Why you cross the line? Get lost, human!

Athar Journal

Layaknya pemuda pada umumnya, dirinya juga mengalami kesulitan kala mengungkapkan isi hati maupun pikiran. Nyatanya tidak ada yang spesial pada kehidupannya —begitulah pikirnya sembari tersenyum sekilas. Satu-satunya yang menjadi tiang dalam keluarga, juga sosok yang diandalkan kehadirannya. Barangkali, tidak ada yang tahu seberapa perih luka yang diderita. Baginya, hanya bunda dan sang adik lah yang menjadi dunianya

22/01/22

“Setiap manusia pasti mempunyai masalah masing–masing yang perlu diselesaikan.”

Athar jelas tahu betul kalimat tersebut. Mungkin sudah ribuan kali terlontar dari bibir yang kerap kali mengeluarkan suara lengkingan yang menggemaskan. Tapi, kabut kehidupan terkadang menutup hatinya hingga rasa iba pun hanya sekedar kata semata.

Entah rasa muak ataupun kondisi lelah yang kian menggerus kewarasannya, tapi pemuda itu paham jika manusia jelas ada bedanya. Jika dikata kurang bersyukur, bisa saja masih terdapat satu sampai dua hal yang masih memiliki kejanggalan yang belum terselesaikan. Memang emosi kerap kali membuat manusia hilang kendali. Untuk menyalahkan dirinya saja, Athar tidak di ijinkan. Jelas egois bukan?

Pernah baginya untuk melanggar, tapi seketika hukuman itu datang dengan tidak sopannya. Tertawa dalam hati, dirinya melontarkan pertanyaan, apakah harus begitu? Memangnya siapa gadis itu sampai mengatur emosinya pula. Dirinya bukanlah benda mati yang mampu dikendalikan sesuka hati. Kedati demikian, dirinya tidak pernah menolak kala perasaan tak tega menyelimuti dirinya.

'Pergi!'

Sejenak Athar merasa indra pendengarannya sedikit mengalami gangguan. Tapi tak bisa menampik keterkejutannya pula. Mungkin Athar memang sudah muak hingga tak ayal lagi, hormon endorfin dalam dirinya terpacu dan perasaan senang menyeruak dari dadanya. Hanya satu kata, tapi pemuda itu merasa semua rantai dalam tubuhnya lenyap seketika.

'tidak apa-apa, pergilah'

Seperti berjalan di atas lantai berbeton lantas bertemu dengan kebuntuan. Mendadak Athar merasa atmosfer di sekitarnya berubah secara signifikan. Suasana dingin hadir memenuhi ruang hingga tanpa ada jeda dirinya merasa merinding begitu saja. Bukan merinding bak bertemu dengan hantu di malam hari, namun suasana tak nyaman yang menyesakkan. Apa ini? Rasanya Athar ingin lari saat itu juga. Tapi kakinya enggan berpindah pijakan.

Bingung, perasaan senang yang sempat hadir kini memudar secara perlahan. Oh ayolah, Athar tidak suka hal ini. Seolah dirinya diliputi rasa bersalah tanpa sebab. Memangnya efek dari gadis itu sebesar ini ya? Entah padangannya yang salah atau dirinya terkena mantra sihir secara kebetulan, yang pasti pemuda itu merasa tubuhnya seperti perlahan menjauhi sosok pendek yang memungunginya.

'.......kubilang pergi, PERGI KAK!!'

Athar tersentak hebat seolah terhantam sesuatu yang begitu kuat. Mendadak dirinya kehilangan kontrol tubuhnya hingga setetes air meluncur dari maniknya tanpa dipersilahkan. Mulutnya sedikit terbuka seolah hendak mengutarakan kata, tapi entah mengapa dirinya lupa bagaimana berbicara. Menyeret langkahnya, pemuda itu mendekati sang adik yang enggan menatap padanya. Seolah benar-benar dilepas oleh salah satu semestanya, dirinya merasa salah satu pijakannya runtuh.

“Bicara yang benar, Ra!”

