Why you cross the line? Get lost, human!

    

dive

WARN!!! Kisah klise yang menggelikan

Mina membenarkan letak kacamatanya dengan cekatan. Kedua manik matanya fokus meneliti lembaran kertas dengan bibir merengut. Dirinya dalam kondisi hati yang buruk atau dengan kata lain gadis itu tengah menahan kesal sendari tadi. Penyebabnya tak lain adalah Vianㅡsuaminya, yang entah sadar atau tidak telah melanggar perjanjian mereka.

Jangan ditanya lagi bagaimana raut muka gadis tersebut ketika Harsa yang notabenenya adalah rekan kerja Mina, mengirim pesan jika ia melihat Vian membawa seorang wanita ke rumah. Wah bukan main, seketika Mina ingin mengumpatinya saja rasanya. Sempat membayangkan dirinya berlari ke rumah lalu dengan tanpa aba-aba menghajar pria bermarga Gafanzar yang telah menjadi suaminya beberapa bulan ini.

Barangkali sulit untuk dibayangkan, namun kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali, setahu Mina keempat kalinya Vian melakukannya. Pergi bersama wanita lain kendati statusnya telah berubah menjadi suaminya. Dan entah memang sudah menjadi keharusan, kali ini kecerobohan sang suami terlihat oleh orang lain, terlebih lagi itu Harsa yang berpotensi untuk membuat hal ini semakin rumit. Mina berjanji akan memukul kepala jenius sang suami saking gemasnya, berdoa saja semoga Vian tidak lebih bodoh dari ini.

Dirinya sudah cukup menahan sabar. Bahkan saat kepulangannya dari tempat bekerja tadi, kedua manik Mina secara langsung melihat Vian dan seorang wanita keluar dari rumahnya. Dilihat dari gelagat keduanya sepertinya mereka terlihat cukup akrab satu sama lain bahkan tertawa bersama entah menertawai hal apa. Ah, bersyukur saja sebab Mina bukanlah manusia yang mudah dikuasai oleh emosi, dengan cerdik gadis itu segera memasang innoncent nya dan berusaha menyapa dengan ramah perempuan yang entah siapa namanya.

Brak!

Mina melempar dengan kesal kertas yang sudah ditelitinya itu ke atas meja. Ia melepas kacamatanya lalu mengusap wajahnya pelan mencoba menekan emosi yang hampir meledak. Helaan nafas berat keluar dari hidungnya secara kasar. Kepalanya mendadak merasakan pening, dirinya benar-benar harus mengajak Vian bicara. Maka setelah dirasa dirinya cukup tenang, Mina beranjak menuju ke kamar Vian yang berada di sebelah kamarnya.

Langkahnya terhenti tepat di pintu kamar Vian. Di depannya terdapat sang suami yang duduk di meja kerjanya, membaca buku-rutinitas Vian sebelum terlelap. Benar-benar fokus hingga sama sekali tak menyadari kehadiran Mina.

“Vian, ayo bicara” ujarnya dengan nada datar. Tanpa mendengar persetujuan, ia berlalu dari sana dan menuju ruang tengah.

Vian mengernyit bingung, selain kalimat Mina yang terdengar dingin, sikapnya juga dinilai kurang sopan. Tapi ia tak berniat memikirkannya lebih jauh, maka setelah menutup buku tebalnya dalam sekali aksi, dirinya segera menyusul Mina.

“Mau bicara soal apa?” Tanya Vian yang tiba dan langsung duduk di sofa sebelah Mina.

Kedua mata deo itu terpejam sesaat sebelum dipaksa untuk berserobok dengan mata setajam elang milik Vian. Sorot mata Vian memang kerap datar dan terlihat malas, tapi mampu menginvasi pribadi manapun yang mencoba bersitatap dengannya. Mina menghela napas setelah beberapa detik keheningan diantara keduanya, ia mencoba memulai pembicaraan.

“Vian, lo kekurangan uang atau gimana? Gaji lo turun?” Pertanyaan sarkatis Mina lemparkan begitu saja dengan senyum mengejek yang ketara.

Vian mengernyit bingung, ia merupakan pribadi yang tak suka bertele -tele. “langsung aja ke intinya, na”

Mina tersenyum sinis. Vian ini sebenarnya kurang peka atau bodoh? Kedati sebenarnya sikap Mina memang terlalu berlebihan lagi kekanakan. Tapi Mina sudah tidak dapat membentuk pribadi yang dewasa lebih dari ini.

