Pie’s collection of midday and midnight thoughts

Songhwa duduk di teras, mengamati hujan yang masih membasahi jalan setapak di depan rumahnya. Jam menunjukan tepat pukul enam pagi, tapi dengan langit yang sangat murung begitu, nampaknya seperti lebih tepat jika disebut enam sore.

Gloomy, begitu kurang lebih suasana pagi yang menyelimuti kediaman Songhwa. Sesekali ia menempelkan kedua tangan di lehernya, mentransmisikan panas ke dirinya sendiri, memberi sedikit kehangatan. Lalu ia membolak balikan telapak tangannya, mengamati goresan-goresan luka kecil yang sekarang menjadi samar-samar, tidak semerah tadi malam. Meski begitu, sayatan kecil itu terasa sangat sakit. Lebih sakit dari biasanya, lebih sakit dari seharusnya.

Gambaran yang tetiba muncul di benaknya tentang kemarin itu seperti mimpi buruk. Kenang-kenangan hitam yang Songhwa harap bisa dicabut dan dihilangkan dari organ di dalam kepalanya itu secara permanen. Ia tidak ingin mengingatnya, tidak perlu.

Ia memejamkan mata sejenak, berharap mendapatkan secercah ketenangan di dalam gelap. Songhwa menarik napas dalam, menghembuskannya. Ia bisa merasakan rongga paru-paru nya itu berkembang kempis, masih berfungsi baik sebagaimana mestinya.

“Count to ten, Hwa.”

One.

“Bear, lo bawa Songhwa pergi sekarang juga.”

Two

“Don't lose my hat, Hwa.”

Three

BOOM!

Four

“Just look at me, Hwa. Liat gue.”

Five

“Jun, jangan tinggalin gue.”

Six

“Hwa-”


“Non?”

“Non?” panggil suara itu lagi dari samping Songhwa, kali ini menepuk pundak Songhwa sedikit keras. “Non Songhwa?”

Seketika Songhwa membuka mata, butir keringan jatuh dari pelipis kepalanya, napasnya kini terengah-engah, serta matanya yang kini dipenuh dengan rasa takut mendongak ke arah bibi yang memanggilnya. “Bi..”

Bibi langsung mengusap lembut punggung Songhwa, menenangkan gadis kesayangan yang sudah diurusnya sejak gadis itu berusia satu tahun. Seperti tarikan magnet, Songhwa mencondongkan tubuhnya untuk bersandar pada bibi.

“Non Songhwa masih belum dengar kabar nak Ikjun ya?” tanya bibi, sambil masih terus berusaha menenangkan. Songhwa hanya menggeleng.

“Kalau menurut bibi mah, nak Ikjun pasti baik-baik aja non.” lanjut si bibi. “Nak Ikjun teh, ga akan kemana-mana non. Kan non nya juga disini.”

Songhwa yang kini sudah mulai tenang, membetulkan posisi duduknya sebelum menghadap bibi. Untuk beberapa saat, apa yang diucapkan bibi terasa menyenangkan, a reassurance yang Songhwa sangat ingin dengar. Walau sedikit kebahagiaan itu sempat terlintas, pikiran Songhwa tetap teralihkan ke fakta bahwa hingga saat itu belum ada satu pun kabar terdengar dari Ikjun.

“Bi,”

“Ya non?”

“Baju hitam Songhwa, terakhir bibi simpen di lemari kan?”

Bibi tertegun menatap Songhwa. Tidak pernah dalam hampir dua puluh tahun mengenal si gadis, bibi melihatnya dirundung kesedihan mendalam seperti ini.

“Non...”

“Songhwa mau panasin mobil dulu sebentar ya bi.”

“Eung... non?”

“Iya bi?” Songhwa yang hendak berbalik berhenti melihat bibi yang kemudian langsung berlari ke dalam rumah. Songhwa menunggu, mengamati bibi yang tergesa-gesa membawakan telepon genggam miliknya.

“Bibi kurang tau itu siapa non, tapi dari tadi henpon non ini bunyi.”

Adrenalin langsung memompa seluruh peredaran darah di tubuh Songhwa, jantung nya berdegup sangat kencang hingga setiap dentumnya terdengar begitu lantang di telinganya. Matanya membesar, mencari, bersiap membaca. Sebagian dari dirinya berdoa mengharapkan kabar baik, apapun itu. Sebagian lainnya, bersiap untuk yang terburuk.

Ikjun?