Denta (Lili's Archive)
‧ ₊✜˚.
Suara lemparan piring menyentuh lantai memekik memenuhi hunian. Denta yang baru saja menutup laci kamarnya terperanjat berselimut gugup. Lantas menepuk nepuk dadanya demi meredam taluan dari jantung yang berdegup tak karuan. Umpatan kotor diiringi racauan hingga omelan yang memekakkan gendang telinga menambah tensi atmosfer ruang semakin keruh. Rasa-rasanya earphone yang Denta pasang tak mampu lagi melindungi telinganya dari raungan kekacauan juga suara bernada tinggi memuakkan dari sepasang suami istri dibalik dinding dapur. Helaan nafas lelah mengudara lirih wujud aksi jengah atas keributan yang tengah terjadi. Oh ayolah, tidak bisakah dirinya mengawali pagi dengan sedikit ketenangan kali ini. Emosinya sudah hampir meledak semalam ketika mengerjakan tugas susulan, sekarang kesabarannya juga kian menipis.
Denta belum mengerti, mengapa sebuah persoalan harus diselingi dengan pertengkaran. Tidakkah orangtuanya malu jika suara sumbang mereka terdengar oleh tetangga. Belum lagi topik pertengkaran mereka tidak pernah jauh dari harta warisan ataupun hak milik tanah, kedati sesekali mereka juga mengeruk topik hubungan hingga selingkuhan. Andai tata krama tidak pernah ada, Denta ingin sekali menyumpal mulut mereka yang hampir tak pernah lelah bekerja mengeluarkan sumpah serapah.
“Kayaknya harus pake jaket” guman Denta sembari memerhatikan kedua lengan tangannya lantas mengambil plester kecil demi menutup dahinya. Seorang gadis tidak ingin memperlihatkan bagian tubuh yang menurutnya buruk tentunya. Maka menyambar jaket dari gantungan juga tas ransel punggung miliknya, gadis itu menarik gagang pintu kamar secara perlahan. Berjalan melewati ruang ruang dalam rumah juga secara acuh mengambil kue kering dalam toples sebagai sarapan, Denta mulai menyanyikan lirik dari lagu yang didengarnya.
Mengabaikan aktivitas berpamitan, gadis itu mulai mengeluarkan motor dari garasi rumah. Bukan garasi juga sebenarnya, hanya sepetak ruang penyimpanan barang maupun kendaraan yang hanya muat dua buah motor matic. Setelah mengecek keadan bensin dan memastikan tidak ada buku pelajaran yang tertinggal, Denta mulai menaiki motornya. Mengedarainya melewati jalanan perumahan yang cukup lenggang di pagi hari. Tak lupa suara musik pop dari earphone yang menemani perjalanannya ke sekolah pagi ini.
Sesampainya di sekolah Denta mulai menjalani rutinitas paginya, yakni menyapa seluruh teman atau kenalan yang berpapasan dengannya. Tersenyum ramah seolah hari ini pun dirinya akan baik baik saja. Sebab prinsipnya selalu berkata, semua akan berjalan lancar jika ia mengawalinya dengan ceria. Terdengar berlebihan memang, tapi hanya itulah satu-satunya sugesti yang dirinya sematkan. Tidak buruk juga sebenarnya, dirinya cukup bersyukur sebab orang-orang mengenal gadis itu sebagai anak yang periang. Namun tidak menutup kemungkinan jika sisi lain dirinya dapat diketahui juga.
Memasuki ruang kelas yang sudah gaduh di pagi hari, gadis itu terkekeh kecil. Dapat ditebak jika sebagaian besar temannya pasti sedang menyalin tugas susulan. Denta sudah hampir meledek mereka, namun suaranya tertahan kala sudut matanya menangkap sosok gadis di sudut ruangan. Ekspresinya berubah seketika bersamaan dengan kecepatan kakinya yang melambat. Dengan tergesa Denta menghampiri gadis tersebut, sosok yang seminggu ini telah absen dari pandangannya. Juga alasan mengapa belakangan ini rasa cemas dan khawatir selalu menghantuinya.