“Vian, lo lupa sama perjanjian kita?”

“Perjanjian yang mana? Ada banyak peraturan yang lo buat. Gue ga inget”

Ck. Beneran ga tau diri ternyata.

Sebenarnya bukan salah Vian jika dirinya tak mengetahui perjanjian mana yang dimaksud Mina. Tapi memang ada banyak sekali peraturan yang Mina buat secara sepihak. Kendati Vian tak pernah keberatan akan hal itu, tapi tentu saja ia terlalu enggan merepotkan dirinya sendiri dengan mengingat semuanya. Vian terlalu sibuk untuk hal tersebut. Dan dia hanya perlu diam ketika gadis bermata bundar tersebut mulai mengomel karena sebuah kesalahan tak sengaja Vian lakukan.

“Perjanjian pernikahan” Geram Mina.

“Emang kenapa?” sahut Vian tanpa beban. Pemuda itu bahkan dengan santai menyenderkan punggungnya ke kepala kursi. Tak seperti Mina yang sudah tegang sejak tadi.

Mina berdecih. Bisa-bisanya manusia semacam Vian hadir di kehidupan Mina. Benar-benar merepotkan.

“Vian, lo lupa atau gimana? di baris kedua jelas-jelas tertera, siapapun baik lo maupun gue, ga ada yang boleh bawa pihak ketiga ke rumah” jelas Mina panjang lebar yang tentu saja menekan bagian 'pihak ketiga'. Masa bodo dirinya terdengar kekanakan.

Vian mengernyitkan sebelah alis. Ia sama sekali tak paham dengan pembicaraan Mina. “Terus?”

Wah, bisa tidak sih Mina memukul suaminya pakai remote? Rasanya Vian memang mencoba menguji kesabarannya

“Coba inget? Lo tadi bawa siapa ke rumah?”

Tersenyum tipis, Vian mencoba menimpal “Emang kenapa? Toh ini juga rumah gue, kan?” Balas Vian santai.

“Lo pura-pura bodoh atau emang bodoh beneran? Bahkan Harsa sampe nanyain gue kenapa lo bisa mesra banget sama cewek lain! Lo butuh uang buat nyewa hotel atau kencan? Gue bisa kasih! Asal lo ga bawa jalang-jalang lo ke rumah” sengit Mina dengan sarkasme yang ketara. Biar saja, toh dirinya memang berniat memukul kepala sang suami sedari awal.

“Ga perlu” sahut Vian cepat. Mungkin bukan waktu yang tepat, tapi Vian ingin sedikit bermain disini, memiliki otoritas sendiri sungguh menguntungkan.

Mendengar itu, Mina menggeleng tak percaya. Bagaimana seseorang bisa begitu santai setelah melakukan kesalahan. Gadis itu sampai mengulum bibirnya menahan sesuatu yang mengganjal hatinya sejak tadi. Ah memang kesalahan dirinya belum menambahkan konsekuensi apabila salah satu pihak melanggar. “jangan diulangi....” lirih Mina.

Vian tertawa pelan tanpa suara, “Emang kenapa? Emang sejak kapan lo peduli sama pernikahan kita?”

Kini, gantian Mina yang keheranan. Vian menanyakan itu padanya? Hei ayolah, bukankah selama ini Mina yang paling peduli dengan semua ini? Dari awal hanya Mina yang paling repot dalam urusan pernikahan.

“Jelas gue peduli vian” ucap Mina penuh penekanan.

Vian terkekeh terhadap jawaban Mina. “Peduli?” sangsinya memberi jeda, “Peduli lo bilang? Dengan ngijinin gue main cewek lain sedangkan status gue sebagai suami lo, itu yang namanya peduli? Semua peraturan yang lo buat, ga ada yang masuk akal bagi gue”

Dicerca seperti itu sontak membuat Mina naik pitam. Ketenangan yang sempat ia bangun kini runtuh sudah. Maka dengan iris mata yang menyalak lebar, ia menjawab, “Itu karena gue paham sama keadaan lo, gue mencoba ngasih kebebasan supaya lo ga ngerasa terkekang”

“Atas dasar apa lo ngelakuin itu?”

