Worth – Kumpulan Narasi
.
Decakan kesal keluar dari mulut pemuda yang berjalan dengan malas menuju sebuah minimarket terdekat. Kakinya secara asal menendang batuan kecil yang terlihat menghadang jalannya. Bukan apa sebenarnya, hanya saja ia sedang sebal karena harus rela berjalan kaki keluar dari rumah. Siapa sangka seluruh kendaraan roda dua di rumahnya telah lenyap tak tersisa. Maka tidak ada pilihan lain selain merepotkan diri berjalan kaki menyusuri jalanan perumahan karena menggunakan mobil akan tampak berlebihan tentunya.
Di hari libur seperti ini ia paling enggan untuk keluar. Sekadar membeli sarapan di depan pagar rumahnya saja ia malas, apalagi merepotkan diri dengan memasaknya sendiri. Memilih menerobos ke dalam rumah tetangga samping lalu menumpang makan dengan wajah tak berdosa. Tak apa, toh memang sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Itupun dilakukan hanya ketika merasa sangat lapar.
Tak!
Satu batu kecil melayang mengenai sebuah motor yang terparkir di pinggir jalan, membuat pribadi tersebut sedikit terkejut lalu menunduk. Berancang-ancang akan berlari menghindari amukan si pemilik meskipun hanya batuan kecil. Namun ponsel di saku celananya berdering, mau tak mau fikri mengangkatnya.
“Halo?”
”......................”
“Iya, ini lagi di belokan jalan. Sabar kenapa sih.”
”...................”
“Iya, sabar. Gua lari nih. Lo jang–
Belum sempat fikri melanjutkan kalimatnya, sambungan telepon terputus. Membuat pemuda itu mengernyit heran lantas mencibir kesal merasa diabaikan. Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya kembali lantas teringat percakapan di grupnya tadi.
Tunggu....kenapa Athar secara tiba-tiba menyuruhnya menjemput Naura? Fikri kembali mengingat absennya Naura juga kalimat gadis itu di grupnya tadi. Pemuda itu terserentak dan mulai berlari sembari merutuki kebodohannya.
Sial. Seharusnya ia sudah menyadari sejak tadi. Alasan kenapa fadhil secara paksa menyuruhnya menjemput adiknya. Mengapa Naura yang tanpa kabar sejak sebulan lalu tiba-tiba datang lagi tanpa pemberitahuan sama sekali. Meskipun ia sudah tahu ada sesuatu janggal, tapi mengapa ia malah menghiraukan seolah semua baik-baik saja seperti biasanya.
Fikri memacu kakinya secepat yang ia bisa. Menolak melewati jalan ramai dan menghindari rute terjauh. Melewati beberapa gang kecil hingga hampir kehilangan keseimbangan karena tersandung. Ia terkejut saat sampai di depan minimarket dan mendapati sahabatnya duduk di teras dengan kepala yang disenderkan ke meja. Wajahnya sengaja ditutupi dengan plastik berisi berbagai barang belanja dengan logo minimarket. Pemuda itu menghembuskan nafas lega, ia langsung menghampiri Naura yang menurutnya sedang tertidur.
“Ra?” Panggilnya membuat pemilik nama mendongak dan tersenyum dengan mata yang masih tertutup.
“Oh? Udah sampe”
Memutar bola matanya malas, fikri mendengus kesal. “Ck. Lo kenapa sih tiba-tiba matiin hape. Bikin panik tau ga?!”
“ck.. Hapenya tadi jatoh...terus mati”
Fikri menghembuskan nafas kuat berusaha sabar. Pasalnya ia sudah membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada Naura. Tapi nyatanya gadis tersebut baik-baik saja dan tetap ceroboh seperti biasanya.
“Yaudah, ayo pulang. Manja bener minta dijemput.”
“Emm... Nanti aja deh,” Jawab Naura sembari menyenderkan kepalanya yang mendadak berat ke meja. “tunggu bentar lagi”
Entah dorongan darimana tapi secara reflek fikri meletakkan punggung tangannya ke dahi Naura. Mengecek suhu badan yang ternyata hangat, tidak terlalu panas.
“Nggak panas sih, tapi lo sakit ya?” tanyanya memastikan yang hanya dijawab gumanan acak entah apa artinya. Suhu tubuh Naura memang hanya sedikit lebih hangat. Tapi wajahnya yang pucat dan bibirnya yang kering menujukan jika gadis itu tidak sedang baik-baik saja.
Tanpa fikir panjang, fikri segera membereskan barang belanja lalu menarik sebelah tangan Naura agar berdiri hingga terhuyung dan hampir terjatuh karena tubuh gadis itu sedikit limbung akibat gerakan yang tiba tiba-tiba. Ditambah lagi darah rendah yang diidapnya membuat dirinya sering kerepotan ketika akan berdiri.
“Bentar ish, masih pusing ini”
“Ya makanya ayo pulang terus istirahat. Lo mau jadi kayak gelandangan disini?”
“Mual....Ga kuat jalan..” ujar Naura lirih, sadar jika ia akan lebih menyusahkan dari biasanya.
Fikri berdecak, kantong plastik besar belanja Naura di tangannya diberikan pada si pemilik. Lantas membalikkan badan memunggungi gadis tersebut dan sedikit berjongkok.
Naura memiringkan kepala gestur bingung dengan apa yang dilakukan pemuda di depannya. Mungkin tubuhnya memang dalam kondisi lemas dengan kepala pening yang menyiksa, tapi dirinya masih dapat menyaksikan dengan jelas apa yang tengah fikri lakukan.
“Ayo naik.”
“Hah?”
“Gua tau lo bego, tapi lo ga budek Rara. Ayo naik. “
“Em... Gua berat loh, Ki.”
Fikri kembali mendenguskan napas, entah sudah berapa kali, “Iya gua tau, makanya cepet. Gua malu diliatin mbak mbak kasir. Cepetan!”
“Ish. Turunin lagi,” ujarnya sembari menepuk punggung Fikri “masih ketinggian”
Pemuda itu pasrah saja walaupun masih menggerutu soal tinggi badan Naura. Jika saja gadis itu tak sedang sakit sekarang, mereka akan terus berdebat mengenai tinggi badan lalu mulai menjalar ke hal lain yang sama sekali tak berhubungan. Begitulah kira-kira interaksi keduanya ketika bertemu. Sedangkan Fikri ingin sekali menggelindingkan sahabatnya ini ke jalanan kalau saja tidak sakit begini.
Fikri menghela nafas frustasi. Pemuda itu tengah mencari toples kecil berisi bubuk coklat instan. Namun ia tak menemukannya padahal sudah mengacak-ngacak lemari dapur.
“Coklatnya dimana sih, Ra?” tanya Fikri akhirnya menyerah mencari.
Naura yang tengah berbaring di sofa ruang tengah menyahut dengan sedikit berteriak, “Di lemari”
“Iya, dimananya Nauraaaa?”
“Em...di lemari tengah, di samping kopi”
Sejenak Fikri mendecak, mencoba mengais sisa kewarasan yang dimilikinya. “Gausah ngigo, lo mana punya kopi! Dasar sinting.”
Terdengar kekehan kecil dari Naura, membuat Fikri mendengus sebal untuk kesekian kali. Merasa barang yang dicari tidak ketemu, pemuda itu kembali ke ruang tengah dimana Naura berbaring lalu membuka kantong belanja dan mencari sebungkus coklat bubuk.
“Kalo habis itu bilang. Nyusahin gue aja lo” sungut Fikri sembari menepuk pelan kepala Naura yang hanya tertawa menyebalkan.