Why you cross the line? Get lost, human!

LACUNA (1)

‧ ₊✜˚.
Barangkali jika sebuah kisah diceritakan dengan kalimat pembuka ringan semacam 'di pagi hari yang cerah di musim-' bisa juga ' pada suatu hari ketika-' atau kalimat lain yang lebih menyegarkan hingga dapat menarik semua orang untuk sedikitnya mencoba membaca ataupun menikmatinya. Namun pada akhirnya kita tidak perlu menanggalkan harapan setinggi itu pada kehidupan nyata. nyatanya semesta selalu punya cara agar suatu kisah menjadi begitu menarik. Akan ada waktu dimana seseorang mengalami kesulitan hingga merasa dunia telah berubah sepenuhnya, tak lagi sama seperti terakhir kali ia dapat tertawa begitu lepas tanpa adanya beban hidup yang memberatinya. Sebenarnya untuk menjalani kehidupan ini, manusia perlu belajar terlebih dahulu mengenai konsepsi kehidupan yang sebenarnya. Setidaknya agar presensi manusia berpemikiran dangkal, pemalas dan selalu menyalahkan keadaan berkurang di muka bumi ini. Sayangnya manusia diciptakan begitu lemah kedati merupakan makhluk paling sempurna di kehidupan ini.

Sama seperti Sakura yang hingga sekarang masih tak mengerti, mengapa benang takdir sering kali mempermainkan hidupnya sedemikian rupa. Entah ini merupakan bentuk kasih sayang tuhan padanya, atau karma balasan atas kesalahannya di kehidupan sebelumnya. Gadis itu ingat betul cerita guru sejarahnya mengenai penyerangan Jepang terhadap pangkalan Harbour di Hawaii secara mendadak sehingga banyak sekali korban yang berjatuhan dan kerusakan dimana-mana. Barangkali begitulah kehidupan Sakura sekarang jika digambarkan, ia masih tidak percaya akan kehadiran seseorangㅡah bukan, dua orang menjadi bagian dari hidupnya, dua orang yang secara tiba-tiba datang lalu saling menyeret satu sama lain untuk terlibat, dan kemudian keduanyalah yang menjadi alasan yang cukup masuk akal mengapa ia masih bertahan hingga sekarang.

Terserah bagaimana orang-orang memandangnya, bagi Sakura kejadian itu adalah sebuah kebetulan yang secara tak sengaja melibatkan dirinya. Sejatinya ia hanyalah gadis biasa yang bahkan hampir putus asa pada hidupnya. Bukankah permainan kehidupan memang selalu seperti itu? Maka tak perlu bersusah-susah payah mengharapkan sesuatu secara berlebihan, karena kenyataan takdir yang pahit seringkali menerjang dengan tanpa dipersilahkan.

Siapa sangka, di umurnya yang masih awal dua puluhan, dirinya diberi amanah menjaga seorang balita yang masih berumur tiga tahun. Gadis sungguh tak habis pikir, dia saja tak dapat menjaga tubuhnya dengan baik selama ini, beberapa luka sayatan di lengan dan kaki menjadi bukti sebaik apa ia menjaga tubuhnya. Tapi ia sama sekali tak memiliki pilihan lain lantaran ibu dari sang balita tersebut tengah dalam keadaan sekarat dengan banyaknya darah yang melumuri tubuhnya, kemudian kehilangan nyawanya tepat di depan mata Sakura yang tengah mengendong seorang balita yang pingsan dengan erat.

Kedatangannya ke Tokyo guna menghindari orang tuanya berakhir dengan kecelakaan bus yang ditumpanginya. Sempat ia berpikir jika hal tersebut merupakan sebuah ganjaran baginya yang pergi meninggalkan kampung halamannya di Kyoto tanpa pamit. Tetapi ia jelas langsung menampik keras hal tersebut, lagipula siapa juga yang kuat berdiam diri di neraka itu lebih lama lagi. Terpaksa Sakura harus melaksanakaan amanah tersebut dengan sebisa mungkin.

Terlebih lagi balita yang bernama Kotaro itu cukup menyentak relung Sakura jika di kehidupan ini ia tak sendirian. Barangkali takdir memang mempertemukan keduanya agar saling menguatkan satu sama lain. Buntalan energi dengan segudang kegemasan itu tak pernah gagal membuat hatinya menghangat. Selelah dan seberat apapun hari yang gadis itu hadapi, wajah lelap serta dengkuran halus dari balita itu sukses mengusir lelahnya. Bak mantra ajaib yang dapat menerbangkan sapu ke atas melayang-layang di udara di dalam film sihir yang pernah Sakura tonton, rasa lelah dan sedih seketika menghilang bersamaan sebuah senyuman terbit di bibirnya.

