2303

tw : suicide, drug use, etc (let me know if i miss something)

wc : 1.3k


Berapa lama aku mengenal Yunho?

Jelas hampir separuh umurku. Atau lebih tepatnya 12 tahun lamanya. Dan selama 12 tahun itu, kami menghabiskan 8 tahun untuk pacaran. Dan kami sudah melewati banyak masa dan kejadian bersama. Bisa di bilang, aku dan dia tumbuh dewasa bersama.

Selama mengenalnya, Yunho mengajarkanku banyak hal. Tapi ada satu yang tidak ia ajarkan.

Cara hidup tanpanya.

Selama 12 tahun lamanya, Yunho nggak pernah mengajarkan hal tersebut. Yunho nggak mengajarkanku untuk melanjutkan hidup tanpanya disisiku. 12 tahun dengan presensi dirinya. 12 tahun dengan lelucon-leluconnya. 12 tahun dengan senyumannya yang secerah matahari.

Aku juga manusia yang selalu merasa kurang. Tuhan memberiku waktu 8 tahun untuk mencintainya dan aku merasa kurang. Kalaupun aku diberi waktu 100 tahun untuk mencintainya pun aku pasti merasa kurang.

Ketika presensinya yang mendadak hilang itu, aku juga merasa separuh jiwaku ikut hilang. Hilang bersamaan dengan dirinya yang terkubur di tanah.

Hari pertama setelah Yunho dikebumikan, aku masih bisa merasakan presensinya. Masih bisa melihat senyumnya saat aku memejamkan mataku. Semuanya bisa aku rasakan saat aku terlelap dengan obat tidur.

Hari kedua dan ketiga pun masih sama. Presensinya masih terasa dalam tidurku. Dekapan kedua tangannya masih bisa kurasakan saat aku terlelap di dalam mimpi. Lagi-lagi, semuanya berkat obat tidur.

Hari keempat sampai kelima, perlahan presensinya mulai bias akibat obat tidurku yang mulai berkurang kinerjanya. Aku mulai panik saat aku mulai lupa bagaimana hangat pelukannya. Aku mulai panik saat aku kesulitan untuk tidur dan sulit untukku melihat senyumannya yang secerah matahari itu.

Hari keenam, kurasakan obat tidurku tidak lagi membuatku terlelap dan membuatku kehilangan presensi Yunho.

Hari ketujuh, kuputuskan untuk tidur lebih lelap dan bertemu Yunho lebih lama dengan menambahkan beberapa butir obat yang tak sadar ternyata obat yang kuminum hampir separuh botol.

Akhirnya aku berhasil terlelap setelah meminum obat tidur yang jumlahnya entah berapa itu. Saat aku terlelap, aku bertemu dengan Yunho. Yunho terlihat lebih nyata dari sebelum-sebelumnya. Presensinya, hangat tubuhnya, serta wangi tubuhnya bisa kurasakan. Aku menangis dalam pelukannya dan Yunho seperti sebelum-sebelumnya saat aku menangis di dalam pelukannya, ia mengusap lembut rambutku dan sebelah tangannya mengeratkan pelukannya. Aku ingin berada di pelukan Yunho selamanya namun ada secercah cahaya yang membuat Yunho melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah cahaya tersebut.

“Sayang, aku harus pergi sekarang. Aku boleh ya ninggalin kamu?”

Aku jelas menggelengkan kepalaku. “Aku gak mau ditinggal kamu. Aku mau ikut kamu, Yunho.”

Yunho mengulaskan senyum lembut. Senyum yang selalu ia berikan saat menenangkanku. “Belum waktu kamu buat ikut aku. Nanti kalo udah waktunya, aku jemput disini ya. Tapi sekarang aku harus pergi. Kamu jangan datang terlalu cepat ya.”

Lalu Yunho perlahan pergi menuju cahaya tersebut dan saat bersamaan aku mendengar samar suara Wooyoung yang menyerukan namaku. Tubuhku juga tiba-tiba tertarik ke belakang dengan kencang seperti aku dikembalikan ke suatu tempat dan aku tertidur sejenak. Setelah itu, aku mencoba membuka mataku dan kudapati Mama yang menangis disebelahku. Wooyoung dan Papa berdiri di belakang Mama lalu Kak Eunha yang keluar dari ruangan entah pergi kemana saat melihatku bangun.

Tak lama, Kak Eunha datang dengan dokter dan perawat. Mereka segera memeriksaku. Setelah kondisiku dikatakan lebih baik dari sebelumnya, dokter dan perawat tersebut keluar.

Wooyoung langsung bertanya padaku saat dokter dan perawat tadi keluar. “Lo kenapa minum obat tidur sebanyak itu?! Kalo aja gue gak dobrak kamar lo, lo bisa mati karena overdosis!”

“Maaf, Yo. Gue gak sadar minum sebanyak itu karena gue pikir dengan menambah jumlah obat tidur, gue bisa tidur lebih tenang dan bisa ketemu Yunho lebih cepat. It’s too painful for me. He’s left me without any words. Dan tiap malam, gue minum obat tidur karena dengan tidur, gue bisa ketemu dia dan gak ngerasa sakit ataupun kehilangan.”

Jawabanku ternyata membuat semua orang yang di ruangan ini menangis. Kak Eunha dan Mama langsung memelukku.

“Adek, kamu bisa berbagi rasa sakit itu sama Wooyoung, sama Mama Papa, atau sama Kak Eunha.” Ujar Mama.