Dengan ragu, pemuda itu mengangkat sebelah tangannya, berusaha menggapai sosok yang masih setia memunggunginya. Perlahan mengusap kepala sang adik dengan kehati-hatian luar biasa. Pun ketika perasaan takut menyelimuti dirinya, Athar tidak bisa bertindak selayaknya. Pemuda itu jelas paham, kali ini dirinya tengah diambang batas. Antara diperlukan atau tidak.

Isak yang tadinya tertahan mulai terdengar lirih, merangsek pendengarannya bagai belati yang merobek kulitnya–perih. Seolah menampar keras Athar agar sadar akan posisinya. Penuturan sang ibunda, juga kepercayaan yang diberikan padanya, semua roboh seketika. Satu kesimpulan yang didapatkan,

-dirinya telah gagal.

Gagal menjaga amanah, gagal menjadi seorang kakak, juga gagal menjadi orang tua kedua–setidaknya bagi adiknya. Ingin sekali Athar menghajar dirinya sendiri. Kekecewaan telah dirinya dapatkan. Lalu apa? Haruskah pemuda itu merasa senang? Nyatanya sifat brengsek sang ayah juga menurun padanya. Persetan dengan semua itu.

“Maaf...” Lirihnya pelan. Hanya kata itu yang dapat dia katakan. Memangnya apa lagi? Bahkan untuk menelan saliva saja dirinya kepayahan. Memang berulang kali dirinya pernah lalai dalam tanggung jawab sebagai seorang kakak. Apabila dihitung secara rinci, maka tidak dapat dikirakan lagi. Namun situasi yang terjadi sekarang berbeda, rasanya dirinya sulit untuk dimaafkan.

Perlahan, Naura memutar tubuhnya, menghadap penuh pada sang kakak. Lantas terkekeh pelan dengan senyum getir yang tertahan. Meremat kuat jari-jarinya demi menyalurkan kecamuk dalam hati. Hingga dalam satu tarikan napas, gadis itu memberanikan diri menatap kosong kedua manik sang kakak.

“Kenapa minta maaf?” Tanyanya dengan seulas senyum hingga deretan giginya mengintip kecil. Lantas mengulurkan tangan mengusap lembut pipi basah Athar. Menghiraukan ekspresi pemuda didepannya yang tersirat kekhawatiran. Begitu lelah untuk sekedar memikirkan apapun saat ini. “Aku ijinkan kakak pergi, bukan meminta permintaan maaf tanpa alasan jelas seperti ini.”

Jelas bukan hal yang baik, ketika Naura berkata dengan kelapangan hati yang luas. Memancarkan aura yang sama seperti sang ibunda. Bahkan sorot mata dan senyumannya juga familiar, begitu terlekat dalam ingatan. Sepintas memori rekaman mimpi buruknya terulang secara nyata. Tidak diragukan lagi, dirinya bisa melihat sosok ibunda dalam diri adiknya.

“Kenapa?”

Pertanyaan bodoh, Athar akui itu. Tapi dirinya butuh penjelasan langsung. Tidak hanya berbagai spekulasi yang diciptakan dirinya sendiri. Memangnya adiknya itu mudah untuk dibaca isi kepalanya? Jika saja hal itu terjadi, mungkin pemuda itu tidak akan merasa sefrustasi ini. Nyatanya tidak semudah itu memang. Barangkali orang lain berpikiran jika hanya dirinya lah yang mampu menangani sekaligus memahami Naura sendirian. Bahkan sang ibunda pun menyerahkan tanggung jawab penuh padanya untuk dapat mengatasi saudara kembarnya. Tapi nyatanya tidak begitu. Rasanya dirinya ingin sekali mengadu pada sosok wanita yang melahirkan keduanya.

Athar gagal, bunda. Athar tidak bisa. Tolong bantu Athar kali ini saja

“Bukankah ini yang kakak inginkan? Atau masih kurang?” Ujar sang adik dengan heran. Menaikan sebelah alis demi menekankan emosi yang dimiliki, gadis itu menghela napas panjang. Lantas berbalik mengambil buntalan boneka yang tadi ditinggalkan begitu saja. Membiarkan Athar termenung sendirian.

