stalemate

Aku membangunkan laki-laki yang tertidur dengan nyaman diatas kasurku itu.

“San... bangun.” Ujarku sembari mengguncangkan badannya. “Udah jam setengah 6. Katanya mau lari pagi.”

Bukannya bangun, San meregangkan badannya dan mengganti posisi membelakangiku. Aku menghela nafas dan menarik bawahan mukenaku supaya bisa naik ke atas kasur dengan mudah.

Aku memencet hidung San selama beberapa detik sampai San membuka matanya dan menyingkirkan tanganku. “Aku bisa mati kalo kamu bangunin kayak gitu!”

“Makanya langsung bangun!” Aku memukul pelan perut San. “Sana cuci muka sikat gigi. Nanti kamu kesiangan ke gereja nya kalo nanti-nanti bangunnya.”

San berdecak lalu bangun dan menuju kamar mandi. Aku pun melepas mukena dan merapikannya. San keluar dari kamar mandi gak lama aku meletakkan mukena dan sajadahku ke tempatnya.

“Kamu gak mau ikut?” Tanya San.

Aku menggeleng. “Aku mau nyuci. Aku males masak, nanti beliin sarapan ya.”

“Nanti telpon aja mau makan apa.”

San mengecup pelipisku sebelum pergi. Aku langsung mengerjakan apa yang ingin aku kerjakan begitu San pergi. Semalam San menginap di apartemenku sepulangnya dari kantor kliennya. Peak season seperti ini, San pasti akan ada lembur yang menyita weekendnya. Karena itulah, dia datang ke apartemenku yang kebetulan dekat dari kantor kliennya sekalian pacaran.

Bertahun-tahun kita pacaran, gak sekali dua kali harus kayak gini. Aku dan San sama-sama sibuk dengan pekerjaan kita dan mencuri waktu untuk bisa berduaan seperti ini menjadi hal biasa. Mengingat cukup lamanya kami berpacaran, aku maupun San sama sekali gak keberatan untuk seperti. Asal ada waktu untuk ketemu.

Dan karena lamanya hubunganku dengan San, banyak teman-teman kita yang gak menyangka kalo kita bisa jalan selama ini. Karena perbedaan kita yang membuat mereka meragukan kalo aku dan San bisa sampai sejauh ini.

Pertanyaan yang paling aku sering dengar begitu memutuskan untuk berpacaran dengan San adalah ”kalian kan udah tau endingnya kayak gimana, kenapa masih dijalanin?

Aku sama San cuma bisa tersenyum. Kita juga tau akan hal itu tapi kita memilih buat tetep menjalani hubungan ini. San selalu bilang, “Gapapa mereka mau bilang kayak gini. Aku sayang kamu apapun resikonya.”

Lamunanku buyar saat mendengar San yang udah balik dan memanggil namaku. Aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri San di ruang makan.

“Aku jadinya beliin kamu lontong sayur yang depan Alfamart situ. Abisnya tadi aku chat gak kamu bales.”

“Hapeku di kamar. Aku dari tadi nyuci.”

Aku menyiapkan sarapan yang San beli sedangkan San sendiri menghilang masuk kamarku. Sepertinya dia mandi. Aku kembali mencuci sembari menunggu San selesai mandi agar bisa sarapan bersamanya.

“Sayang?” Panggil San 15 menit kemudian.

“Sebentar. Aku masukkin baju ke pengering dulu.”

Setelah beres menyalakan pengering di mesin cuciku, aku kembali ke ruang makan. San udah siap sarapan dan kami segera menghabiskan makan yang San bawa. Setelah makan, kami mengobrol banyak hal seperti biasa.

“Minggu depan jadi ikut ke arisan keluargaku?” Tanyaku.

“Jadi dong. Minggu depan aku udah lowong.”

Aku tiba-tiba teringat sesuatu. “Kamu gak ngikut juga gapapa kok.”

San sepertinya tau apa yang aku pikirkan. “Kamu gak usah khawatir soal itu. Aku bisa ngelewatinnya kayak arisan-arisan sebelumanya.”

San mengulaskan senyum, mencoba menenangkanku. “Kita bisa lalui ini.”

Aku membalas senyumannya. Kata-kata San selalu berhasil meyakiniku.


“Om San!!!”

San tersenyum lebar menyambut anak laki-laki yang memanggilnya tadi. Darell langsung melompat ke pelukan San. Keponakanku yang satu ini akrab banget sama San. Tiap San ikut ke acara keluargaku, Darell pasti mencari-cari San.

“Waduh Darell makin berat aja nih. Pasti makannya rajin.” Ujar San saat menggendong Darell.

“Darell sekarang suka makan, Om. Kata Om kan Darell harus makan yang banyak biar cepet gede dan jadi model.”

San dengan seksama mendengarkan Darell yang berceloteh panjang lebar. Aku dan Kak Sakura—Maminya Darell tersenyum melihat interaksi mereka.

“San tuh kalo sama Darell klop banget kayak bapak sama anak. Papinya aja kalah saing sama San tuh.”

Aku tertawa. “Padahal jarang ketemu tapi bisa senempel itu.”

“Nah iya heran deh. San tuh ada apanya ya? Nanti kalo kalian punya anak pasti kamu bakalan kalah saing sama San.”

Aku mengulum senyumku saat Kak Sakura menyinggung soal itu dan mencoba mengalihkan pembicaran karena aku gak mau membahasnya.

Sebelum bergabung ke halaman belakang, tadi Mama sempat mengajakku untuk berbicara soal hubunganku dengan San karena Kak Jiwon yang akan menikah tahun ini. Diantara keluarga besar ini, tinggal aku dan Kak Jiwon yang belum menikah. Hal itu membuat Mama membicarakan hal ini.

