Why you cross the line? Get lost, human!

Magic Land

_

Sebenarnya cukup lucu bagaimana judul yang terbentuk tidak mengandung kreativitas sama sekali. Yah, bagaimana lagi. Aku tidak terlalu pandai merangkai sebuah judul apalagi menyusun kalimat. Begitu saja sudah cukup kurasa.

Here

Kau tahu?

Ada kalanya kita ingin pergi dari dunia tempat kita berada. Masuk portal ke dimensi lain, atau terbangun dari tidur lalu memulai kehidupan baru yang jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Kiya sempat berfikir jika hal tersebut bersifat wajar walaupun terdengar cukup menyedihkan. Tapi siapa yang tahu kehidupan asli dari manusia itu sendiri?

Sempat terlintas dalam benaknya jika dia harus mengakhiri semua secepatnya. Namun tetap saja gadis itu tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukannya. Keraguan masih menyelimuti dirinya yang lemah. Sering bertanya-tanya, apakah dirinya sanggup? Apa tidak boleh jika pribadi itu melanjutkannya. Kewarasannya seringkali mengingatkan agar ia harus berhenti. Tapi entah mengapa Kiya menolak. Bahkan untuk menjadi gila sekalipun dirinya bersedia. Memangnya siapa yang salah? Tentu saja tidak ada.

Semilir angin malam yang dingin menghentikan langkahnya. Tersenyum tipis kala kedua bingkai maniknya mendapati area taman perumahan yang sepi. Gadis itu melangkah dengan bersemangat bak mendapati oasis di gurun pasir. Memasuki area taman lalu duduk di salah satu ayunan dengan raut sumringah.

Menghiraukan kondisi sekitarnya yang begitu sepi, gadis itu mengayunkan diri sembari tertawa sebab betapa menyenangkannya rasanya mengayun kesana kemari seolah mengendarai angin malam yang dingin. Mencoba membayangkan rasanya menjadi sehelai kapas yang terayun-ayun ringan di udara. Sebab kali ini Kiya datang dengan perasaaan yang begitu berat dan butuh untuk diredakan.

Iya, dirinya kembali-membawa gulungan kecamuk dalam pikiran. Sesak kembali dirinya rasakan dan genangan air mata mulai terkumpul. Mudah saja, sebenarnya Kiya hanya merasa lelah. Bukan karena ada kejadian atau sesuatu yang spesial, hanya saja barangkali guncangan yang dirinya dapat sedikit lebih sulit dibanding biasanya hingga gadis itu muak dibuatnya. Tujuan utamanya hanyalah pulang untuk sekedar merehatkan pikiran, namun rencana telah berubah secara mendadak mengingat dua hari yang lalu dirinya sudah datang dan Kiya paham jika sang kakak tidak akan menyukai dimana dirinya begitu cengeng atau lemah. Sebab Athar juga tidak ingin Kiya terlalu bergantung pada dirinya. Tidak perlu selamanya Athar ada untuk Kiya, sebab suatu hari adiknya akan berjalan sendirian tanpa bayangannya dibelakang.

Hembusan angin dingin malam hari membawa dedaunan tua untuk putus dari tangkainya bersamaan tetesan air mata lolos begitu saja dengan seguk yang berusaha Kiya tahan. Gadis itu juga membenci situasi semacam ini tentu saja. Berkali-kali dirinya menepuk dada untuk meredam sesak. Mulutnya terbuka mencoba mengais udara sebanyaknya sebab bernapas seperti biasanya tiba-tiba sulit untuk dilakukan. Kiya sadar, ketika dirinya datang, bendungan emosi akan pecah begitu saja, membiarkan gadis itu leluasa juga tak dapat menahan semuanya sendiri. Namun memang tempat inilah dirinya dapat mengistirahatkan pikiran tanpa takut ketahuan.

“Tidak dingin?”

Kiya terkejut dan sontak menoleh ke arah suara, menemukan sosok sang kakak yang berdiri tak jauh darinya. Gadis itu segera mengusap kedua pipinya lantas menatap Athar dengan sorot kebingungan.