“Ada banyak penyesalan dan pengorbanan yang kakak lakukan,” ucapnya memberi jeda “tapi maaf, aku tidak bisa mengembalikan semua seperti sedia kala”

**********************************************************************

26/08/2022

Sosoknya begitu dekat dalam pandangan, pun hanya beberapa detik untuk sampai. Namun dinding kias belum mampu kurobohkan begitu saja. Masih terdapat batasan yang perlu aku perhatikan, otoriter lain yang tak mampu aku imbangi. Hanya segenap untaian maaf dalam batin masih tersimpan. Begitu sulit untuk dilontarkan walau pita suara mulai memanas

Selalu seperti ini, ketika aku lalai dalam beberapa detik, dunia seolah semakin berani mempermainkannya. Suaraku yang parau berusaha berteriak
“Ada apa? Apa yang telah terjadi?”
Percuma saja, tak ada jawaban yang menimpal
Hanya embusan angin musim semi yang menerpa lembut
Masih setia bungkam juga enggan untuk berbagi.

Apakah dia menangis?
Lagi?
Ada apa?
Sulit bagiku untuk memastikan karena posisinya memunggungiku tak memberiku keuntungan.
Mendadak aku menginginkan dirinya yang dahulu.
Yang selalu bercerita apapun walau tak pernah kudengar sekalipun.
Berteriak girang lantas memelukku dengan erat.
Mengusik hari tenangku dengan tangisannya juga rentetan celotehan yang begitu menjengkelkan.
Pun tersenyum kelewat manis ketika kusodorkan sekotak es krim coklat di hadapannya.
Ayolah, aku rindu adikku yang dulu. Semakin hari aku semakin sadar, sosok ku yang selalu dikaguminya ternyata seorang kakak yang buruk. Bahkan tanpa ragu aku selalu membentaknya kala begitu lelah.

Kelewat bodoh jika aku tak pernah sadar. Ketenangan yang kunikmati, bukanlah pertanda baik. Semua membutuhkan bayaran yang setimpal. Tidak kurang, ataupun lebih.

Tak elak jika aku menginginkan kehidupan layaknya manusia biasa. Tapi aku tidak tau secara rinci maupun gamblangnya.


.
.
.
.
23/10/23

Barangkali jika ada yang bertanya, 'kapan pertama kali kau merasa kehidupanmu berubah secara total?'
Jawaban yang Athar lontarkan mungkin terlalu rancu. Karena Athar sendiri masih kebingungan untuk mengingat berbagai peristiwa masa lalu.
Namun apabila dibolehkan, dirinya akan menjawab dengan keringanan, “ketika ibu menitipkan Naura untuk kujaga melebihi diriku sendiri”

Sebagai seorang anak laki-laki, tentu Athar merasakan kebanggaan tersendiri diberi amanah seperti itu. Seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar, dengan umur tidak lebih dari sepuluh tahun. Kesan belia yang terlekat kuat, dengan segala kebingungan yang ada. Hingga ketika dua lembaran bulan pada kalender telah terlewat, bocah laki-laki dengan bekas luka di dahi itu sedikit lebih memahami apa yang terjadi.

Semua berjalan begitu saja, Naura yang kekanak-kanakan lantas berubah menjadi gadis pendiam yang menyukai hal-hal abstrak. Nyatanya Athar pernah begitu lelah untuk menghadapi. Hingga di titik lemah keduanya, Athar hanya bisa terdiam kala sang adik berujar dengan raut muka tak terbaca 'aku berharap hari esok tidak ada'. Tentu saja, Athar menganggap adiknya begitu egois dan lemah. Tanpa menyadari bahwa disini Atharlah yang payah, entah secara harfiah atau memang pribadi itu sukar untuk menyadari lebih awal.

Salah Athar? belum tentu. Perubahan drastis pada sosok Naura menjadi gejolak kisah hingga rentetan kejadian tak terelakkan. Menjadikan Athar memedam frustasi yang begitu kuat dalam sanubari.

