Davian's side
“Kau akan baik-baik saja disini,” ujar Davian sebelum menyandarkan bahunya di punggung kursi. Menghela napas lantas memejamkan mata bersiap tidur sembari memangku kedua tangannya. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan disini. Jangan ditahan lagi, aku sudah muak melihat semua yang terjadi disana”
Mungkin kurang tepat untuk tertawa dalam situasi ini, tapi Sasha amat terpukau sebab tetangganya itu mampu mengungkapkan pikirannya. Mengingat sifat Davian yang terlalu enggan mengenai berbagai hal, gadis itu paham jika pemuda yang duduk disampingnya sudah mencapai batasnya.
“Entahlah, terkadang aku juga berfikir, apakah aku layak untuk ini, apakah aku diperbolehkan untuk menjadi seorang seperti ini, bukankah terlihat menyedihkan?” Ujar Sasha sembari menerawang ke atas, menatap awan yang bergelung di atas langit. Mencoba berperaga layaknya tokoh utama yang tengah disorot kamera.
Davian mengehela napas pendek, lantas berdecak pelan sebelum menjawab dengan tingkat kemalasan sedang, “Bicaramu itu selalu saja ambigu. Ini, ini, itu, sebenarnya apa yang kau maksudkan?”
Sasha sontak terkekeh, lantas mengikuti posisi menyender seperti yang Davian lakukan di sampingnya.
“Entahlah, menurutmu apa?”
Merasa pertanyaan yang dilontarkan Sasha begitu menyentil ruang batinnya, Davian sontak membuka mata kembali lantas menarik sisi pipi gadis di sampingnya penuh gemas. “Kau sengaja kemari hanya untuk mengajakku berdebat, ya?”
Setelah menepis keras tangan Davian, gadis dengan lesung pipit di pipi kanan itu menarik napas jengah. “Kau sendiri yang memulai, jangan play victim begitu,” sengit Sasha menatap lurus pemuda di sampingnya. “Aku ini cinta sekali kerukunan, ya?” lanjutnya disetai dengan kedua tangan yang membentuk pola hati.
Davian hanya mencibir pelan lantas kembali pada aktivitas fotosintesisnya, menyerap energi cahaya matahari di atap rumah tetangga, walau sekarang langit agak mendung, sih. Sedang Sasha tertawa sendiri dengan apa yang dilakukannya. Memang ya, menjahili Davian itu menyenangkan sekali. Padahal reaksi pemuda itu terkesan datar, tapi tetap saja ada kesenangan tersendiri yang membuat moodnya naik seketika.
“Barangkali memang aku yang salah mengerti,” ujar Sasha di akhir tawa dengan kontur muka yang kembali serius.
Sedang Davian menghela napas sebab aura dingin mendadak hadir. Pemuda itu sendiri tidak terlalu yakin akan menimpal bagaimana. Sebab dirinya juga tau batasan-batasan yang dimiliki, tidak memiliki kuasa lebih juga takut salah menanggapi. Intinya Davian juga kesulitan memposisikan dirinya.
“Kau yakin sesepele itu?”
Sasha terkekeh geli akan pertanyaan Davian yang tiba-tiba. “Entahlah, aku tidak berfikir semua butuh untuk dipahami”
“Mengapa?” tanya Davian dengan intonasi datar tanpa menuntut jawaban sama sekali. Sejatinya pemuda itu paham, paham sekali. Melebihi apapun, bahkan Athar sekalipun yang notabene nya adalah saudara kandung Sasha sendiri. Maka tidak perlu jawaban lain, gadis itu hanya tersenyum singkat sebelum menggeleng. Karena bagaimanapun, Sasha adalah Sasha, tidak tau bagaimana dirinya menjelaskan kendati tau apabila Davian dapat paham tanpa dijelaskan secara gamblang.
“Dav, Anna belum datang?” tanya Sasha tiba-tiba.
“Iya, mungkin”
Jawaban enteng dari Davian membuat Sasha menghela napas pendek juga mengerucutkan bibirnya sebal, gadis itu lantas berdiri dari duduknya. Menepuk pelan bagian belakang tubuhnya lantas mengambil hoodie nya yang ia sampirkan ke lengan kursi.