Menyadari itu, Athar menghela napas sembari mengangkat tas belanja di tangan kanannya. Membuat Kiya mengangguk paham jika Athar hanya tidak sengaja lewat dan menemukan adiknya menangis sendirian secara menyedihkan.

“Kau itu mudah sekali sakit, kenapa tidak memakai jaket, sih?” omel Athar begitu saja sembari menyampirkan kemeja flannel miliknya ke punggung sang adik, menyisakan dirinya yang hanya memakai kaus putih polos. Udara malam ini cukup dingin mengingat masa musim gugur hampir habis dan musim dingin akan segera dimulai.

“Hari ini aku ingin sakit, biar saja besok tidak perlu pergi” sungut Kiya membela diri. Bukan alasan yang sebenarnya, mudah saja, gadis itu enggan mengiyakan jika dirinya lupa sebab kecerobohan.

Athar menggeleng begitu saja lantas duduk bangku panjang di samping ayunan “Iya, lalu selamanya kau akan menjadi pengecut, bersembunyi dan merengek padaku”

Bukannya merasa tersindir dengan kalimat satir dari sang kakak, Kiya justru tertawa lantas mengangguk tanpa beban mengiyakan ucapan Athar. Lagipula kemana lagi Kiya bisa pergi untuk sekadar bertemu dan mengadu nasibnya lantas merengek lalu meminta dekapan. Di luar sana Kiya dianggap sebagai manusia saja sudah bersyukur sekali, tapi disini dia adalah menusia seutuhnya tanpa adanya keraguan sama sekali.

“Pusing?” tanya Athar yang menyadari Kiya cukup menjadi pendiam. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan lantas tersenyum dengan kepala yang masih menunduk, merasa malu dipergoki menangis sendirian di tengah malam secara menyedihkan. Yah, bagaimanapun semua melenceng dari tujuan awal. Memangnya siapa yang dapat memperkirakan suatu kebetulan semacam ini? Kiya bertaruh sepertinya tuhan memang tidak membiarkan gadis itu untuk menanggung sendirian.

Sebelah tangan Athar terangkat mengusap kepala sang adik membuatnya semakin menunduk. “Capek?”

Kiya tertawa mendengar pertanyaan Athar, gadis itu lantas menoleh menatap tepat netra sang kakak. “Kakak sendiri gimana? Capek nggak?”

Mendengar itu Athar mengernyit heran, pasalnya cukup jarang Kiya bertanya demikian. Gadis itu seringkali abai pada kondisi sekitar, cukup apatis dan juga menyebalkan sehingga ketika Kiya mulai menceritakan hal lain selain kondisi dirinya sendiri Athar merasa pertanyaan sejenis itu hanya untuk mengalihkan topik saja. Usaha Kiya untuk menutupi beberapa hal, singkatnya Kiya tidak ingin cerita dan tidak mau terlihat menyedihkan.

Helaan napas besar keluar begitu saja dari Athar, pemuda itu kemudian membuka tas belanja miliknya dan mengambil sekotak yogurt dan menyodorkannya ke depan Kiya, “nih, mumpung masih dingin”

Melihat itu, bibir Kiya tertarik membentuk senyuman lantas menerima pemberian Athar. Bagaimana tidak? Athar itu cukup pelit soal makanan, pemuda itu sering mengatur batasan soal cemilan yang bisa dimakan adiknya. Sedangkan sekarang ini tengah malam dan Kiya diijinkan makan yogurt. maka tanpa menunggu lagi Kiya segera membuka plastik yang menutup bagian atas kotak yogurt tersebut dan mulai menyendok isinya. Cairan manis dengan konsistensi yang kental mendekati padat itu memang menjadi favorit mereka sejak kecil. Sang bunda sering memberikannya sebagai selingan ketika Athar belajar di sore hari. Sedangkan Kiya selalu ingin tahu apapun yang dilakukan sang kakak.