Memangnya apa yang bisa dibayangkan? Seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar, dituntut untuk bertanggungjawab penuh atas kondisi keluarganya. Bisa dibayangkan betapa banyak kesulitan yang perlu ditanggung di pundak yang tak seberapa itu. Jangan salahkan jika Athar pernah mencoba menyerah, lalu meminta bantuan dari jarak pandang yang mau dijangkau. Lelah? tentu saja. Tapi pernahkah Athar tidak peduli akan tanggungjawabnya?

Semua dilakukannya dengan harapan penuh hari esok akan lebih baik. Namun apakah sugesti yang tersemat mampu untuk merubah suatu nasib menjadi lebih baik. Sugesti tetaplah sugesti, tidak mengubah apapun selain pikiran pada masing-masing pribadi.

Jika boleh jujur, Athar juga merasakan sebuah kecemburuan kala semua orang begitu memperhatikan Naura. Entahlah, rasanya mereka sering bertindak begitu berlebihan jika menyangkut gadis itu. Hingga suatu ketika Athar benar-benar membenci sangadik sebab semua orang seolah menyalahkan dirinya atas berbagai kejadian kecil yang menimpa Naura.

'Mengapa semua orang begitu peduli dengannya? Bagaimana denganku? Kita berdua mengalami hal yang sama, kenapa aku tidak mendapatkan perhatian yang sama?'

Mungkin hanya itu yang dipikirkan oleh Athar, remaja usia 13 tahun yang sedang lelah diuji sedemikian rupa.

Namun ketika kewarasannya mulai tertata lagi, kesadaran mulai terasa jika tidak ada yang begitu memperhatikannya melebihi adiknya. Karna seorang yang paling memahami yang mereka alami hanyalah mereka berdua. Orang lain bisa saja merasa iba, ataupun mengucapkan sepatah kata penyemangat bagi keduanya.

Tapi apakah mereka mampu mengubah keadaan menjadi seperti semula?

Athar rasa tidak. Sebab sang ibunda sendiri tidak mampu berbuat apa-apa. Meninggalkan keduanya dengan dalih demi keselamatan mereka. Hanya sesekali mengunjungi dengan raut muka yang dipaksakan bahagia. Lantas, apakah Athar mengeluh akan hal itu? Nyatanya Athar pun tidak berhak. Sebab dirinya juga paham, apa yang dialami ibunya jauh lebih besar dibandingkan dirinya dan adiknya.

Melebihi apapun, Naura lebih baik dalam menyembunyikan segalanya. Menutup luka yang lebih besar dengan tingkah yang kekanakan ataupun aduan remeh temeh seperti keluhan mengenai Athar yang jarang sarapan. Cukup menggelikan bagaimana interaksi mereka begitu palsu, Athar muak dengan itu semua. Nyaris Athar berteriak frustasi bagaimana senyuman yang Naura sematkan luntur begitu saja setelah berbalik mengantarkan ibu mereka kembali. Cukup sangsi bagaimana raut dingin itu dibangun dengan sorot sendu yang ketara.

Athar tidak mengerti, atau lebih tepatnya belum mengerti. Bagaimana sebuah kepalsuan menyertai dalam setiap interaksi. Rasanya pemuda itu sesak bukan main dalam rongga dada. Memangnya kehidupan orang dewasa semengerikan ini ya? Dirinya baru menginjak usia remaja awal, lantas keadaan memaksa dirinya untuk bersikap dewasa tanpa aba-aba.

'Kakak tak perlu memendamnya. Ada aku, disini untuk mendengarkan semuanya'

Cukup, bahkan Naura tidak pernah memahami apa yang Athar alami saat ini. Tiap hari gadis itu hanya mengeluh atas suhu yang dingin ataupun telur goreng yang terlalu asin. Mengapa tiba-tiba adiknya menyuruh untuk menceritakan segala pikirannya. Tidaklah begitu egois?

===

21/11/23

Dalam kisah Athar, barangkali hanya dipenuhi keluhan mengenai beberapa kondisi. Seperti erangan frustasi yang kerap kali keluar ketika sang adik begitu menyebalkan. Atau limpahan kesalahan yang dirinya terima karena lalai beberapa kali. Sudahlah, memangnya apa yang menarik dari kehidupannya. Tapi ketahuilah, tak pernah sekalipun Athar menyesali lahir di keluarganya. Entah bagaimanapun itu. Seberat apapun tugas dan bebannya, tak dihiraukannya, asal sang adik dapat menjalani harinya dengan baik.