“Vel,”
Vela mendongak dan sedikit terkejut kala melihat Denta yang tiba-tiba berada di sampingnya. Dengan cepat Denta merengkuh tubuhnya, mengusap pelan punggungnya yang telah sepi. Menarik napas sejenak seolah meredam ribuan kecamuk yang bersarang. Hingga kemudian, dengan hati-hati dirinya melontarkan yang kata telah tertahan sepekan. “Yang sabar ya, gua turut berduka cita”
“Iya ta, makasih ya” lirihnya Vela. Melebihi apapun, Denta sama sekali tak mampu menyembunyikan khawatirnya. Kedati Vela tetap bersikap seperti bisanya, kondisi tubuh sahabatnya tidaklah seperti terakhir kali di ingatannya, juga muka pucat dengan senyum yang dipaksakan. Denta jelas paham, Vela telah melewati banyak hal tanpa sepengetahuannya.
Waktu berlalu dengan terdengarnya bel pulang sekolah. Mungkin dapat dikatakan jika ini pertama kalinya Denta merasakan hari terpanjang dalam hidupnya. Seolah hukum relativitas bekerja padanya, dimana waktu malah memuai dan tidak menyusut. Rasanya sedetik sama dengan bermenit menit. Selama pelajaran berlangsung tadi pun dirinya tidak menemukan fokus, duduk gelisah sembari melirik Vela di seberang bangkunya. Memastikan kondisi sekaligus menahan puluhan pertanyaan yang bersarang dalam otaknya.
Mungkin bukanlah pilihan yang bijak, tapi Denta tidak ingin melepas pengawasannya barang sedetikpun. Hingga pada pilihan akhir dirinya memutuskan untuk mengikuti sahabatnya yang pulang seorang diri. Sebenarnya bisa saja Denta menemaninya secara langsung, namun ia urungkan mengingat kondisi Vela yang masih begitu sensitif. Setitik curiga Denta dapatkan ketika jalan yang dilewati Vela bukan mengarah pada kediamannya.
Mengabaikan panas teriknya matahari juga raungan kendaraan lain, Denta terus mengawasi dalam jarak. Hingga pada belokan pertigaan dirinya mulai sadar arah tujuan yang ditempuh sang sahabat. Rasa cemas kembali hadir hingga pikiran buruk mulai menginvasi sebagian pikirannya.
Demi apapun, dada Denta seketika sesak kala mendapati Vela berhenti dan berdiri di atas jembatan. Hanya diam menatap jauh dengan ekspresi muka tak terbaca. Deru mesin kendaraan yang lewat sama sekali tidak menganggunya. Secara pasti punggung gadis itu bergetar, juga rematan tangannya pada pengangan jembatan yang kian mengerat. Denta mengerti, Vela tengah menahan sesak seorang diri. Denta bahkan hampir mengumpatinya yang malah mengunjungi tempat itu seolah apa yang dilakukan sahabatnya adalah keputusan yang buruk.
Denta mengejamkan matanya sejenak demi menguatkan tekad, lantas menghampiri Vela yang masih dalam posisinya. Terlihat hancur, merunduk penuh kemirisan hingga tiupan angin yang menambah sendu suasana. Bahkan Denta tahu Vela sedang menahan isaknya agar tidak keluar.
“Vel,” panggil Denta lembut sembari mengulurkan tangan dan menempatkannya pada pundak sang sahabat. Namun sahabatnya itu sama sekali tak bergerak dalam posisinya. Bak manekin patung yang tak bernyawa dalam etalase toko pakaian.
“Harusnya gue ikut mereka, Ta. Harusnya gue ga nolak ajakan mereka waktu itu,” suara serak Vela sukses menyentak Denta. Kedua matanya ikut bergetar, bahkan ia kesulitan untuk menelan salivanya.
Disisi lain, Vela menatap kosong garis kuning isilop yang mengitari lokasi kecelakaan. Pandangannya memburam dengan pupil yang bergetar, Vela masih diam dengan napasnya yang semakin memberat. Rongga dadanya sesak bukan main, seolah badai telah menghancurkan hidupnya. Kata andai-andai selalu mengisi pikirannya, menekan Vela untuk berkubang dalam situasi bersalah. Seandainya dirinya menahan orangtuanya, atau seandainya dirinya ikut dalam perjalanan mereka, Vela yakin dirinya tidak akan terjebak dalam kondisi menyedihkan juga nelangsa seperti ini.
