Aku akan mengantarmu pulang!”

Ikjun hanya mengangkat alisnya dan tersenyum seperti bodoh memandang Songhwa. “Apa sih? Berlebihan sekali.”

“Ikjunn-ahh..... ayo cepat masuk saja dan duduk, apa susahnya itu?”

“Baiklah.” akhirnya si pria dengan kemeja abu-abu itu menurut dan masuk ke dalam mobil. Ia duduk dengan tenang, menunggu Songhwa yang sedang diam sebentar membalas pesan-pesan yang masuk di handphone miliknya.

Tiba-tiba saja Ikjun memiringkan badannya dan mengulurkan tangan ke belakang kepala Songhwa, menarik sabuk pengaman.

“Apa lagi ini?”

Tidak menjawab, Ikjun menyilangkan sabuk pengaman itu di depan badan Songhwa dan meng-kliknya. Songhwa masih tidak percaya dan sedikit kaget atas apa yang baru saja terjadi. Begitu...spontan.

“Ayo kembali ke Yulje. Aku ingin mandi.”

“Kau tidak ingin pulang terlebih dulu?”

Ikjun mengangkat bahunya. “Uju pasti sudah berangkat sekolah. Mobilku juga di rumah sakit. Dan kau? Kau juga sekarang hendak berangkat kerja. Jadi aku akan mandi dan beristirahat sebentar saja di kantor Jeongwon.”

“Kenapa kantor Jeongwon?”

“Disana ada tempat tidur lipat.”

Songhwa cemberut. “Di kantorku juga ada.”

“Oh baiklah kalau begitu aku akan tidur di kantormu saja.”

Simpul senyum begitu saja menghiasi wajah Songhwa. Si pria konyol itu lagi-lagi telah membuat harinya menjadi lebih baik, jauh lebih baik. Sejujurnya hari-hari yang Songhwa habiskan bersama Ikjun tidak pernah buruk, menyebalkan sih iya, tapi tidak pernah buruk.

Hari itu sama seperti hari lainnya, sama juga dengan hari pertama kali mereka bertemu.


Tahun 1999.

Ruang tunggu wawancara fakultas kedokteran.

Tiga orang yang tidak saling kenal itu duduk bersebelahan di bangku tunggu hari itu. Yang paling kanan, sebelah Ikjun dan Junwan adalah si kutu buku nan cantik, Chae Songhwa.

Seperti takdir, mereka dipertemukan hari itu.

“Kau tahu kunci wawancara tahun ini?” kata yang berkacamata duduk di tengah.

“Apa?” tanya yang berambut aneh di sebelahnya.

Songhwa mengerutkan kening mendengar dua orang aneh itu berbicara satu sama lain. Dari logat yang dibawanya, sepertinya mereka bukan dari Seoul.

Bicara apa sih? Kenapa jadi membahas soal korek kuping?

“Ya Tuhan!” kata yang satu di tengah itu. “Kerapian! Mereka melihat kerapian, bodoh!”

Songhwa panik seketika, menyadari rambutnya yang panjang itu terurai sampai bahu. Reaksi spontan, ia langsung menyibakkan rambutnya ke belakang dan berusaha menguncirnya.

Ah sial. Aku tidak membawa kuncir rambut!

Songhwa masih merogoh sakunya, mencari apapun untuk mengikat rambutnya agar terlihat rapi. Si pria berkacamata yang duduk di tengah itu mengamatinya, terheran karena Songhwa sibuk sendiri.

Si berkacamata di tengah itu lalu langsung mengambil kunciran berwarna cokelat yang baru dibelinya di luar tadi dan menyodorkannya pada Songhwa.

Apa ini? Untukku?

“Ah terima kasih.”

“Sama-sama.” jawab yang berkacamata.

Songhwa langsung kembali menyisir rambut dengan jemarinya ke belakang. Ikjun berusaha keras untuk terus fokus pada kertas yang dipegangnya, tapi nampaknya godaan untuk melirik kearah wanita cantik yang duduk di sebelahnya lebih besar dari yang ia kira.

Cantik.

Rambutnya terurai saja sudah cantik. Sekarang ia mengikat rambutnya dengan rapi, sangat cantik.

Songhwa hanya duduk menatap lurus kedepan. Ia tahu, pria asing yang disebelahnya itu baru saja mencuri pandang kearahnya. Siapa dia? Darimana asalnya? Siapa namanya?

Di dalam hatinya Songhwa bertanya-tanya. Saat itu ia merasa sangat canggung bahkan untuk berterimakasih yang kedua kali, terlebih lagi menanyakan namanya. Tapi ada dua hal yang akan selalu diingatnya di hari itu.

Satu, ikat rambut yang diberikannya pada Songhwa, yang mungkin saja secara tidak langsung telah membantu Songhwa lulus wawancara hari itu.

Dua, wajahnya. Wajah tampan pria yang disampingnya itu. Wajah pria yang kehadirannya telah membawa berkah bagi Songhwa.

Pria asing yang bukan dari Seoul itu, telah ada untuknya hari itu.