Memang ia sempat mengalami kesulitan saat awal-awal mengurus Kotaro. Dibutuhkan kesabaran dan ketlatenan untuk menghadapi anak kecil tersebut. Beruntung Kotaro tak mengalami trauma ataupun reaksi hebat ketika teringat akan ibunya. Balita itu hanya akan merengek kecil dengan kedua mata yang dipenuhi genangan air. Sesekali mengerjap pelan sembari bertanya beberapa pertanyaan yang hampir sama tiap kali.

'bunda pelgi jauh, iya? Tidak mengajak Kota, iya? Bunda sudah tidak sakit lagi, iya?'

Maka dengan sabar Sakura menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kalimat pengertian luar biasa sehingga dapat ditangkap oleh pemahaman balita. Cukup mudah karena setelahnya Kotaro dapat tenang kembali. Tapi bagi Sakura, hal tersebut merupakan hantaman keras bagi batinnya. Mungkin karena selama ini ia tak pernah mengurus siapapun selain dirinya sendiri. Sesaat gadis itu jadi berfikir, apakah seperti ini rasanya menjadi orangtua? Apakah dulu orang tuanya juga merasakan hal-hal seperti ini sebelumya. Tapi lagi-lagi Sakura segera menepisnya. Ia benci ketika ingatan pada kedua orangtuanya tiba-tiba muncul dengan brengseknya. Katakanlah ia anak yang durhaka atau sebagainya, ia sama sekali tak peduli.

“tidak boleh nakal, tidak boleh ganggu ayah, halus nulut pokoknya, tidak boleh mam pelmen banyak-banyak”

Entah sudah berapa kali Sakura terkekeh gemas mendengarnya. Agaknya si kecil Kotaro sudah puluhan kali merapal mantra petuah Sakura sepanjang perjalanan. Gadis bersurai merah muda itu memang sudah mewanti-wanti agar Kotaro tidak terlalu merepotkan Sasuke nantinya. Tapi sepertinya kalimat terakhir sedikit-errr berbeda dari yang ia katakan sebelumnya. Ah, sudahlah yang penting dirinya harus bergegas agar tak terlambat sampai di tempat kerja nanti.

Seminggu yang lalu, Kotaro memang merengek pada Sakura agar mengijinkan dirinya menemui ayahnyaㅡrindu banyak-banyak katanya. Maka dengan berbagai akal balita cerdas itu mencoba membujuknya, “ Kota janji tidak pipis di celana lagi, pintal pintal pokoknya” ujarnya dengan binar mata serius bersamaan salah satu telapak tangannya yang terangkat layaknya seseorang yang sedang mengucapkan sumpah yang sangat sakral. Namun aksen cadelnya malah membuat Sakura mati-matian menahan tawanya.

Sebenarnya ia sendiri tidak keberatan jika harus menitipkan Kotaro pada Sasukeㅡayah yang dimaksud. Tetapi ia juga mengerti jika pekerjaan Sasuke bisa saja terganggu ketika buntalan lemak itu bermain disekitarnya. Beberapa kali ia mencoba memberikan kalimat-kalimat pengertian jika Sasuke belum bisa dikunjungi. Tetapi tentu saja balita tersebut tidak akan memahami bagaimana pusingnya orang dewasa ketika menyelesaikan pekerjaannya. Sakura hampir berteriak frustasi ketika Kotaro malah berguling-guling di lantai sambil menangis. Ia sampai memijat pelipisnya merasakan pusing yang tiba-tiba menyerang, bahkan sempat berfikir jika bocah itu kerasukan bola bowling yang sedang menggelinding.

Maka tidak ada pilihan lain, dengan sebuah perjanjian kecil, akhirnya sedikit dapat membuat Kotaro tenang. Tidak sulit sebenarnya, hanya saja bocah itu harus merapikan mainan setelah dipakai selama seminggu penuh, ditambah tidak boleh menangis kala Sakura sedang melayani pelanggan. Mudah sekali bukan? Barangkali karena Kotaro termasuk anak yang baik dan penurut hingga Sakura tak begitu sulit mengurusnya.

