Pie’s collection of midday and midnight thoughts

[Rectoverso: Songhwa's Side]

-iksong-


“Profesor Lee, kau pernah tertarik kepada Dokter Chae sebagai lawan jenis, kan?”

Ikjun hanya diam. Menatap Chi Hong dengan mata sayup. Seperti mengancang-ancang untuk memberikan jawaban.

Masih hening.

Entahlah. Entah apa yang saat itu ada di benaknya. Entah juga bagaimana hati dan perasaannya saat itu.

“Ya.”

“Ya. Pernah.”

Senyum tipis di wajah Chi Hong pun seketika sirna.

“Kau sungguh ingin tahu soal itu?”


“Ikjun-ah...” panggil Songhwa sembari dengan lembut menggoyangkan lengan Ikjun dan mengusapnya sedikit. “Pindah. Ayo.”

“Hmm?” jawab pria yang masih berwajah merah jambu itu hanya sedikit menggeser kepalanya, setengah sadar.

“Pindah.” ulang Songhwa, sedikit bersikeras.

Ikjun membalikkan badan dan menggosok matanya perlahan. “Ada apa?”

“Jika kau tidur disini sampai pagi, besok kepalaku mungkin akan copot dari lehermu.”

“Huh? Apa maksudmu?” tanya Ikjun sambil kembali menutup mata.

Sudah jelas. Ia masih mabuk. Songhwa bisa mencium bau alkohol di nafasnya.

“Yaa! Lee Ikjun!” Sudah tidak tahan, Songhwa memukul lengan si pria berpipi merah jambu itu.

Sudah lebih dari lima belas menit Songhwa melakukan ini. Menyuruh Ikjun untuk bangun dan pindah ke kamar. Jika kau ingin tahu, si pria berpipi merah jambu itu langsung menjatuhkan diri ke atas sofa panjang berwarna hitam di ruang tamu apartemennya sejak saat Songhwa berhasil menyeret dan membopongnya pulang.

Sudah lama Ikjun tidak semabuk ini. Setidaknya, sejauh yang Songhwa tahu. Ikjun memang bukan peminum, terlebih lagi sejak kelahiran Uju, ia akan membatasi diri untuk hanya mengkonsumsi satu botol. Itu pun, masih dianggapnya sangat banyak.

Namun malam itu, entah roh apa yang merasukinya. Empat botol ia habiskan dalam semalam. Tadinya sempat akan jadi lima, tapi Chi Hong melarangnya bahkan sebelum sempat ia sentuh botol itu.

Tidak tega melihat Ikjun yang seperti itu, Songhwa menghela napas dan mengumpulkan tenaganya untuk kembali menyeret dan memikul si pipi merah jambu itu untuk berbaring di kamar.

Takut akan membangunkan Uju, Songhwa dengan perlahan mendorong pintu kamar Ikjun. Jangan kaget, sepertinya semua orang di Lacking Five tahu rumah Ikjun. Terlebih lagi, Songhwa, rumah ini juga sudah terasa seperti rumahnya.

“Heyy…. i-ini kamarku.” kata Ikjun, sempoyongan.

“Iya. Ini kamarmu.” sahut Songhwa sembari membantu Ikjun untuk berbaring di sisi tempat tidurnya. “Ikjun-ah. Kau bisa mendengarku?”

Ia hanya bergumam dan mengangguk.

“Kau tahu siapa aku?”

Ia mengangguk lagi.

“Chae Songhwa.” katanya, sedikit terkekeh. “Profesor Chae Songhwa. Iya, kan?”

Songhwa hanya tersenyum tipis, memaklumi sahabatnya itu yang masih larut di alam bawah sadar. Ia lalu menarik selimut dan menyelimuti Ikjun, lalu menepuk-nepuk punggungnya sebelum beranjak.

Seketika Ikjun menggenggam erat lengan Songhwa, menahannya untuk berpaling.

“Kemana?” tanyanya Ikjun dengan lesu, masih menahan Songhwa.

“Membuat teh untukmu.”

“Jangan.” katanya memelas.

Mata Songhwa melebar, ia akan berbohong jika bilang jantungnya tidak berdegup kencang.

“Temani aku saja.” kata Ikjun, sepeti melindur.