“Gue tau kok, gua belum bisa jadi anak yang baik. Gue paham itu, tapi rasanya ga adil kalo cuma gua yang,” belum sempat vela melanjutkan kalimatnya, Denta memotong dengan tegas.
“Cukup, vel.”
Hal itu sukses membuat Vela bungkam. Kedua matanya bergetar memanas, hingga dirasakannya setetes air mata lolos menuruni pipi bulatnya. Denta yang sudah tidak tahan melihat sahabatnya yang hancur, menarik lengan Vela dan menangkap tubuh gadis itu. Memeluk dengan erat sembari sesekali mengelus punggung sang sahabat dengan penuh afeksi. Sedangkan vela yang sendari tadi menahan diri sekuat tenaga kini sudah lelah hingga tembok kokoh yang selama ini dirinya bangun roboh seketika. Dengan leluasa dirinya mulai menumpahkan air matanya pada pundak sang sahabat.
“Ta gua punya salah apa sama tuhan, kenapa tuhan mengambil semua orang yang gua sayang?” ucapnya dalam sengguk yang tertahan. Sedangkan Denta tetap diam membiarkan Vela mengeluarkan kecamuknya. Dirinya jelas paham, saat ini Vela tidak butuh kata kata penenang bentuk dari isarat empati. Sahabatnya itu hanya perlu tempat mengaduh dan menumpahkan seluruh sesak juga seluruh emosinya.
Merasakan bahunya yang basah membuat Denta menarik nafas lega. Lega akhirnya Vela menyerah untuk bersikap kuat seorang diri, menahan beban juga kecamuk yang bersarang hingga luapan itu keluar tak terkendali. Barangkali ini hanyalah insting Denta sendiri, tapi gadis itu yakin Vela mati-matian untuk menyembunyikan tangisnya. Berbeda dengan Denta yang terkenal ceria, Vela jarang sekali memperlihatkan emosinya. Seolah dunia Denta yang riang menyatu dengan sisi kikuk dan aura dingin yang senantiasa terpancar dalam diri Vela. Gunungan es adalah kesan yang diberikan pada Vela meskipun tak jarang gadis itu memperlihatkan senyum manisnya.
“Apa gua ga berhak bahagia? Kenapa mereka ninggalin gua sendiri” Suara sumbang vela merangsek runggunya. Denta jelas menggeleng sembari tetap bungkam pada posisinya. Sebenarnya Denta sendiri tidak terlalu paham bagaimana rasanya kehilangan ataupun ditinggal. Sebab sendari awal pun Denta tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah manusia yang perasa. Namun menyaksikan secara langsung kondisi Vela membuat Denta tahu bagaimana hancurnya seseorang ketika sesuatu yang berharga direngut darinya. Terlebih semua kejadian begitu tiba-tiba seolah tidak diijinkan untuk menarik napas sejenak. Seolah seluruh spektrum warna dalam hidupnya berubah menjadi komponen tunggal abu-abu, tidak lagi menikmati warna merah, biru maupun warna lainnya.
“Lo ga pernah sendiri, Vel, dari awal lo ga pernah sendirian,” ujar Denta memberi jeda.“Karena itu lo harus tetap hidup, gue ada disini buat elo kapanpun lo butuh”
Tetesan hujan kerap kali membuat seseorang terhanyut padanya. Seolah ditarik dalam tiap butir air yang jatuh menimpa bumi, juga pecahnya kenangan yang tersimpan kala bulir itu menyentuh suatu permukaan. Belum lagi aroma tanah basah yang memabukkan juga candu yang menyegarkan. Vela akui jika hujan adalah waktu terbaik dimana seseorang membutuhkan setidaknya satu sampai dua hal untuk dipikirkan. Sumber ketenangan bagi sebagian orang yang begitu memuja tumpahan air langit tersebut.