Keduanya menjadi hening dengan Kiya yang sibuk menyuap yogurt dan Athar yang memandang lekat raut muka sang adik. Terdapat beberapa ruam di pipi kanan Kiya, ditambah jidat yang memerah dengan tonjolan kecil, juga sudut mata kirinya yang terlihat cetakan gelap di ujung. Lingkaran gelap pada sekitar mata juga kerutan jelas pada dahi menciptakan kesimpulan tersendiri dari Athar jika sang adik tidak cukup tidurnya. Singkatnya, Kiya kembali membawa dirinya pada kondisi menyedihkan dan berantakan seperti dua bulan silam. Bukan sesuatu yang baru bagi Athar, bahkan pemuda itu pernah mendapati Kiya dalam kondisi yang lebih parah hingga kesulitan untuk dikenali. Namun tetap saja, pemuda itu membenci ketika menyaksikan segala hal yang menyakitkan tercetak pada adiknya.

“Kak, boleh adek berhenti?” ujar Kiya secara tiba-tiba membuat Athar mengeryit heran. “Capek sekali, rasanya sesak disini” lirihnya sembari menunjuk dada kirinya.

“Ternyata benar, susah sekali menjalani hari yang normal. Aku hanya ingin berbaring setiap hari tanpa memikirkan kekhawatiran sedikitpun.”

Kiya terus menunduk tanpa berani menatap mata sang kakak. Gadis itu tak mampu atau merasa kalah dan payah di waktu bersamaan. Tetesan demi tetesan jatuh, mengisyaratkan jika gadis itu tidak dapat menahan segalanya lagi. Ingatkan Kiya jika di tempat ini dirinya tidak dapat membendung apapun, semua seperti seluncuran yang selalu mengalir tanpa hambatan. Kotak yogurt yang tinggal setengah tak mampu dirinya habiskan, cukup sulit baginya menelan ketika dadanya penuh sekali sesak.

“Aku udah berusaha, Kak. Tapi jadi manusia biasa susah sekali, ya? Dadaku sakit terus rasanya sesak sekali. Bisa tidak orang lain menjaga ucapannya dan perilakunya? Disana kan tidak ada Athar, adek mana kuat kalo menghadapi semuanya sendirian? Tidak enak, sakit, capek, tapi kalo berhenti juga tidak boleh” lelehan itu kembali menggenang dan turun membasahi pipi Kiya.

Cukup lama Athar terdiam, mencoba mencerna setiap kata dari sang adik, karena Athar jelas tau dirinya bukanlah sosok penasehat yang baik. Lagipula perkataan Kiya seringkali berubah menjadi bumerang, cukup sulit untuk menimpali.

“Kak, suatu saat nanti bisa tidak ya aku jadi manusia biasa? Rasanya sulit ya? Adek sudah mencoba kok, tapi kata mereka adek tetap gagal” Ujar gadis itu setelah beberapa kali mengambil tarikan napas demi menenangkan seguknya dan dapat meyampaikan kalimatnya dengan benar. “Kak, ajari adek sekali lagi bisa? Nanti aku janji bakal berusaha lebih baik lagi, tapi jangan larang kalo adek ngerasa capek. Aku butuh waktu lebih banyak”

Pandangan Kiya seluruhnya mengarah para Athar. Kedua iris mata yang persis miliknya itu menatap penuh pinta. Linangan air yang berkumpul seolah terus didesak untuk keluar. Hingga sebelah tangan Athar terangkat menepuk-nepuk pelan bahu sang adik, mengusapnya perlahan mencoba menenangkan.