Sebagai seorang saudara, Athar mampu merasakan berkali lipat situasi yang Naura alami. Cukup menggelikan bukan? Namun hanya diam menyaksikan tanpa dapat berbuat banyak, bukankah hal itu lebih menyesakkan. Athar paham dirinya mampu, namun ketika sebuah kisah diotorehkan begitu saja Athar tidak dapat berbuat banyak. Kendati Naura cukup puas hanya dengan menyadari kehadirannya. Gadis itu dapat melangkah sendiri sembari Athar di belakang mengawasi.


12/04/24

Senja, di lokasi yang sama.

Sedikit melankolis memang, tapi Athar lebih menyukai matahari terbenam dengan lukisan jingga gradasi merah dan biru yang menenangkan. Disini kerap kali athar menghela napas begitu besar seolah membuang beban yang tertumpuk begitu saja. Sesekali tersenyum samar sebab teringat akan sang adik yang lebih menyukai gulungan awan kelabu memenuhi langit. Tidak begitu menarik memang, hanya perdebatan dua anak kembar yang berbeda selera. Sebab begitulah manusia adanya. Namun terkadang Naura begitu bersikeras jika suasana dingin dan sejuk kala kelabu adalah situasi yang menyenangkan. Maka Athar bisa apa selain menghela napas pasrah lantas mengusak pelan kepala sang adik dengan gemas.

Berbicara mengenai Naura, Sudah hampir dua bulan anak itu tidak pulang. Entah memang sibuk atau sosoknya sudah dapat berjalan sendirian layaknya manusia normal. Namun setahun terakhir Naura memang lebih jarang pulang. Beberapa kali menulis surat walaupun tidak Athar balas juga.

Namun jika dilihat secara signifikan, sang adik memang tumbuh sedikit berbeda. Jika dulu Naura kerap kali pulang dengan muka sembab atau deraian tangisan yang memekakkan telinga, sekarang anak itu hanya tersenyum atau diam dengan raut sendu yang ketara. Memang cukup berbeda, rasanya Naura tengah berusaha untuk menahan kendati tidak mengurangi aduannya pada Athar. Dengan begitu Athar cukup lega, menyiratkan bahwa sang adik sedikit tumbuh lebih dewasa namun tidak juga memikul semuanya sendirian. Sebab apabila demikian, Athar akan merasa menjadi saudara paling tidak berguna di dunia.
.
.
.
.
.
.
.

14/04/24

Malam, di segian ruang yang senyap pada sudut pandang pertama.

Untuk pertama kalinya, aku menulis sebuah jurnal asli dengan sudut pandang yang benar. Tidak begitu yakin apakah akan berjalan dengan baik sebab aku lebih menyukai menjelaskan semuanya pada sudut pandang orang keempat. Namun bukan begitu sebuah jurnal dituliskan, bukan?

Baiklah.

Salam.

Aku tidak terlalu menyukai menulis ataupun mengungkapkan isi kepalaku sebenarnya, namun bunda menyarankanku untuk melakukannya. Sebab beliau tahu aku tidak seperti Naura yang lebih terbuka. Cukup kuat bagiku untuk memulai karena jelas tersirat raut kekhawatiran pada bunda. Juga arahan Naura yang memaksaku untuk meluapkan emosiku pada bentuk lain.

“Tulis saja, lagipula memukul samsak tidak membuatmu lega sepenuhnya, bukan?”

Aku benci mengakuinya, tapi dia benar. Entah mengapa Naura lebih memahami diriku dibandingkan pemilik raga sebenarnya. Apakah karena kami adalah anak kembar? Tidak tahu juga.

Selain karena kelelahan dan malas untuk melakukan gerakan pukulan, aku akan menulis apabila semua begitu menyesakkan hingga tubuhku merasa begitu tercekat. Kurasa Naura memang benar, tidak baik untuk memaksakan diri.