Entah karena rasa rindu yang teramat dalam pada sang ayah, atau memang sifat Kotaro yang menyukai sebuah tatangan, balita itu berhasil menyelesaikan semuanya. Yah, walaupun sempat gagal di hari ketiga karena bocah itu menangis saat Sakura sedang melayani seorang pelanggan yang tak memiliki sehelaipun rambut di kepalanya. Tapi ia dapat memaklumi lantaran tahu jika anaknya tengah ketakutan, maka hari itu tak dihitung sebagai kegagalan.

“tidak boleh pipis celana, tidak boleh mam banyak-banyak, tidak boleh jalan jalan cepat, halus nulut pokoknya”

Tunggu, sepertinya Sakura tak memberi petuah sebanyak itu. Ah sudahlah, mungkin karena Kotaro terlampau senang karena akan bertemu sang ayah. Kedua kakinya bahkan meloncat-loncat kecil sembari terus merapal mantranya. Sakura sampai harus menggandengnya takut-takut jika bocah itu terjatuh, sedangkan sebelah tangannya yang lain sibuk mengotak-atik ponsel mencoba menghubungi sang suami.

Sakura menghela napas, menyerah karena tak kunjung mendapat jawaban, ia memasukkan ponselnya ke dalam mantel lantas berjalan menyusuri lorong bangunan apartemen. Ketika sampai tepat didepan pintu yang dituju, ia mendadak gugup. Kotaro sampai mendongak memiringkan kepalanya kebingungan melihat ibu angkatnya. Banyak spekulasi muncul di benak Sakura saat ini. Bagaimana jika Sasuke sedang tak di rumah? Bagaimana jika pemuda itu sedang sibuk pada pekerjaannya tak ingin diganggu? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika Sasuke sedang bersama karin-san, pacarnya?

” ma...ma? A.....yah ada kan?” tanya Kotaro dengan polosnya. Bocah itu agak khawatir sepertinya. Wajar saja karena Sakura masih diam belum membunyikan bel rumah sang ayah setelah keduanya berdiri di depan pintu untuk waktu yang cukup lama.

Sakura tersenyum lembut, “kita cari tahu ya” ujarnya bersamaan dengan telunjuk menekan bel.

Hening, tak ada jawaban ataupun tanda tanda seseorang akan membuka pintu. Sakura memencet bel kembali namun masih belum ada jawaban dari dalam. Ayolah, ia jadi semakin gugup dan bingung sekarang, apa yang harus dirinya lakukan? Mengajak Kotaro pulang? Tapi gadis itu sudah berjanji akan mempertemukan keduanya.

Hingga pada percobaan ketiga, pintu berwarna putih gading itu akhirnya terbuka. Menampilkan pemuda yang masih memakai piyama tidur, sebelah tangannya menggosok kedua mata mengantuknya. “ayaahhh” Kotaro yang memang sendari tadi menunggu dengan tak sabar segera menghamburkan diri memeluk kaki Sasuke, membuat pemuda itu sedikit terdorong ke belakang. Kesadaran Sasuke seketika bangkit ke permukaan dan menyadari akan hadirnya tamu yang bertandang.

“Sakura?” pribadi yang disebut dapat menebak jika Sasuke baru saja bangun tidur dilihat dari suaranya yang masih serak. Ia lantas mengangguk dan tersenyum canggung, sampai sekarang ia masih sungkan jika berhadapan langsung dengan anak bungsu keluarga Uchiha tersebut.

“maaf, kami datang tiba-tiba seperti ini. Aku sudah mencoba menghubungimu sejak semalam tapi tidak bisa”

Pribadi yang sedang menggendong Kotaro terkejut, “oh? Benarkah? Maaf, sepertinya ponselku mati kehabisan daya”

Sakura mengangguk paham, barangkali Sasuke terlalu sibuk hingga tak sempat mengecek ponsel. Gadis itu menarik napas pelan mencoba mengingat kalimat yang ia persiapkan saat akan bertemu Sasuke. Lucu sekali bukan? Sakura sebingung itu padahal ini hanyalah masalah kecil, ia hanya perlu meminta suaminya menjaga Kotaro selama setengah hari. Sementara itu, Sasuke sendiri sibuk menggosokkan hidungnya pada pipi gembil Kotaro membuat balita gembil itu mengeliat merasa geli.

