saudade

the feeling of missing something or someone.

Mingi POV

Gue akhirnya putus sama Audri.

Yang kacau saat kami putus nggak hanya dia. Gue pun ikut kacau. Tapi gue nggak menunjukkan itu didepan semua orang apalagi depan Yunho karena he’s much more fucked than me.

But i’m fucked up too. More than i thought. Gue pikir putus dengan Audri adalah pilihan yang tepat. Nyatanya nggak. Memori-memori tentang Audri tiba-tiba menyeruak keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Membuat gue menyesali pilihan tersebut.

Setiap melihat sudut-sudut kampus, gue selalu bisa melihat bayangan gue, Audri dan Yunho yang sedang bercengkrama bersama menjelang mata kuliah selanjutnya.

Setiap gue ke perpustakaan, bayangan gue dan Audri yang sedang mengerjakan laporan praktikum di sudut favorit kita pun muncul.

Hal itu sangat menyesakkan apalagi saat Audri dan Yunho rebound. Gue turut bahagia untuk mereka tapi gue juga sesak saat mereka bisa bahagia tanpa gue. Di kepala gue selalu memikirkan hal ini saat mereka bisa rebound.

Ternyata mereka bisa bahagia tanpa gue.

Setelah Audri dan Yunho rebound, gue pelan-pelan menata perasaan gue. Gue mencoa berdamai agar hal yang menyesakkan itu pelan-pelan teratasi. Dan gue merasa berhasil saat gue sudah mulai terbiasa dengan Audri yang kembali menjadi teman gue lagi. Gue mulai berdamai dengan perasaan gue ke Audri. Gue mulai berdamai dengan keadaan.

Walaupun kadang gue suka merasa sedih saat melewati cafe yang berada dekat kampus kini bukan lagi jadi milik gue dan Audri. Atau salon nailart yang tiap bulan selalu gue datangi bersama Audri terasa asing. Dan juga foto-foto gue bersama Audri dan juga Yunho membuat gue bernostalgia saat melihatnya dan merenungkan kalau gue nggak akan bisa kembali masa itu. Karena semuanya kini menjadi bagian masa lalu gue.

Gue pernah membaca sebuah kutipan dari seorang Filsuf bernama Heraclitus. Kutipan tersebut berbunyi, “Tidak ada manusia yang pernah melangkah di sungai yang sama dua kali, karena itu bukan sungai yang sama dan dialah bukan manusia yang sama.”

Putusnya gue dengan Audri membuat gue tau kalau yang paling jauh adalah masa lalu. Mau bagaimanapun inginnya kita kembali kesana, kita nggak akan pernah sampai. Di masa lalu, Audri Kang adalah pacar gue. Mau sebesar apapun keinginan gue untuk kembali ke masa itu, gue nggak akan pernah bisa. Hal itu membuat gue sadar dan mulai menerima keadaan setidaknya Audri Kang di masa depan tetap menjadi sahabat gue.

Salah satu usaha gue untuk berdamai dengan keadaan adalah mencoba melamar beasiswa ke MIT saat Pak Eden memberikan link pendaftaran pada gue. Walaupun gue nggak yakin bisa ke terima, tapi gue tetap mencoba. Setidaknya gue sudah berusaha dan ini juga menjadi salah satu usaha gue untuk berdamai dengan semuanya. Dan semesta pun berbaik hati atas segala usaha gue. Tepat seminggu setelah sidang skripsi, gue mendapatkan kabar kalau gue ke terima di MIT. Semesta nampaknya ingin gue dapat yang terbaik juga dengan cara mengirim gue ke salah satu kampus incaran gue itu. Gue nggak pikir dua kali dan langsung menerima offering tersebut.

Nggak semua orang tau soal MIT karena gue enggan memberitahu mereka sampai semuanya selesai. Lagipula, saat accepted letter itu gue terima, semua teman gue sedang sibuk dengan skripsi mereka. Kebetulan gue sidang 1 semester lebih dulu dari teman-teman gue jadinya saat mereka sibuk dengan skripsinya, gue sibuk mempersiapkan untuk ke MIT.

Salah satu yang tau gue akan ke MIT adalah San. Soalnya gue sempat tanya-tanya urusan visa karena kakaknya tinggal di US.

Dan selama itu, gue yang sibuk dengan mempersiapkan semuanya sampai nggak sadar waktu berjalan dengan cepat. Teman-teman gue satu per satu lulus sidang skripsi. Jadwal keberangkatan gue ke Amerika juga sudah keluar. Dan juga tanggal kita semua wisuda pun sudah ditetapkan oleh kampus.

Sayangnya, jadwal keberangkatan gue lebih dulu daripada jadwal wisuda. Sehingga gue nggak bisa mengikuti wisuda padahal gue tau semua teman gue ingin gue berada disana terutama Audri dan Yunho.

Kita bertiga punya janji yang kami ucapkan saat kami sudah berteman selama sebulan. Yang mana janji itu adalah kita harus lulus bareng-bareng dan harus foto bersama saat wisuda. Sayang sekali gue harus mengingkari janji tersebut walaupun sebetulnya gue bisa saja menepati janji itu tapi gue memilih untuk berangkat dan tidak tinggal lebih lama untuk janji tersebut.

Tetapi gue nggak akan menyesali keputusan gue. Sekali lagi, ini adalah salah satu usaha gue dalam berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan perasaan kehilangan gue.

Teman-teman gue memaklumi keputusan gue tersebut dan mereka malah menyambut baik hal itu dengan antusias mengantar gue ke bandara. Terutama teman-teman Audri. Mereka (atau lebih tepatnya Jungeun) yang mengkoordinasi acara mengantar gue ini.

Dan saat di bandara, gue akhirnya benar-benar berdamai dan mengikhlaskan semuanya. Audri and I have a good farewell this time. Gue bisa pergi dengan tenang karena gue sudah berdamai dengan semuanya.