“Aku turun dulu ya,” pamitnya sembari mengusap perutnya yang rata, “butuh asupan karbohidrat”
Davian hanya mengangguk tanpa protes, lantas melirik Sasha yang melenggang pergi menuruni tangga. Memastikan tubuh semampai itu telah menghilang dibawah lantai atap.
Setelahnya, pemuda itu berdiri dari duduknya. Menghela napas pendek sebelum meregangkan otot tangannya. Lantas berjalan menuju sisi kiri bangunan secara pasti, melewati deretan tanaman kaktus dan sukulen yang berjajar lalu tenggelam di balik tembok pemisah.
“Na,” panggilnya pada gadis yang tengah fokus pada laptop di pangkuannya. Mengindahkan panggilan Davian, Anna sibuk menarikan jari di atas tuts keyboard.
Merasa dirinya diacuhkan begitu saja, pemuda itu maju mengusak pelan kepala Anna berusaha menarik atensi gadis itu. Sedang Anna sendiri memang sengaja tidak menghiraukan pemuda yang berdiri di sampingnya. Kondisinya sedang dalam mode tidak ingin diganggu siapapun.
“Kau mendadak menjadi tuli, ya?”
Anna sontak mendongak dengan ekspresi merengut kesal. Lantas menyingkirkan tangan Davian di atas kepalanya. Menatap sengit pemuda itu dengan kepalan tangan yang tertahan. Sedang Davian hanya menarik sebelah alisnya sebagai gestur bertanya sekaligus bingung.
“Kenapa kemari?” ketus Anna kemudian.
Davian tidak langsung menjawab, melainkan duduk dengan posisi nyaman di hadapan Anna. Menatap gadis itu dengan sorot mata datar seperti biasa. “Kalian berdua sedang bertengkar, ya?”
“Maksudmu?”
“kau menghindari Sasha,” ucapnya sembari menunjuk tepat wajah Anna, “kau tahu seberapa frustasinya dia?”
Davian tidak berbohong, pemuda jangkung itu jelas paham gestur Sasha saat berbicara. Katakanlah Davian sangat mengenal teman-temannya. Kedati kerap kali hanya diam mengamati, ataupun jarang berkomentar lebih, dirinya selalu paham entah bagaimana. Terlebih kali ini menyangkut teman sekaligus tetangganya yang kerap kali menganggu ketenangannya itu.
“kau begitu peduli padanya, ya?” ucap Anna dengan sedikit penekanan, lantas mengalihkan pandang kembali menatap laptopnya, “tentu saja, kalian kan seperti dua sisi koin”
“Lantas? Apa hubungannya?”
Anna terkekeh pelan, lantas menjawab dengan ekspresi muak yang ketara. “Ah, aku lupa, kita semua selalu bergantung pada Sasha. Maksudku, bukankah dia seperti matahari yang selalu dikelilingi oleh planet lain?”
Davian diam, antara bingung untuk menjawab atau memang tidak begitu tertarik pada kalimat Anna. Sejenak dia mengalihkan pandang, menatap objek lain yang lebih menarik. Sedang Anna sadar, mendadak keheningan yang menyelimuti keduanya begitu menggelikan. Perasaan bersalah sedikit merambat hingga gadis itu tak sanggup untuk berada dalam situasi ini lebih lama lagi.
“Kenapa diam?”
Davian menggeleng pelan, “Tidak ada, teruslah berbicara, aku mendengarnya”
Anna menarik napas pendek, menekan emosi yang sempat hadir. “Memangnya kau paham dengan ucapanku? Tidakkah begitu menggelikan bagimu?”
“Paham atau tidak, itu urusanku.”
Sadarkan Anna bahwasanya pemuda di depannya adalah salah satu orang yang terhitung penting dalam kehidupannya. Sebab rasanya gadis itu ingin sekali menghajar Davian. Watak pemuda itu memang kerap kali menuai emosi, selalu berbicara seenaknya tanpa pertimbangan. Namun anehnya selalu tepat pada sasaran.
“ah..aku benar-benar tidak paham pola pikir gadis seperti kalian” ujar Davian datar, “Jika ada yang perlu diselesaikan mengapa tidak langsung saja?”
Anna menghela napas sejenak, lantas menyahut dengan tingkat kemalasan sedang “kau itu yang tidak paham. Semua butuh momentum yang tepat, lagipula tidak ada masalah apapun yang terjadi padaku dan Sasha” Ucap Anna menco
.