“Tahun ini Adek udah mau 27 lho. Adek kapan mau nyusul Jiwon? Mama takut gak bisa nemenin Adek menikah.”

“Mama kok ngomongnya gitu sih? Mama masih sehat gini jangan ngomong kayak gitu dong.”

“Umur gak ada yang tau, Adek.”

“Iya, Adek tau, Ma. Tapi Adek gak bisa menikah dalam waktu dekat-dekat ini.”

“Adek, cepat atau lambat kamu sama San harus ada yang mengalah. Mama yakin kamu sama San tau kemana ini akan berakhir. Mama harap sih bukan Adek yang mengalah buat mengakhiri ini.”

“Mama…”

“Mama tau San bisa jadi kepala keluarga yang baik. Tapi Mama gak mau Adek milih dia daripada Tuhan kamu sendiri. Mama cuma gak mau Adek kayak Papa dulu. Didepak dari keluarganya karena ikut Mama. Mama cuma gak mau kamu dan San ngerasain apa yang Mam dan Papa rasain.”

Aku diam dan gak membalas perkataan Mama. Mama gak menolak atau melarang hubunganku dengan San tapi mendengar apa yang dikatakan sama Mama, aku jadi tau apa yang Mama rasakan.

“Coba Adek omongin sama San baiknya kalian gimana. Kalo emang gak bisa di lanjut, Adek mau buat kenalan sama anaknya temen Mama?”

Saat aku mau menjawab pertanyaan Mama, aku melihat San yang diam berdiri di dekat tangga. Aku tau San sepertinya mendengar semua percakapanku dengan Mama.

“Gak tau, Ma. Aku pikirin lagi nanti.”

Aku pun mendekati San tapi San malah berjalan lebih dulu dan Darell memanggilnya. Abis itu sepanjang acara, San bersama Darell. Walaupun ia duduk disebelahku tapi ia menyibukkan diri dengan bermain dengan Darell. Aku tau kalo dia mencoba menghindariku dengan Darell sebagai tamengnya.

Setelah acara selesai, aku dan San pamit pulang. Mama sempat membicarakan hal yang sama sebelum aku pulang.

“Pikirin yang Mama tanyain tadi, Dek. Gak harus langsung di jawab tapi kalo bisa secepatnya.”

Aku hanya mengangguk sebagai balasannya dan segera masuk ke dalam mobil San.

San diam selama perjalanan menuju apartemenku. Dia juga fokus sama jalanan di depannya dan gak mau repot-repot menoleh ke arahku. Aku tau kalo di kepalanya banyak yang dia pikirkan. Sampe di parkiran, San gak langsung membuka pintu mobilnya.

“Aku udah punya keputusan.” Ujar San. “Aku bakalan ikut kamu.”

Mataku melebar. Aku langsung paham apa yang San maksud. Aku jelas akan menolak hal itu.

“Gak. Aku gak ngizinin kamu buat ikut aku.”

“Terus mau gimana lagi? Aku denger dengan jelas kalo Mama kamu gak mau kamu ikut aku.”

“Pasti ada jalan lain.”

“Jalan lain apa? Kita udah di jalan buntu. Kita gak bisa kemana-mana selain putar balik dan milih siapa yang mengalah. Aku udah putusin buat aku yang ngalah untuk ikut kamu.”

“San, kamu gak boleh ninggalin Tuhan kamu cuma buat aku.”

“Aku sayang kamu lebih dari apapun.”

Aku meraih tangannya. “Kamu gak boleh mencintai aku lebih dari kamu mencintai Tuhan kamu. Aku juga gak mau ngambil kamu dari keluarga kamu, San.”

San menatapku. Matanya memerah. Dari matanya aku bisa melihat kalo San putus asa. Kita berdua sama-sama tau kalo ini akan terjadi cepat atau lambat. Tapi sayangnya, aku sama San gak mempersiapkan diri akan hal ini karena baik aku dan San sibuk menjalanin dan menikmati hubungan ini.

“San, aku rasa ini udah saatnya…”

Please, don’t…” San meraih tanganku. “Ak-aku bisa ikut kamu, Sayang. Aku mau ikut kamu.”

“Aku yang gak bisa ngambil kamu dari Tuhan dan keluarga kamu.”

“Aku sayang kamu… bener-bener sayang kamu.”

Aku memajukan diriku untuk memeluk San. “Aku juga sayang kamu, San. Karena itu udah saatnya kita udahan sebelum terlambat.”

San membalas dekapanku dengan erat. Aku merasakan tubuhnya yang bergetar dan pundakku yang perlahan basah. San menangis. Aku pun ikut menangis. Ini keputusan berat buatku dan San.

San melepaskan pelukannya. Tangannya menangkup wajahku dan mengusap lembut jejak airmata di pipiku. “Maaf kalo selama ini aku belum jadi yang terbaik buat kamu.”

You’re the greatest thing that i’ve ever had, San. Aku gak pernah menyesal kamu ada di bagian cerita hidupku.” Aku mendekatkan wajahku dan mengecup bibir San. “Kamu harus bahagia ya biarpun gak sama aku. Aku yakin kamu bisa. Aku pamit ya. Makasih untuk semuanya.”

Aku segera keluar dari mobil San dan menuju apartemenku. Aku menatap San yang berdiri di samping mobilnya dan tersenyum padanya sebelum pintu lift tertutup. Akhirnya relay panjang ini selesai juga. Gak ada yang memenangkan relay ini baik aku maupun San. Tapi ini memang akhir yang terbaik untuk kita.