“Sasuke-san” panggil Sakura menginterupsi kegiatan Sasuke yang menggelitiki Kotaro di gendongannya, membuat pribadi yang lebih tua menoleh memberi atensi. “eh? Astaga, maafkan aku Sakura, masuklah aku akan-”

“eh? Tidak, tidak. Aku harus segera pergi setelah ini” Sakura mengibaskan kedua tangannya sedikit panik. “aku kemari hanya ingin menepati janjiku pada Kotaro untuk bertemu denganmu, jadi bisakah aku meninggalkan dia disini? Aku sudah menyiapkan segala keperluannya juga. Aku juga sudah menasehati Kotaro agar tidak terlalu menyusahkanmu nantinya. Eh? Tapi jika Sasuke-san sedang sibuk, aku bisa menjemputnya siang ini, atau kemari lagi lain kali, setidaknya keinginannya terpenuhi. Aku janji tidak akan telat menjemput nanti. Jika Sasuke-san tidak keberatan juga tentunya. “

Oh wow, bolehkah Kotaro dan pasukan semut di dinding bertepuk tanggan sekarang? Sakura mengatakan semua itu hanya dalam satu tarikan napasnya. Benar benar cepat seperti sedang dikejar kumpulan monster penculik anak-anak menggemaskan. Sedangkan pemuda dihadapan Sakura tengah diam mematung, terkejut tentu saja. Sadar akan reaksi nya yang berlebihan, Sasuke segera merubah garis mukanya lantas terkekeh pelan, sebelah tangannya terangkat mengacak kepala Sakura “wahh, jujur aku sedikit terluka mendengarnya”

“eh? Bukan itu maksudku, ak-”

“tak apa, aku mengerti” potong Sasuke cepat membuat Sakura menunduk malu, pemuda itu jelas dapat memahami jika gadis semampai di hadapannya ini hanya merasa tak enak “ jangan khawatir, hari ini aku libur jadi kau bisa mengandalkanku. Lagipula Kotaro dan aku sudah lama tak bermain bersama, bukan begitu Kota?” yang ditanya menganggukkan kepalanya mantap membuat lemak di pipinya bergerak naik turun semangat.

Sakura bernapas lega, “baiklah aku akan menjemput Kotaro setelah kerja nanti sore, dan ini, semua yang butuhkan ada dalam sini” ujarnya sembari menyerahkan tas dari punggungnya. “dan tolong, jangan beri Kotaro makanan atau cemilan yang mengandung kacang”

“oh ayolah, biar bagaimanapun aku juga ayahnya, aku tentu tau mengenai itu”

Gadis itu hanya mengangguk sebagai balasan, “Kotaro” panggilnya membuat manusia berpipi bulat yang sedari tadi sibuk memainkan rambut Sasuke menoleh cepat. Lantas memiringkan kepala memberi gestur bertanya.

“masih ingat pesan tadi?” kedua netra kebiruam itu berotasi ke atas, dengan mulut sedikit terbuka balita itu berusaha mengingat petuah-petuah Sakura saat dirumah. Layaknya mandat yang harus dikerjakan agar mampu mengalahkan penjahat biskuit cokelat demi kedamaian rakyat di dalam perut batita tersebut

“ummm...tidak boleh nakal, tidak boleh pipis celana, tidak boleh makan pelmen banyak-banyak, halus nulut ayah pokoknya”

Senyum Sakura mengembang, lantas mengangguk membenarkan jawaban Kotaro. Sedangkan Sasuke sudah diliputi kegemasan hingga tak tahan untuk tak menggigit pelan pipi penuh lemak tersebut. Membuat si kecil tertawa penuh girang karena geli.

“kalau begitu, aku pergi dulu, maaf merepotkan Sasuke-san

“tunggu” interupsi Sasuke cepat. Sebelah tangannya langsung menyingkap kaus lengan panjang Sakura. Helaan napas lega keluar setelah tak mendapati luka panjang bekas goresan benda tajam.

Gadis bermanik emerald itu terkekeh pelan, lantas membenarkan kembali lengan kausnya. “ Sasuke-san tidak perlu khawatir. Aku tak akan melakukan hal itu lagi” Sasuke merapatkan bibir lalu mengangguk menanggapi.

“kau yakin tak perlu kuantar?” tanya pemuda yang masih berdiri di depan pintu apartemen nya, memastikan Sakura tidak akan mengalami kesulitan.