Berbeda dua hari lalu ketika sang adik datang dengan kedua mata yang membengkak kemerahan. Tersenyum lebar padanya sembari berteriak 'adik pulang!' lantas mengambil sepeda dan mengayuhnnya mengelilingi daerah perumahan. Yah, kadang Kiya memang diluar nalar tindak tanduknya. Siapa yang menyangka setelah satu jam bersepeda gadis itu pulang dengan sepatu yang kotor penuh lumpur dan rumput. Mukanya yang masih sembab penuh keringat terlihat riang dan kembali berteriak, 'Athar, lihat! Kiya dapat banyak belalang!' sembari mengangkat bungkus plastik di tangan kirinya. Athar hanya menggeleng sembari menghela napas lelah sekaligus lega. Adiknya memang memiliki caranya sendiri untuk menghadapi sesuatu.

“Kita belajar bareng, ya. Nanti kakak temani” Ujar Athar kemudian.

Kiya menelan salivanya lantas mengangguk mengerti. Namun kedua matanya tidak dapat berhenti mengeluarkan air mata kendati mulutnya telah bungkam sepenuhnya. Susah payah gadis itu menelan sesaknya, seperti bongkahan batu besar menghimpit kuat dadanya. Membuat gadis itu kesulitan menahan tangisnya yang tak mau berhenti hingga takut akan pusing besok pagi.

“Kenapa nggak langsung berhenti aja? Athar nggak capek nemenin? Susah kan jaga adek? Udahan aja ya, thar?”

Menghela napas lelah, Athar menatap ke atas. Langit gelap tanpa bintang pun awan yang melayang. Kedua netranya menerawang jauh di atas sana, “Jangan egois, dek”

Setelahnya tak ada yang berbicara lagi, Kiya masih berusaha mengatur napasnya hingga tak menyadari kedua netra Athar yang mulai memanas dan berkaca-kaca.

“Tapi Athar, kalo adek nggak ada Athar bakal lebih mudah. Tahu kok, aku kadang nyebelin dan lebih banyak nggak tau diri. Nggak bakal ada yang butuh juga. Jadi mudah bukan?”

Setitik jatuh dari genangan mata Athar. Iya, pemuda itu juga merasakan sesak yang persis. Bagaimana tidak? Jika adiknya atau lebih tepatnya kembarannya berkata ingin mengakhiri semuanya. Memangnya dirinya bisa menghadapi kemungkinan semacam itu?

Angin berhembus lembut bersamaan dengan Athar yang menatap mohon pada sang adik, “Kiya, boleh aku egois?”

Kiya sedikit terkejut menyadari kondisi sang kakak, gadis itu semerta merta mengangguk menimpali ucapan Athar.

“Aku mau kamu tetep bertahan, temenin kakak, bisa kan?” ujar Athar mantap menciptakan tanda tanya pada Kiya.

“Aku juga nggak bakal kuat kalo kamu nggak ada, Kiya” ucap Athar sedikit bergetar membuat sang adik kembali melelehkan air mata. Yah, dianggap berharga dan penting,

“Kiya nggak perlu jadi orang yang dibutuhin semua orang, tidak perlu. Kiya nggak perlu jadi sosok manusia normal yang mereka katakan, kakak nggak masalah. Kiya hanya perlu jadi adeknya Athar, itu aja. Kiya hanya perlu ada disini, cukup itu. Kiya nggak perlu dibutuhin orang lain untuk tetap ada, karna kakak selalu butuh Kiya untuk bertahan”.

Pecah. Kiya beranjak dan memeluk sang kakak dan Athar membalasnya tak kalah erat. Jujur saja dirinya juga capek, dirinya juga merasa sakit ketika Kiya datang padanya dengan kondisi hancur, tersenyum riang dan tertawa dengan kedua mata yang bengkak kemerahan, berteriak jengkel mengenai hal-hal remeh yang athar lakukan karna kondisi hati yang buruk, ataupun muka pucatnya yang terkadang mematik kekhawatiran.

Athar jelas memahami Kiya lebih dari siapapun, memangnya siapa lagi yang adiknya sebut ketika dirinya dalam kondisi buruk. Keluhan yang terkadang Athar benci nyatanya juga menjadi sedikit kelegaan baginya. Athar lebih suka jika sang adik berteriak atau menangis langsung di depannya.

“Maaf, Athar..”