Ia lalu menarik lengan Songhwa, membuatnya duduk di atas tempat tidur, tepat di sebelahnya. “Disini.”

Songhwa menggigit bibirnya, sedikit keras sehingga rasanya itu bisa berdarah kapanpun. Ia tidak tahu harus berkata apa, dan meskipun tahu, Songhwa akan memilih tidak menjawab.

Memenuhi pinta sahabatnya itu, Songhwa duduk. Menemani.

Matanya memandangi Ikjun yang dari tempat ia berada sekarang mendapati dengan jelas sisi kiri wajahnya.

“Maaf.” gumamnya. “Maafkan aku.”

Songhwa tersentak.

“Untuk apa?”

Ikjun menarik napas panjang sebelum kali ini benar-benar membuka matanya.

“Malam ini.” ucapnya. “Segala yang terjadi malam ini.”

Songhwa mendorong dan membetulkan kacamatanya. Ia memalingkan wajah dan menaruh pandangnya pada jendela menghadap keluar, menawarkan sinar lampu-lampu malam kota Seoul.

“Aku minta maaf jika itu membuatmu tidak nyaman.”

“Sudahlah. Kau ini bicara apa sih?”

Songhwa tahu betul apa yang dibicarakan Ikjun. Soal tadi. Permainan bodoh itu. Permainan yang berujung pada suatu hal yang sama sekali tidak diharapkan, bagi Ikjun maupun Songhwa.

Pertanyaan itu. Yang sebetulnya bisa dipilihnya untuk tidak dijawab. Bagi Songhwa, akan jauh lebih baik jadinya jika Ikjun tidak menjawab. Namun, jika begitu, ia tidak akan pernah tahu.

Buruknya lagi, karena jawaban Ikjun, semua orang termasuk Songhwa menjadi dihantui oleh rasa penasaran.

“Kau sungguh ingin tahu soal itu?”

Iya. Sungguh. Ayo cepat beritahu. Ceritakan padaku bagaimana semua itu dimulai. Kapan? Dimana? Aku sedang apa saat itu? Apa aku sedang berada di dekatmu? Apa yang membuatmu suka padaku, Lee Ikjun?

Mungkinkah, itu semua terjadi begitu saja, di hari pertama kita bertemu?

Ikjun meringkuk dan sedikit mendesah seperti kesakitan. Ia menarik selimut ke atas sampai benar-benar menutupi tubuhnya. Satu lengan masih di atas selimut, tidak dibiarkannya melepas Songhwa.

Waktu menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit dini hari. Dingin yang dibalut hening menyelimuti mereka berdua di ruangan itu.

“Aku benar-benar bodoh.” gumamnya lagi, memecah sunyi. “Songhwa-ya, maafkan aku. A-aku juga tidak… bermaksud menyanyikan lagu itu…”

Songhwa hanya menghela napas. Apa gunanya berbicara dengan orang mabuk? Bicaranya meracau.

“Sudahlah. Coba untuk tidur.” Dengan sedikit paksa Songhwa berusaha untuk melepas genggaman Ikjun tanpa ada perlawanan dari sisi lainnya. Perlahan genggaman itu juga dilepaskannya.

Songhwa mulai bangkit dari tempat tidur, berjalan pada ujung dampal kakinya agar tidak menimbulkan suara sedikitpun. Songhwa melirik ke arah Ikjun untuk terakhir kali sebelum keluar meninggalkan kamar, memastikan ia sudah tenang dan terlelap.

Ia menekan gagang pintu dengan sangat hati-hati, mencegahnya berderit.

“Jangan pergi.” pinta Ikjun tiba-tiba, membuat Songhwa terkejut dan spontan membalikkan badannya.

“Aku tidak akan kemana-mana.”

Berjalan mundur, Songhwa masih mengamati Ikjun yang pada akhirnya tertidur dengan senyum di wajahnya.

Dan perlahan seiring pintu mulai menutup kembali, Ikjun lenyap dari pandangannya.

Aku tidak akan kemana-mana.

Dan harap kau tahu, Ikjun-ah.

Sejujurnya aku tidak pernah pergi.

———

[Seoul, 1999]

Gudang itu?