Sakura menggeleng sebagai jawaban. Gadis itu terlalu sungkan untuk merepotkan apalagi meminta bantuan. “Kotaro, mama kerja dulu ya?” pamitnya sembari melambaikan tangan yang dibalas anggukkan semangat lagi senyum yang menggemaskan. Lantas berjalan menjauh meninggalkan apartemen Uchiha Sasuke.

Sakura melirik jam tangannya memastikan ia punya cukup waktu menuju cafe' tempat kerjanya. Kakinya terus melangkah menyusuri koridor apartemen. Sesekali menyapa ramah penghuni yang lewat ataupun tak sengaja bersitatap. Kegiatan tersebut terhenti karena dering nada panggilan pada ponselnya.

Dahinya berkerut heran ketika nama rekan kerjanya terpampang. Mau tak mau ia menganggkat panggilan tersebut.

“hal-”

“Sakura-san, Aku tahu kau sudah menikah. Tapi bisakah kau cepat kemari? Ada seorang pria muda yang mencarimu. Ia mengaku jika dirinya adalah tunanganmu. Ia juga bilang ingin bertemu denganmu. Secepatnya!”

Sakura diam membeku. Sirkuit otaknya bekerja keras mengenali sosok pria yang dimaksud. Ingatannya terlempar jauh pada sebuah kejadian paling menggelikan dalam hidupnya. Memaksanya untuk mengecap kembali sebuah rasa pahit akan kerasnya kehidupan.

“s-si..siapa namanya?!”

'Sasori, pria itu mengaku namanya Sasori’

LACUNA (2)

'Hei, apa impianmu?'

'Apa kau punya rencana besok?'

Kalimat-kalimat tersebut sering dijadikan sebuah pertanyaan yang mengacu pada bayangan akan masa depan. Rasa-rasanya Sakura tak pernah benar-benar mempunyai rencana dalam hidupnya. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali menyebutkan cita-citanya. Dirinya juga bukan satu dari sebagian orang yang setiap malam selalu berfikir tentang kegiatan apa yang akan dilakukan keesokan harinya. Tidak. Sakura tak pernah memiliki ambisi apapun dalam hidupnya. Baginya kehidupan hanya perlu dijalani seperti semestinya layaknya air yang mengalir mengikuti arus yang sudah tercipta.

Bisa jadi karena itulah Sakura tak pernah keberatan jika tiba-tiba kehidupannya berubah secara total. Ia jelas paham jika takdir seringkali membuat kejutan. Maka tanpa banyak keluhan ataupun penolakan, ia dapat menerima kehadiran dua manusia beda generasi yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Mungkin terdengar menggelinkan bagi sebagian orang, tapi untuk saat ini, hal yang dipunya sakura hanya Kotaro dan suaminya- Sasuke.

Berawal dari ia yang kebingungan tentang bagaimana cara agar ia bisa mengadopsi Kotaro karena beberapa syarat tak terpenuhi. Sedangkan menitipkan balita itu pada panti asuhan pasti bukanlah pilihan yang tepat. Hingga tiba-tiba sosok Sasuke yang datang lalu menawarkan bantuan yang berakhir dengan sebuah ikatan pernikahan.

Jangan kira Sakura menurut saja ketika ia harus dihadapkan pada perjanjian sakral dua buah insan. Terlebih lagi hal tersebut dijalani dengan orang yang baru ia kenal. Setidaknya Sakura masih memiliki akal yang sehat dan harga diri kedati seringkali ia merasa dirinya tak berguna sama sekali.

Tapi apakah ia punya pilihan lain? Semua kejadian terlalu menggelikan untuk ukuran alur kehidupan. Kisah hidupnya tak lebih seperti karangan seorang gadis remaja yang mencoba membuat sebuah cerita ditemani rintik hujan dan segelas coklat panas sebagai pelengkap. Tapi begitulah nyatanya. Memangnya ia pernah berharap sebaik apa hidupnya berjalan? Bahkan pilihan untuk mengakhiri hidupnya seringkali muncul dalam pikiran.