Mungkin cukup aneh jika jurnal ini berjudul “Athar Journal” sebab isinya akan penuh dengan karakter lain. Seperti sebelumnya, aku tidak tertarik untuk menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan diriku sendiri. Tidak ada yang menarik juga lagipula. Bukankah akan menyenangkan jika aku berbagi beberapa hal disini? bercerita sendirian, kala Naura pergi dan tidak bisa mendengarkanku.

Barangkali orang lain akan heran mengapa sosok Athar yang sering dijadikan sandaran ingin berkeluh bahkan ingin tumbang. Tapi ketahuilah, Tanpa adanya Naura yang selalu menyakinkan diriku, aku tidak lebih dari pemuda putus asa yang lelah dengan segalanya. Naura berkali-kali bilang jika aku adalah sosok yang paling dibutuhkan dirinya. Cukup untuk membuat diriku menjadi besar kepala memang. Namun Naura dengan segala afeksi yang dimilikinya membuat Athar cukup untuk menjalani segalanya.
.
..
.
.
.
.
.
.

31/05/2024

bilik berbaris tanpa dinding sebagai sisi

Aku tidak tahu, semua akan berjalan berat ketika menjelang pertengahan tahun. Ah aku juga ingat jika masa itu adalah masa dimana Naura bertubi-tubi dihentak oleh realita kelam. Mengubah sosoknya menjadi gadis yang cukup berbeda dari sebelumnya. Aura yang terpancar hingga cara bicara yang berbeda secara signifikan. Orang akan berkata jika Naura menjadi lebih dewasa sesuai dengan usianya. Tapi aku sedikit menghawatirkan hal tersebut, sebab aku paham bagaimana Naura menahan semuanya.

“adeknya kakak kenapa menangis?” satu kata yang keluar ketika kudapati dirinya berjalan dengan membawa banyak barang di tengah malam yang gelap. Jika dilihat lebih dekat kudua mata itu sembab lengkap dengan air tergenang di sudut mata.

Satu hal yang terputar dalam otakku. Siapa lagi? Katakan padaku? Siapa yang berani membuatnya demikian?

Amarahku memang tidak bisa dibendung lagi. Tapi menyadari bagaimana Naura mencoba tertawa lantas tersenyum dan menggeleng lirih menyadarkan diriku kembali. Kurasa adikku terlampau lelah, lelah dengan segalanya hingga bercerita saja dirinya tidak memiliki tenaga.

Ya Tuhan, biarkan adikku menjalani harinya tanpa kendala. Aku tidak bisa selalu ada disampingnya, bahkan mengadu padaku saja sekarang dirinya jarang. Meskipun dulu aku sempat membencinya karena terlihat begitu lemah, tapi aku lebih membencinya yang sekarang mencoba terlihat kuat.

Maaf, Athar hanyalah kata dan angan, tidak bisa hadir secara nyata dan datang layaknya pahlawan kesiangan. Maaf, ra kau harus menjalani semuanya sendirian. Lagi.
.
.
.
.
.
.
07/07/2024

dilikuan jalan, pada satu ujung belokan

Rindu. Kurasa kata krusial yang menggelikan tersebut mulai terjadi padaku. Aku tidak tahu, sebanyak apa aku menginginkan Naura hadir menemaniku. Atau memang inilah yang dibutuhkan setiap insan? Aku tidak tahu, lagi.

Jika dulu aku sering mengeluh mengapa Naura tidak pintar dalam menjalani hari, kurasa aku sedikit mengerti kali ini. Bukan tentang pribadi yang payah ataupun lemah, ini adalah sifat manusiawi dimana kita akan membutuhkan orang lain setidaknya satu untuk menemani. Sepi yang menusuk kerap kali membuat seolah dunia akan berakhir secepatnya. Cukup hiperbolis memang.

Apa aku terdengar egois jika aku merasa Naura membuangku begitu saja? Aku memang tidak suka jika Naura tiba-tiba datang dengan lengkingan tangisan yang menyebalkan. Tapi aku juga tidak suka jika adikku begitu sibuk menjalani harinya hingga melupakan sosokku yang merupakan kakaknya. Apa itu cukup membingungkan?