Mungkin rasanya lebih baik bersembunyi di sana ketimbang harus kehilangan harga dirimu melakukan hal bodoh di dalam sana kan?

Songhwa berjalan menunduk menyusuri jalan setapak menuju tempat seperti gudang yang tidak jauh dari tempat ospek universitas itu.

Ini tidak dikunci kan?

Kedua tangan diulurkannya ke arah gagang pintu dan tanpa ragu menariknya.

Apa ini?

Mata Songhwa terbelalak di saat ia menemukan empat orang pria lugu dan polos sedang duduk berdesakan di dalam gudang itu.

Mereka saling memandang keheranan. Songhwa, dan keempat pria itu. Ia memperhatikan mereka satu per satu, dimulai dari yang paling kiri, sampai yang paling kanan.

Yang paling kanan.

Siapa dia?

Siapa namanya?

“A-apa kalian juga bersembunyi dari-”

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Songhwa mendapati mereka semua menganggukan kepalanya.

“Oh… begitu…” Songhwa berkata lagi, kali ini sambil mendorong kacamatanya yang sempat turun ke hidungnya.

“K-kau mau masuk?” tanya yang paling kiri.

“Tapi maaf disini sempit.” yang di tengah dengan jaket coklat muda menyahut.

Mereka semua berkacamata. Satu-satunya cara membedakan mereka adalah dengan mendeskripsikan pakaian dan penampilan mereka.

Dua yang di tengah, mereka mirip.

Songhwa menahan tawa, mempersilahkan dirinya untuk masuk ke dalam.

“Tidak apa-apa. Dimanapun lebih baik daripada disana.”

Mereka mulai bergeser, memberikan ruang bagi Songhwa untuk duduk.

“Maaf kalau tidak nyaman. Bertahanlah.” kata yang di tengah memakai baju kotak-kotak dan rompi abu-abu.

Ia sangat baik. Dan… manis juga.

Jika gudang itu memiliki struktur ruangan yang buruk dan tidak beratap tinggi, situasi nya mungkin akan lebih buruk. Bisa jadi mereka kesulitan bernapas. Tapi untungnya tidak, yang sempit hanyalah tempat mereka duduk, bagaimanapun gudang itu bukan tempat untuk banyak orang singgah dan menunggu beberapa waktu.

“Aku Ahn Jeongwon.” yang memakai coklat muda berkata lagi, memperkenalkan diri. “Dia Yang Seokhyeong, Kim Junwan, Lee Ikjun.” Lanjutnya lagi sambil menunjuk pria lainnya berurutan dari yang paling kiri sampai paling kanan, yang duduk di sebelah Songhwa.

“Aku Chae Songhwa.” ia memperkenalkan diri.

Oh…

Jadi yang itu, namanya Lee Ikjun.

Lee Ikjun.

Aku suka namanya.

“Kalian semua teman?” tanya Songhwa pada keempat pria lugu itu. Mereka menggeleng, berkata jujur kalau mereka baru bertemu di saat itu, di tempat itu.

Mereka panik dan Songhwa menganggap itu lucu. Pertemuan itu memang sudah takdir.

Terutama dengannya.

Dia yang bernama Lee Ikjun.

“Bagaimana kalau kita foto?” gagas Songhwa.

“Yang benar saja.”

“Benar.” balasnya dengan gembira.

Pria yang bernama Lee Ikjun itu tersenyum. “Baiklah.” katanya. Ia yang pertama setuju.

Ahn Jeongwon menyatakan kameranya ditaruh di atas kursi di tengah gudang, Songhwa mengikuti arahannya dan mereka berlima bersiap untuk foto.

“Tersenyumlah.” katanya kepada para empat lelaki lugu.

Disaat itu, di detik hitungan mundur kamera, Lee Ikjun dengan santai menaruh tangannya di bahu Songhwa.

click

Dan itu saat semuanya dimulai bagi Songhwa.

Saat itu akhirnya Songhwa tahu namanya, nama yang akan selalu diingat dan terngiang.

Lee Ikjun.

Lee Ikjun dari Changwon,

saat bersamamu, duduk di sebelahmu di dalam gudang itu, Chae Songhwa dari Seoul… jatuh cinta padamu untuk yang kedua kalinya.