Anggaplah Sasuke adalah seorang manusia berhati malaikat yang mau mengulurkan tangannya pada Sakura. Kedati Sakura harus membiarkan dirinya dinikahi oleh pemuda yang mengaku tak sengaja pernah diselamatkan olehnya saat di Kyoto. Akal sehat Sakura sempat mempertanyakan mengapa pemuda lebih tua satu tahun darinya bisa seceroboh itu menikahi orang asing sepertinya. Bahkah dilihat dari sisi manapun, Sakura bukanlah orang yang pantas bersanding dengannya.

“kau pernah menyelamatkan hidupku Sakura-san, jadi tak ada salahnya jika aku membalas mu dengan hal ini”

Ya tuhan, bagaimana bisa aksi penyelamatan, dibalas dengan pengorbanan masa depan? Terlebih lagi kejadian tersebut hanya sebuah ketidaksengajaan. Seharusnya anak tunggal dari keluarga Uchiha itu layak mendapat pasangan yang sepadan.

Tapi sekali lagi Sakura benar-benar tak punya pilihan. Ia baru saja menginjakkan kakinya di Tokyo. Tak ada seorangpun yang ia kenal. Dirinya masih lajang bahkan pekerjaan saja ia tak punya di kota itu apalagi penghasilan. Jelas sekali persyaratan mengadopsi tak dapat gadis itu penuhi. Lantas, bagaimana ia bisa mengadopsi seorang balita begitu saja?

Jangan pikir pemuda matang dan mapan seperti Sasuke tak memiliki kekasih atau semacamnya. Sepintas memori masih terekam jelas oleh ingatannya dimana dua hari sebelum pernikahan, seorang wanita dengan sengaja datang menemui Sakura. Tak ayal lagi, gadis itu paham jika pribadi bersetelan rapi tersebut bukanlah orang sembarangan.

Benar-benar gila, Sakura bahkan sudah membayangkan skenario terburuk dalam hidupnya. Mungkin setidaknya ditampar atau dicaci dengan segenap hati menjadi pilihan pertama yang muncul dalam pikirannya. Tapi entah tuhan sedang berbaik hati padanya, atau memang senang sekali mempermainkannya. Gadis cantik bersurai merah bernama Karin itu justru tersenyum ramah padanya, memberi dorongan semangat dan beberapa ucapan selamat kedati sorot sedih akan kehilangan tak bisa disembunyikan begitu saja. Lalu berkata akan memutus hubungan dengan Sasuke sebab pernikahan yang akan terlaksana.

Barangkali orang akan mengira setelah mereka menikah, keduanya akan mendapati adegan picisan atau setidaknya bumbu-bumbu asmara yang mengelikan dalam rumah tangga mereka. Yang mana akan menimbulkan percikan rasa diantara keduanya. Tapi tentu saja hal tersebut tidak mungkin terjadi begitu saja. Rasanya Sakura tak pernah membayangkan dirinya akan memiliki perasaan menyebalkan yang biasa orang lain sebut dengan jatuh cinta. Bahkan setelah menikah, mereka tak pernah sekalipun tinggal dalam satu atap yang sama.

Sakura lebih memilih untuk tinggal di apartement milik mendiang ibu Kotaro. Selain karena tak ingin merepotkan Sasuke lebih jauh lagi, letaknya juga tidak terlalu jauh dari cafe' tempat kerja gadis itu sekarang.

Setidaknya setelah lembaran baru yang mereka berdua buka, tak ada lagi yang namanya ‘kesepian’ hadir dalam hari-hari mereka. Dan Sakura yakin, mereka berdua dapat mengatasi segalanya asal mereka tetap bersama. Terdengar berlebihan memang, tapi itu adalah sugesti yang Sakura sematkan dalam hatinya. Terlebih lagi sejauh ini kehidupan mereka berjalan lancar dan cukup baik.

Namun, perlu diingatkan lagi jika kehidupan selalu punya sesuatu yang mengejutkan. layaknya alarm yang berbunyi di pagi buta yang tenang. memaksa bangun walaupun rasa ngantuk masih terkumpul. Nyatanya air yang mengalir dengan tenang mengikuti arus pun terkadang kejatuhan benda-benda asing hingga menjadi penghambat.

Maka disinilah Sakura menghadapi arus yang gadis itu hindari. Duduk tenang kedati pikirannya mengelana jauh pada mimpi paling buruk yang pernah ia alami. Menatap kosong pada pemuda bersurai merah dengan netra coklat terang yang Sakura benci sepenuh hati. Menyesap kopi panas dengan hati-hati, mencetak raut muka yang menuai curiga dalam benak Sakura sendiri.