Setidaknya dulu vela juga bagian dari satu diantaranya, yang memilih musim penghujan menjadi musim terbaik dalam satu tahun. Namun situasi dapat merubah kehidupan seseorang hingga menjadi sosok yang sukar dikenali. Kerap kali bertanya kedati tak menuai jawaban yang pasti hingga Vela bosan melontarkannya berulang kali. Bahkan dirinya tidak merasa suatu yang ditanyakan adalah kalimat sulit tak berjawaban. Oh, ya tuhan, tidakkah dunia semakin kejam kali ini.
Bahkan ketertarikannya pada hujan menjadi berbeda kali ini. Aroma yang dulunya menjadi penenang kini berubah jadi pemicu ketakutan yang tak terkendali. Suhu dingin menambah cekam hingga pintasan memori buruk selalu terbayang tanpa diprsilahkan. Ingatan pada hari dimana ia begitu khawatir akan pesan terakhir yang dikirimkan sang sahabat, hingga ayunan kakinya yang terpacu menerobos hujan mempertemukan dirinya dengan kepahitan. Vela yang baru saja terbangun dari mimpi buruknya seolah dipaksa kembali terpuruk kala maniknya menangkap tubuh Denta terbujur dalam kantong yang bertuliskan jenazah.
Terbujur kaku dengan kondisi tubuh yang basah, Denta menolak membuka matanya lagi. Bahkan untuk melihat senyum getirnya yang terakhir kali, Vela tidak diijinkan. Seluruh sarafnya seolah kehilangan fungsi dimana derasnya air langit tak mampu dirasakannya lagi. Ditengah riuhnya petugas keamanan dan tim penyelamat juga para warga disekitar lokasi, sayup-sayup Vela mampu menangkap suara Denta mengatakan kalimat terakhir dalam obrolan yang dikirimkan padanya.
'Vel gua pamit ya'
'Gua janji akan kirim kabar buat ayah dan bunda disana, kalau kondisi anaknya baik baik aja'
'karena itu lo harus janji ke gua, untuk tetap hidup dan bahagia.'
Mungkin seharusnya Vela marah, entah pada dirinya maupun sahabatnya ataupun kenyataan yang begitu meggelikan. Tidakkah Denta keterlaluan kali ini, bahkan dirinya masih mampu mengingat dengan jelas kala Denta berucap akan selalu ada disampingnya. Nyatanya orang yang paling dipercayainya masih mampu untuk berbohong, memaksa gadis itu untuk mengecap kembali rasa getir yang mulai memudar.
Vela masih belum mampu mencerna seluruhnya, semua kelewat menyanyat untuk diuraikan. Gempuran realitas yang tak mampu dirinya elak ataupun lembaran torehan takdir membuat pikirannya mendadak kosong. Tidak kuasa untuk memeta situasi lebih jauh lagi. Menjadikan kenangan terpahit yang dirangkumnya kala hujan.
“Vela?” suara soprano menghentikan lamunan Vela, menarik sadar untuk menempuh dunia nyata kembali.
Vela mengalihkan pandangannya dari kaca yang dipenuhi embun. Lantas menaruh atensi lebih pada wanita berbalut jas putih dibalik mejanya. Seperti biasanya wanita degan raut keibuan itu selalu menatapnya hangat, juga senyum lembut kala memanggil namanya.
Bersamaan dengan suara semprotan otomatis pengahsrum ruangan, suara keibuan nampak mengalun, “Sepertinya Vela sudah ada kemajuan, ya”
Vela sendiri nampak kebingungan disana bahkan kedua maniknya menyipit memikirkan jawaban atas pertanyaan atau mungkin pernyataan tersebut. Beberapa detik berlalu namun gadis itu masih belum mengerti apa yang dimaksud. Sedangkan wanita di depannya mengangguk kecil sembari memeriksa catatan didepannya. Lantas menghembuskan napas lega sebelum menatap kembali pasiennya yang kembali menatap lurus keluar jendela. Dimana rintik hujan turun mengenai permukaan apapun. Secara spontan wanita itu tersenyum teduh melihat Vela yang sudah dapat menatap hujan begitu lamanya. Mungkin bukan waktu yang cepat, namun Vela telah mampu melewati masa terburuknya dua tahun belakangan.