Mina terdiam. Wah bukan main, dia yang sendari tadi mengoceh ini itu seketika menjadi tenang hanya karena satu pertanyaan dari Vian.

“Kenapa diem? Jawab dong, Atas dasar apa?”

Mina mengumpat kasar dalam hati. Vian benar-benar diluar dugaan. seharusnya Mina tidak seceroboh ini mengajak suaminya berdebat. sampai kapanpun Vian tak akan pernah mau mengalah dan justru akan memojokkan lawannya. Dan Mina akui dirinya kelewat bodoh tak mampu menyangkal perkataan sang suami. Sesak yang seringkali hadir menyeruak batinnya selalu melemahkan gadis itu.

Vian terkekeh sinis. “Sekarang gue tanya deh, lo cinta sama gue?

Mina tertegun. Bibirnya terbuka tak percaya. Jantungnya berdegup dengan cepat. Seolah sadar akan reaksinya yang berlebihan. Mina segera berdehem pelan. “Maksudnya?”

“ga perlu pura-pura, Na. Kita berdua udah dewasa, seharusnya paham satu sampai dua hal semacam ini. Gue suami lo, jadi ga ada salahnya gue nanyain, kan? “

Sial, Vian benar-benar ingin menjebak Mina. Ingin rasanya Mina mengatakan hal yang sebenarnya tapi tentu saja ia tak seceroboh itu. Davian Yusuf Gafanzar tidak semudah itu, pemuda dengan iris tajam tersebut benar-benar tak terduga.

“Gue capek, mau tidur aja” ujar Mina menyudahi obrolan sepihak lalu bangkit pergi ke kamar dan menutup pintu dengan rapat. Sedangkan Vian hanya diam memperhatikan punggung pasangannya yang perlahan menghilang dibalik pintu ber cat putih.

selalu saja seperti ini

Kedati sudah menginjak usia dewasa, keduanya tetap memiliki emosi yang sama. Mina duduk di tepi ranjang miliknya. Kedua tangannya terkepal dengan kuat. Wajahnya menengadah ke atas dengan kedua mata memanas. Bibir bawahnya digigit berusaha menahan jatuhnya air yang siudah menggenang di pelupuk mata. Tidak, Mina tidak selemah itu! Lagipula mengapa ia harus menangis karena hal ini? Tapi percuma saja, air matanya perlahan keluar dan mengalir membasahi pipi.

Oh ayolah, Mina benci sekali jika harus menjadi lemah seperti ini. Sangat memuakkan dan menggelikan secara bersamaan. Sejenak bayangan kedua orangtua Mina hadir tanpa diminta. Membuatnya semakin tertekan oleh rasa bersalah. Mina ingin sekali mengatakan dengan keras mengenai apapun. Tapi ia enggan, gadis itu terlampau takut ditolak atau ditertawai oleh sang suami. Ia tak mau sakit hati karena perasaan sepihak.

Maka dengan menekan rasa egois dan menyimpan perasaannya, ia memberi Vian sedikit kebebasan. Suaminya itu bukanlah orang yang suka dikekang. Apalagi mengenai kehidupan pribadi seperti perncintaan. Terlepas dari status mereka yang sudah terikat dalam ikatan, suatu saat Vian akan memiliki tambatan hati yang akan segera pemuda itu temukan. Dan orang itu bukanlah dirinya. Mina tau itu sebab dirinya begitu mengenal suaminya.

Bersahabat semenjak smp membuatnya tahu segala hal mengenai Vian selama ini. Pemuda itu tidak pernah membeberkan urusan hatinya, bahkan entah berapa kali Vian menolak gadis-gadis yang terang-terangan menyukainya. Maka Mina menganggap dirinya tidaklah memiliki hal lain selain menyimpan rapat dan menutup hatinya. Terlebih lagi mereka berdua bersahabat, justru akan membuat interaksi keduanya semakin aneh.

Pernikahan mereka juga tak terduga sama sekali. Sangat klise dan kuno. Ayah Vian selalu memaksa Vian untuk segera menikah mengingat umur pemuda itu yang dirasa telah matang. Begitu pula dengan Mina yang selalu jadi bahan godaan tetangganya karena masih melajang.

