the consequences


Hal pertama yang Jerome lakukan begitu sampai adalah menuju kamar Hagia. Di lihatnya Hagia yang sedang tiduran dengan menggengam iPad miliknya.

I told you to be ready within 20 minutes and look at you. Still laying with your iPad.

I’m ready but i’ve to reply these email first since i don’t be able do anything yesterday.” Hagia menoleh ke arah Jerome. “Muka lo merah banget deh. Abis minum ya? Are you sober?

Little tipsy but i can handle it. Let’s go.

Jerome mengambil tas Hagia yang berada di meja kerja lalu membantu Hagia bangun dari kasurnya.

Hagia tipikal yang jarang sakit tapi dia bisa langsung sakit kalau terkena air hujan. Terdengar aneh apalagi Hagia bisa bekerja lembur berhari-hari bahkan berminggu-minggu tanpa tumbang tapi bisa tepar seketika begitu dirinya hujan-hujanan.

Makanya Hagia gak menolak saat Jerome mengajak ke rumah sakit karena dirinya panas tinggi juga menggigil sejak kemarin dan baru mereda pagi ini.

Setelah ke rumah sakit, Jerome membawa Hagia ke Laotta karena Jerome yakin Hagia pasti belum makan sehari mengingat Hagia kalo demam tinggi gak akan beranjak dari kasurnya.

Jerome seneng banget melihat Hagia makan dengan lahap. Seenggaknya putusnya hubungan dia dengan Satrya tidak mempengaruhi nafsu makan Hagia.

Hagia menahan diri buat gak bertanya ke Jerome soal Kimberly. Setidaknya sampai mereka selesai makan.

Just spill it.” Ujar Jerome. “I know you want ask it.

“Kali ini lo harus putus beneran sama Kimberly.”

“Maksudnya?”

Hagia mengusap bibirnya dengan tisu. “Jer, Kimberly minta putus kali ini bukan putus kayak bisa yang lo lakuin sama Kimberly. She tells me that your mom is reaching her. Mama lo emang gak mengancam Kimberly tapi Kimberly sadar kalo hubungan lo sama dia itu merusak hubungan lo sama keluarga lo.”

Jerome terdiam. “Gue mencoba memahami dari sudut pandang Kimberly dan Mama lo dan emang keputusan Kimberly adalah keputusan tepat. Kimberly itu perempuan, Jer, dia paham apa yang Mama lo sampaikan karena beliau cuma gak mau kehilangan anak laki-lakinya. If i was her, i’ll do same the same thing because we’re a woman. Even i and Kimberly weren’t a mother but we know that feel.

Hagia menatap Jerome yang nampak berpikir. Dia mencoba mencerna semuanya.

Semua perkataan Hagia terdengar masuk akal di kepala Jerome. Jerome memang seharusnya gak boleh egois karena mau gimanapun he has responsibility being the oldest child.

“Dan lo gimana sama Satrya?” Tanya Jerome setelah mereka diam-diaman selama 5 menit.

“Satrya ngajak nikah dan bilang mau ikut agama gue dan gue gak mau. Dia maksa dan gue juga kekeh nolak.“

“Lho bukannya bagus ya salah satu dari kalian ngalah?”

“Jerome, menikah itu bukan cuma nyatuin gue sama Satrya. Tapi nyatuin keluarga gue dan keluarga dia. Kalo gue iyain artinya gue udah ngambil dia dari keluarga dia karena Satrya pindah agama. Terus selain ngambil dia dari keluarganya, gue juga ngambil dia dari Tuhan dia. Gue tuh cuma manusia biasa, Jer, masa egois ngambil Satrya buat gue sendiri? Secinta apapun gue sama Satrya, perasaan itu gak ada hak untuk mengklaim Satrya buat gue doang.”

Salah satu alasan kenapa Jerome selalu menganggap semua omongan Hagia itu selalu benar adalah cari berpikirannya.

“Kayaknya udah cukup deh kita ngomongin soal percintaan kita yang super rumit ini. Gue takut lo menciut karena dipake mikir berat-berat.” Ledek Jerome.

Hagia mendengus. Dan mereka membahas hal lain. Hari itu mereka habiskan untuk merayakan patah hati dan kehilangan mereka.