” Jadi, bagaimana kabarmu?” Tanya pemuda yang duduk di depannya setelah menyesap americano miliknya.

Sakura diam sejenak, tatapan matanya yang tajam namun datar tak berhenti mengawasi gerak gerik pria tersebut. Kedua tangannya bersedekap seolah menantang, dengan sudut bibirnya itu tertarik sinis. “ Kupikir kau tak perlu basa basi meskipun ini pertemuan kita setelah satu tahun lamanya tak berjumpa”

Pria itu mengendikkan bahu ringan, sama sekali tak merasa risih oleh ucapan gadis itu “well, aku hanya berusaha terlihat peduli pada tunanganku. lagipula menanyakan kabar bukan suatu tindakan kriminal”

Ingin sekali Sakura melempari pria itu dengan benda disekitarnya atau menyiramnya dengan secangkir latte pesanannya. Kedatangan pria berjaket hitam dengan topi putih di kepala yang ada didepannya ini bukanlah suatu hal yang baik. Sejak namanya disebutkan oleh rekan kerjanya di telepon tadi, Sakura tak henti hentinya mengutuk di dalam hatinya. Hanya sebuah nama, namun memiliki efek yang besar untuknya, mengingatkan akan segala hal yang terjadi di Kyoto, kampung halamannya. Sukses meghadirkan ribuan kecamuk dalam kepala pun melemaskan hampir seluruh saraf dan ototnya.

Sakura pikir, setelah kepergiannya dari tempat terkutuk itu, rantai yang telah mengikat tubuhnya akan hilang. Begitu pula rasa sakit dari luka yang ada akan memudar seiring berjalannya waktu. Walaupun gadis itu tak yakin hal tersebut tak meninggalkan bekas luka sejauh apapun Sakura berusaha berdamai akan masa lalunya. Haruskah ia menghapus identitasnya? Atau meminum ramuan oblivate yang akan membuatnya hilang ingatan selama lamanya? Tapi ia rasa terlempar ke dalam dunia isekai lebih baik dan cukup aman.

“bicaralah, aku tak akan memaksamu kembali. Hanya saja kau perlu menjelaskan padaku alasan kau melarikan diri” dalam ketenangan, suara bariton itu seolah dipaksa merangsek dalam rungu Sakura. Membuat gadis itu meremat jari-jarinya kuat demi menyalurkan rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.

Dengan satu tarikan napas, gadis bersurai merah muda itu tersenyum tipis sebelum menjawab, “ untuk apa? Apakah aku tidak bisa terlepas dari kalian semua? Mengapa kau berkata seolah-olah aku memiliki kewajiban memberitahu segalanya?”

Sakura tahu pemuda di hadapannya tengah mentapnya dingin layaknya dahan yang membeku kala tumpukan salju menyelimutinya. Menghela napas kasar lantas memukul meja dihadapannya hingga suara gebrakan membumbung memenuhi ruangan cafe yang tidak terlalu ramai. Sukses membawa kejut sendiri untuk Sakura seolah jantungnya telah merosot ke bawah perut.

“Dengar, jika kau bukan adikku, aku tak perlu pusing mencari keberadaanmu selama setahun ini.” Ujarnya dipenuhi penekanan dalam setiap kata.

Sakura terkekeh pelan, lantas mendongak dengan ekspresi muka kaku pun sorot mata nanar. “haruskan aku meminta maaf untuk itu? Aku sediri tidak pernah memintamu untuk mencariku. Kau tak perlu mengurusku lagi, aku sudah bahagia dengan kehidupanku yang sekarang ini.”

Suara tepukan dengan tawa satiris Sasori menggelegar bak petir di siang bolong. Menyentak batin Sakura untuk sadar akan posisinya yang tak akan berubah. Gadis itu benar-benar membenci semua hal yang berkaitan dengan pemuda di hadapannya. Persetan dengan hubungan abadi yang dimiliki keduanya, jelas sekali Sakura tidak pernah sudi untuk sekedar bertukar kabar dengan Sasori.
“bahagia kau bilang? Jadi begini caramu membalas perbuatan mereka? Dengan menikahi pemuda dari Uchiha?”

“t-tunggu, bagaimana kau ta-

“bagaimana aku tahu? Jelas aku tahu. Karena Uchiha-lah yang telah membunuh kedua orang tuaku!”

males ngetik lageeeeeeeee