Tanpa keduanya ketahui, orang tua mereka telah membuat pertemuan dua keluarga. Awalnya mereka pikir itu hanyalah kunjungan biasa karena keluarga mereka memang saling mengenal. Tapi tanpa diduga isi pembicaraan menjurus ke arah ikatan pernikahan keduanya. Mina bahkan mengingat dengan jelas bagaimana raut Davian yang mendengar hal tersebut terlontar dari mulut sang ayah.

Jika mengingat lagi akan hal itu, Mina selalu bertanya-tanya apakah keputusannya menyetujui perjodohan dadakan itu adalah benar. Sebab ernikahannya sungguh di luar ekspetasi. Sudah lima bulan berjalan, tapi tak ada kemajuan sama sekali. Hanya kehidupan biasa tanpa adanya sentuhan asmara yang berarti. Pekerjaan keduanya juga membuat minim interaksi. Tapi apa boleh buat? semuanya sudah terjadi.

Di ruang tengah, Vian mengusap wajahnya frustasi. Hembusan nafas lelah mengudara bersamaan sebuah nyeri menyerang kepalanya. Mengapa menangani Mina begitu sulit baginya. Sejenak pemuda itu mengumpati kebodohannya yang tidak langsung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan justru malah melantur sana sini. Tentu saja hal itu membuat keadaan semakin kacau tanpa menemukan titik temu yang dicari.

shit!

Cukup, Vian muak. Ia tak tahan dengan sikap Mina yang tak berubah sejak dulu. Selalu mengalah dan membuat Vian diliputi perasaan bersalah. Ayolah, ini bukan cerita dongeng dimana tokoh protagonis harus rela mengorbankan segalanya. Perempuan itu selalu bersikap seolah tak apa jika Vian terlibat asmara pada siapapun.

Mungkin terdengar keterlaluan, tapi pada awalnya Vian ingin membuka hatinya sedikit demi sedikit pada Mina. Maka dari itu ia tidak keberatan jika dirinya dinikahkan dengan sahabatnya itu, sebab dirinya yakin semua akan baik-baik saja. Tapi saat Mina membuat perjanjian konyol itu, Vian sontak menjadi marah dan kecewa. Seolah Mina pernikahan mereka hanya permainan belaka.

Vian yakin, sekarang jarak antara keduanya semakin melebar. Pemuda itu mengerang frustasi dan menyalahkan dirinya karena menjelaskan sejak awal jika perempuan yang Vian bawa hanyalah rekan kerjanya. Perdebatan yang melenceng dari topik awal menjadikan Mina sekarang jadi salah paham akan dirinya.

Menghela nafas kasar, ia beranjak dari duduknya dan segera menuju ke kamar sang istri. Mencoba berbicara ulang dan menjelaskan semuanya secara gamblang. Ia tak mungkin mejadikan masalah ini menjadi penyebab akan jarak pada hubungan mereka yang memang sudah renggang.

Pintu diketuk tapi tak ada jawaban sama sekali. Berkali kali Vian memanggil nama Mina.

Apa ketiduran ya?

Vian memutar pelan kenop pintu kamar Mina lalu mendorongnya secara hati-hati hingga terbuka. Benar saja, istrinya ternyata tertidur di kasurnya. Dengan langkah tenang ia menghampiri gadis itu dan duduk di sisi ranjang. Sejenak Vian memandang sang istri, meastikan bahwa gadis itu benar-benar sudah terlelap. Tangannya terulur mengusap bekas air mata di pipi Mina, sontak membuat dirinya sesak melihat sang kekasih menangis akibat perbuatannya. Sekilas Vian mengecup dahi sang istri lalu membenarkan posisi tidur Mina setelahnya berbalik arah menuju kamarnya.

Namun dua menit kemudian pemuda itu kembali masuk ke kamar sang istri. Seulas senyum menghias wajahnya, menciptakan lesung tipis pada pipi kananya. Dengan senyum yang sama Davian mendekati sang istri yang masih terlelap tanpa terganggu suara kecil yang diciptakan Vian menyeret kursi mendekati ranjang.

Pemuda itu mendadak mengambil sebelah tangan sang istri, mendekatkan jari lentik Mina ke pipinya lantas memejamkan mata sejenak berusaha menikmati sentuhan sang istri kendati bukan kehendak Mina sendiri. Jangan ditanya sedang apa, Davian sendiri tidak terlalu paham, anggap saja pemuda itu tengah mengisi energinya sekalipun tanpa dipersilahkan oleh sang pemilik.