.
.
..
.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
scintilla
Keadaan sekitar membuat Adit mendecak kesal. Ia lalu menarik lengan Fikri yang berada di dekatnya untuk segera menjauh. Pemuda itu benar-benar sudah tidak tahan. Maka ia membawa dirinya dan Fikri sembunyi ke belakang tenda untuk istirahat sejenak. Fikri yang memang tidak terlalu peduli pun pasrah menurut saja tanpa perlawanan.
“Ck. Gila anjir capek gua” keluh Adit yang duduk meluruskan kakinya di atas tanah tanpa alas. Sedangkan Fikri berdiri sambil memangku tangan melihat keadaan sekitar takut kena tegur.
“Ngapain sih? Duduk sini” ujar adit sembari menarik Fikri agar duduk di sebelahnya. Lagi-lagi pasrah saja.
Memang kegiatan tahunan dari organisasi yang sedang mereka berdua ikuti dengan terpaksa ini sangatlah melelahkan. Terlebih lagi semangat dari para anggota yang lain membuatnya sedikit ngeri.
Bagaimana tidak? Mereka selalu saja mengadakan berbagai kegiatan yang menurut Adit tidak terlalu penting dan justru membuang waktu, tenaga dan uang saja. Seperti mendaki, berkemah, dan kegiatan lain yang menguras tenaga. Apalagi semua anggota selalu setuju dan bahkan mengusulkan hal-hal lain selama kegiatan berlangsung.
“Ke tenda Rara, yok?” ajak Adit.
“Ngapain?” tanya Fikri keheranan, pasalnya kawasan putra dan putri masing masing telah di batasi. Meskipun dalam beberapa kegiatan mereka masih bisa berbaur menjadi satu. Tapi mengunjungi tenda lawan jenis adalah hal yang tidak dapat dilakukan selain panitia pelaksana.
“Kabur lah. Ngapain lagi?”
“Serius? Lo bukan panitia, bego!”
Adit memutar bola malas, “yaterus? Kenapa emang? Ikut aja udah”
Sebelum Adit beranjak, Fikri lebih dulu menariknya agar tetap duduk “yakin bisa? Lo bukan Anak kecil. Gabakal dibantu tuh anak. Yang ada dia laporin elo” kata Fikri yang sangat hafal karakter gadis itu.
“Lah? Emang Rara di tenda?”
Fikri mengangguk menjawab, “tuh anak dapat keringanan ga ikut kerja bakti”
“Buset enak bener dapet privilege. Jilat pasti tuh anak” komentar Adit yang langsung dapat tabokan keras dari Fikri.
“Temen lo itu sering nyusahin, kalo lo lupa” ujar Fikri yang justru tak ada bedanya. Tetap menjelekkan gadis tersebut.
“Terus kemana? Tenda Mina? Lebih parah lagi ntar. Itu mak Lampir masih ada dendam ke gue” sungutnya yang membuat Fikri hampir terbahak karena mengingat kejadian saus tomat kemarin malam.
“Pilihan terakhir cuma Dita sih” kata Fikri yang sontak membuat Adit menatapnya horror.
“apa?” tanya Fikri polos.
“Gua masih pengen idup, bangsat. Sini gua bantu cekek lo kalo pengen cepet mati!”
Fikri reflek menghalau kedua tangan Adit yang hampir mencekik lehernya.
“Kita coba dulu ke tenda Rara pura-pura sakit, ntar juga dibantu”
“Ga yakin gue, akting lo aja jeleknya naudzubillah. Sok sok an boongin Rara yang radarnya tinggi ampe maling mau ngerampok juga dia tau”
“Ya makanya dicoba dulu, sat. Ntar kalo ada gabisa pasrah aja gua beneran” Kata Adit langsung berdiri dan menarik Fikri yang memang benar benar pasrah dan fleksibel bisa di tarik ulur kapan saja.
Keduanya berjalan sedikit mengendap dan mencoba senatural mungkin agar tidak ketahuan anggota yang sedang melakukan kerja bakti. Bergerak secepat mungkin dengan sesekali berhenti dan bersembunyi di balik tenda dan semak-semak.
“kalian mau kemana?” tegur seseorang yang langsung membuat Adit terkejut dan melompat ke belakang fikri, bermaksud menyembunyikan diri.