“Rasanya beda, Ma. Aku sakit karena Yunho gak ngajarin aku hidup tanpa dia. Terus tiba-tiba dia pergi dan aku gak bisa melihat atau ketemu dia lagi. Aku harus apa, Ma, kalo gak ada Yunho?”

Lalu pertanyaan itu tak terjawab oleh semua keluargaku sampai aku keluar dari rumah sakit.

Sampai dua hari setelah aku keluar dari rumah sakit, Mama mengajakku ke suatu tempat. Dan saat sampai di tujuan, Mama baru memberitahu kalau aku dibawa ke psikolog. Mama bilang kalau disana nanti aku bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaanku waktu itu.

Aku bertemu dengan Dokter Joshua sendirian karena Mama membiarkanku untuk berkonsultasi sendirian agar aku bisa lebih leluasa.

Dokter Joshua seperti tahu kondisiku yang ditinggal oleh Yunho sehingga beliau menanyakan kembali soal pertanyaanku.

“Dokter dengar dari Mama, kamu pernah bertanya apa yang harus kamu lakukan setelah dia gak ada?” Aku mengangguk. “Kamu tau gak kalo ada banyak hal yang bisa kamu lakuin meski dia udah gak ada? Contohnya, kamu kulik hobi kamu atau kamu cari kesenangan baru dan lain sebagainya.”

“Tapi aku ngerasa kalo gak ada dia, hidupku berhenti, Dok.”

“Dia masih ada di sekitarmu tapi cuma tempatnya yang beda aja. Dia gak kemana-mana, jadi jangan merasa hidup kamu berhenti ya. Dia ada dan dia mau kamu tetap jalani hidup kamu. Nggak usah jalan terburu. Pelan tapi pasti karena dia gak kemana-mana dan dia ada disana, di hati kamu.”

Lalu Dokter Joshua memberikan beberapa saran yang bisa kugunakan saat aku mulai teringat padanya. Dan sesi konsultasi pertama kali berakhir dengan baik.

Aku kembali konsultasi seminggu setelah konsultasi pertama. Saran yang diberikan oleh Dokter Joshua dari sesi konsultasi kemarin membuatku sedikit lebih baik.

Dan di sesi konsultasi kali ini, aku menceritakan soal tempat yang menjadi tujuanku dan Yunho suatu hari. Dokter Joshua mendengarkan ceritaku dengan seksama.

“Aku sama dia punya rencana buat tinggal di Swiss suatu hari nanti, Dok. Terus, kita nonton Coldplay di London karena itu salah satu keinginan kita buat nonton Coldplay langsung di Etihad Stadium.”

“Okay. Dokter punya saran lagi nih. Karena saran yang kemarin masih ada sedikit kemajuan, semoga saran ini ada kemajuan buat kamu ya. Tapi kalo gak bisa, gak usah dipaksa.” Aku mengangguk. “Supaya kamu berdamai sama keadaan kamu, kamu coba ke tempat-tempat yang mau kamu datangi sama dia. Travel to places that you and him want to go. Atau coba wujudin keinginan dia yang belum terwujud.”

Lalu setelah konsultasi kedua tersebut, aku langsung kepikiran soal saran Dokter Joshua.

Segera aku membuka laptopku saat sampai rumah dan membuka akun Google yang aku dan Yunho gunakan bersama. Aku mencari notes-notes yang pernah kita tulis bersama tentang keinginan-keinginan kami yang ingin kita capai bersama. Setelah menemukannya, aku segera membuat beberapa daftar dan rencana perjalanan. Dan aku berkutat membuat semuanya hampir tiga hari lamanya.

Begitu semua rincian dan rencana perjalananku selesai, aku memperlihatkannya pada Mama dan Papa usai makan malam.

“Aku mau solo travelling ke Europe dan US.” Aku memberikan rincian dan rencana perjalananku yang sudah kucetak pada Mama dan Papa. “Ini saran dari Dokter Joshua supaya aku segera berdamai dengan keadaan.”

Wooyoung yang duduk disebelah Mama pun melongokkan kepalanya, melihat rincian perjalananku. “Sumpah ini lo bikin sendiri?”

“Iya. Gue bikin semuanya sampai ke detail-detailnya.”

“Tapi Adek bisa pergi sendiri?” tanya Papa.

Aku mengangguk. “Bisa. Aku juga yang bakalan mengurus semuanya sendiri. Jadinya Mama sama Papa gak usah risau.”

“Gue mau ikut juga gak boleh?”

“Gak. Ini perjalanan gue dan Yunho. Jadinya gue mau sendiri karena Yunho udah gak bisa nemenin gue.”

Mama menatapku. “Mama bolehin asal Adek selalu ngasih kabar selama disana. Mama percaya sama Adek.”

“Papa juga bolehin asal bawain Papa oleh-oleh dari tiap negara ya.”

Aku tersenyum puas karena Mama dan Papa menyetujui rencana perjalananku. Dan aku segera mengurus semua visa, penerbangan, dan juga penginapan begitu mendapatkan izin. 3 minggu kemudian, aku sudah siap berangkat. Mama, Papa, Wooyoung, Kak Eunha, dan Kak Hoshi—suami Kak Eunha—mengantarku ke bandara. Mereka semua mengantarku menuju perjalanan yang aku dedikasikan untuk Yunho. This trip to heal and numb my pain.