Ia lantas ikut berbaring disisi Mina, menarik selimut guna menutup setengah tubuh keduanya. setengah ragu, tangannya diulurkan untuk memeluk tubuh pasangannya dari samping.

“Sorry, na” ucapnya pelan disertai sebuah kecupan pada kening Mina. Matanya dipejamkan lalu berusaha tertidur. Yah, berdoa saja semoga besok pagi tubuhnya tidak ditendang oleh sang istri karena kelancangannya.

~~~~~~~~~~~~~~~~*****************

Mungkin memang benar adanya, jika manusia terkadang mampu bertindak keluar dari nalar. Atau perilaku diluar kebiasaan terjadi sesekali pada makhluk hidup. Entah sadar ataupun tidak, nyatanya Dita tidak sepenuhnya paham mengenai apa dan kenapa. Puluhan pertanyaan masih bersarang dalam pikirannya. Ingin bertanya pun, dirinya kelewat heran.

Namun kejanggalan tetap bercongkol dalam batin. Siapapun tolong beritahu gadis tersebut, mengapa hari ini dirinya melakukan tindakan luar biasa mengejutkan. Terkenal sebagai pribadi yang dingin, kaku serta kikuk, Dita mendadak diserang perasaan aneh yang dirinya sendiri tak paham alasannya.

Ditinggal sang suami pergi keluar kota selama beberapa hari, gadis yang statusnya telah berubah menjadi istri tersebut begitu gelisah tidak karuan. Sepanjang hari hanya melamun dan melihat barang barang milik suaminya. Terkadang malah merengek kecil hingga menangis dengan dada yang begitu sesak. Seluruh pikirannya hanya terpaku pada pemuda yang telah menjadi suaminya, Aditya.

“Sibuk nggak ya” lirihnya sembari menatap layar ponsel yang menampilkan kontak sang suami. Gadis itu segera menggeleng dan mematikannya, melempar pelan benda persegi panjang tersebut pada kasur lantas melanjutkan aktivitasnya berguling kesana kemari di atasnya.

Andai saja Qina ada disini, pasti gadis itu akan sibuk menertawakan Dita yang bertingkah seperti remaja yang tengah kasmaran. Bagaimana tidak? Dita yang terkenal galak dan memiliki kesan tomboy dalam dirinya, sekarang bertindak seperti kucing yang kehilangan induknya. Rasa rasanya kejadian super langka ini harus diabadikan agar gadis itu sadar dirinya juga manusia biasa.

Lantaran tidak memiliki pilihan lain, gadis bersurai gelap tersebut mendecak sebal. Dadanya begitu sesak seolah dihimpit dengan kuat. Tidak yakin apakah kesimpulan yang membawanya pada dunia baru penuh merah muda adalah hal yang tepat. Ingin bertanya pada sahabat perempuan satu-satunya tapi Dita kelewat malu, sudah pasti Qina akan menggoda dirinya setengah mati. Membayangkannya saja pipi Dita sudah bersemu sendiri..

Maka setelah melalui pertimbangan memusingkan, Dita mulai beranjak dari tempatnya. Berjalan dengan tenang menuju bingkai abu setinggi dua meter. Membuka pintu lemari dalam sekali aksi, juga menghembuskan napas jengah seolah sudah tidak peduli lagi. Dita benar-benar butuh tidur malam ini.

$$$$$$

Tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit, suara pintu terbuka diikuti helaan napas lelah dari satu satunya penghuni dalam ruangan. Barangkali Adit kelewat lelah hingga untuk menyalakan lampu kamar saja dirinya enggan. Memilih langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya demi menghilangkan lengket dan bau badan. Rasa-rasanya punggung pemuda itu hampir remuk sebab kurang istirahat. tidur di dalam pesawat pun tidak berguna juga sebab dirinya sempat mengalami jetlag.

Maka setelah sekitar dua puluh menit membersihkan dirinya di dalam kamar mandi, Adit sudah lengkap dengan piyama satinnya siap untuk merebahkan dirinya di atas kasur yang nyaman. Ah, beruntung untuk dua hari kedepan dirinya mendapatkan cuti penuh sehingga dirinya tak perlu pusing utuk memikirkan pekerjaannya barang sejenak. Kepalanya sudah muak memikirkan pekerjaan, dirinya butuh sesuatu yang baru untuk menyegarkan pikiran. Barangkali besok dirinya akan meminta Dita untuk menemaninya mencari kesibukan baru.

Berbicara mengenai Dita, dirinya belum mendapatkan kabar apapun dari sang istri semingguan ini. Entah Dita benar-benar melupakan dirinya atau memang gadis tersebut tidak terlalu menganggap kepergian Adit adalah hal yang serius. Ingatkan Adit kembali jika sang istri memang memiliki sikap cuek setengah mati. Barangkali gadis itu menginap di rumah Qina sekarang ini mengingat Dita benci ditinggal sendirian dalam waktu yang lama.

Menguap lebar pun mata lelah yang kian berkaca-kaca, Adit mulai membenarkan letak selimut yang menutup setengah tubuhnya lantas mulai memjamkan mata mencoba terlelap. Namun baru sepuluh detik kelopak matanya tertutup rapat secara sempurna, sayup sayup telinga pemuda itu mendengar isak seorang gadis.

Maka dengan cepat Adit membuka matanya kembali. Seketika deluruh kesadarannya menuai pada titik tinggi dengan mata yang awas mengamati sekitar. Mencoba mencari asal suara pun segera berdiri dan menyalakan lampu kamar setelah mengetahui sumber suara. Sejenak Adit menelan ludahnya sendiri sembari menatap lemari pakaian. Mencoba mengumpulkan keberanian dengan satu tangan memegang sabuk yang sempat dirinya sambar di ujung ranjang. Berdoak dalam hati, Adit mencoba mendekat dan membuka pintu lemari.

Hingga setelah pintu terbuka, pemuda itu sedikit terhenyak kala mendapati seorang gadis yang tengah meringkuk di dalam. Adit memberanikan diri untuk menyentuh bahu gadis yang Adit yakini adalah Dita sang istri.

“Ta.. ” Adit mencoba membangunkan sang istri yang entah mengapa tertidur dalam lemarinya.

Karena tidak mendapatkan jawaban, Adit berjongkok menyamakan tingginya lantas menggoyangkan bahu Dita dan menepuk pipinya. “Dita... Hey, sayang...bangun”

Perlahan kepala Dita bergerak dan mendongak bingung. Kedua mata sembabnya mengerjab pelan mencoba menajamkan penglihatan. Seolah ingin memastikan berulang kali jika di depannya adalah benar-benar sang suami.

“Kenapa tidur disini, hm?” Ujar Adit sembari menyeka sisa air di sudut mata Dita, “kamu nangis, habis mimpi buruk?”

Bukannya menjawab, Dita langsung memeluk tubuh sang suami dengan satu kali aksi. Jangan ditanya seberapa kagetnya Aditya. Pemuda tersebut kini hanya diam dengan mata membelalak. Hingga telinganya kembali mendengar isak tangis, barulah Adit membalas pelukan sang istri. Menepuk nepuk punggung Dita dengan kesabaran juga kebingungan yang bercongkol dalam otaknya.

“Hey, kenapa sayang?”

“Lama.. ” lirih Dita pelan yang semakin membuat Adit keheranan.

“Apanya yang lama?”

“Ck. Hisss.... Kamu perginya lama”

Oh, astaga Adit hampir ingin berteriak saking gemasnya. Ucapan juga tindakan yang dilakukan Dita sekara sama sekali tak pernah terbayang dalam otaknya. Mengingat hubungan di antara keduanya bukan berawal dari kisah yang apik, ditambah karakter keduanya yang saling bertolak belakang. Rasanya adegan malam ini sangat perlu untuk diabadikan. Maka tanpa disadari Adit terkekeh pelan memikirkan semuanya.

Secara perlahan Adit melepas pelukannya lantas menangkup wajah sang istri dengan kedua tangannya agar menatap padanya. Sungguh ya, ekspresi kebingungan yang tersemat sempurna pada wajah sembab Dita membuat gadis tersebut begitu berbeda dari biasanya. Katakanlah baru kali ini adit mengetahui sisi lain Dita selain garis muka tegas dan ekspresi kaku yang kerap kali tersemat pada kontur mukanya. Maka tanpa menunggu lama untuk menyalurkan gejolak dalam batinnya lebih lama lagi, Adit perlahan menekatkan wajahnya lantas mengecup dahi sang istri.

“Aku pulang”