untitled (draft 2)

Hanya Mahesa,

dan selalu Mahesa.

Lantas, bagaimana jika Mahesa-nya sudah bukan miliknya lagi?

Jakarta, 4 April 2026.

Lavanya’s pov.

Jakarta dan hiruk pikuknya tidak pernah berubah dari dulu, ya?

Ah, iya. Aku sudah berhasil meraih gelar Master of Management dalam waktu 2 tahun di University of Melbourne dan menghabiskan sekitar 3 bulan untuk membereskan segala urusanku di sana, akhirnya aku kembali lagi ke kota ini.

Selain karena studiku sudah selesai, aku pulang ke Indonesia juga karena akan menghadiri pernikahan Mas Jojo dan Mba Jelita. Sedikit informasi bahwa mereka sudah berpacaran saat aku duduk di bangku semester 3 saat masih kuliah di Indonesia. Mas Jojo adalah salah satu sahabat Mahesa, dan Mba Jelita adalah tetanggaku dan kami cukup dekat, mereka sebenarnya teman satu fakultas, tetapi saat itu Mas Jojo meminta tolong Mahes untuk membantu dirinya mendekati Mba Jelita. Singkat cerita saat aku dan Mahes masih berpacaran, kami membantu Mas Jojo dan Mba Jelita untuk pdkt hingga pacaran, dan pada akhirnya mereka akan menikah dalam waktu dekat. Mengetahui mereka akan menikah sebenarnya aku agak bingung harus bereaksi seperti apa. Senang? Tentu saja! Mereka sudah berpacaran hampir, atau bahkan sudah melewati 10 tahun. Namun, tidak memungkiri aku juga tersenyum getir saat mendengarnya. Entahlah, aku merasa lucu, sebab aku dan Mahes yang mendekatkan mereka hingga mereka akan menikah, tetapi hubunganku dengan Mahes malah berakhir dengan tragis.

Tapi, sudahlah… Jika membahas mengenai Mahes tidak akan selesai. Jika perhitunganku tidak salah, kini Mahes sudah memiliki anak yang berusia sekitar 2,5 tahun. Dia pasti sangat menyayangi anaknya, mengingat dia juga menyukai anak kecil.

Sekarang aku sedang berada di salah satu restoran Jepang di Jakarta. Sendiri, hanya memesan paket bento sebelum melanjutkan kegiatanku siang ini.

Ah, iya. Sebelum aku pergi ke Australia 3 tahun silam, aku sempat membuka toko bunga dengan Mba Jelita. Aku selama ini hanya membantu di bagian keuangannya dan Mba Jelita yang mengendalikan usaha itu. Setelah menyelesaikan makanan ini aku berniat untuk mengunjungi toko bunga tersebut. Sekalian menemui Mba Jelita, tentunya.

“Va, kalau semisal di masa depan kita udah menikah, kamu punya impian yang pengin kamu wujudin bareng aku ngga?”

“Punya lah. Since I love Switzerland soooo much, aku pengin di masa depan nanti, setelah menikah kita pergi jalan-jalan sama ke sana! Abis itu kita hiking sambil cari edelweiss, karena edelweiss itu kan simbol kesetiaan ya, Sa. Aku mau jadiin hal itu tanda kalau kita setia satu sama lain, kita bakal bareng terus, until death separate us, ya? Too much too realize ngga sih, Sa? Hahaha… Tapi serius deh, it was one of my biggest dreams.”

Soon ya, sayang. Aku bakal usahain impian kamu itu bakal terwujud sama aku. I love you, sayangku. Tunggu aku sebentar lagi sampai rumah yang aku bangun selesai, ya? Setelah rumah itu jadi, secepatnya we’ll get married and make your dream comes true.

Will do, Sa. Love you more.

Suara lonceng pintu berbunyi. Menandakan bahwa seseorang baru saja masuk ke toko bunga yang terletak di sudut selatan kota Jakarta. Penjaga kasir dengan ramah menyapanya dan menawarkan bantuan, sejenak dia terdiam dan menyadari bahwa yang hadir adalah Lavanya maka ia segera mempersilahkan Lavanya untuk naik ke lantai 2, dimana Jelita sedang berkutat di meja dekat jendela dengan laptopnya dan segelas caramel latte.

“Mba?” sapa Lavanya singkat.

Jelita yang awalnya sedang disibukkan dengan laptop di depannya segera berdiri dan menghampirinya. Meski lebih dari 3 tahun mereka tidak saling bertemu, Jelita masih mengingat jelas suara itu, suara gadis manis yang sangat lembut yang nyaring dan lucu. Tanpa berlama-lama Jelita langsung memeluknya erat, menumpahkan semua kerinduan yang ia pendam kepada sahabatnya. Mereka berbagi kerinduan dalam pelukan yang sunyi itu. Tidak ada yang membuka suara hingga akhirnya Jelita melepaskan pelukannya dan tangannya beralih menangkup wajah Lavanya.

Tawa kebahagian muncul dari bibir keduanya.

“Mba ngga bakal nyangka kalau Melbourne bakal ngubah kamu segini banyaknya, Va?”

Kekehan keduanya kembali mengisi ruangan tersebut.

Look at your short ash brown hair, Lavanya. Oh my God, you look prettier and much grow than three years ago? How was Aussie? How was your college? Is it fun? No way, Mba masih ngga percaya ini kamu, Va? Kok kamu ngga bilang mau balik? Ya Tuhan, sejak kapan kamu di Jakarta coba?”

Slow down, Mbaaa. Aku udah dari dua hari lalu pulang ke Indonesia, ke Bekasi dulu tapi, nemuin Mama sama Papa. Terus, ya karena masih cape jadi aku istirahat dulu di sana. Baru pagi tadi aku ke rumah yang Jakarta.”

“Ya Tuhan…. Kamu nyetir sendiri atau sama supir?”

“Sendiri, Mba. Soalnya Pak Wahyu juga bawa barang-barang aku pake mobil lain. Jadi tuh rumah yang di Jakarta bakal ditempatin aku, Mba. Mama sama Papa bakalan stay di Bekasi.”

I see. Syukur deh, akhirnya aku bisa nyuruh kamu buat bantuin aku di sini.”

Mereka kembali tergelak. Percakapan mereka selanjutnya mengalir begitu saja, mengenai Lavanya selama berada di Australia, persiapan pernikahan Jojo dan Jelita, progress dari toko bunga mereka, hingga pemilik cafe sebelah yang suka modus dengan salah satu pegawai florist mereka. Banyak hal yang baru mereka bagi satu sama lain setelah terpaut jarak yang cukup jauh selama 3 tahun.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, waktu Jakarta. Toko bunga pada saat akhir pekan memang tutup lebih awal, supaya para pegawainya bisa beristirahat lebih lama. Jelita sedang mengemasi barang-barang bawaannya saat Jojo naik ke tempat dimana ia dan Lavanya berada. Jojo memang selalu naik ke lantai 2 saat menjemput Jelita, malas menunggu di bawah, katanya. Keberadaan Lavanya di tempat itu cukup mengejutkan Jojo. Keduanya bersitatap dan berhambur saling memeluk satu sama lain. Lavanya dan Jojo terlihat seperti kakak-beradik yang terpisahkan dan akhirnya bertemu kembali. Jelita mengukir senyum penuh haru, bagaimana ia dan kekasihnya menyayangi Lavanya bak adik mereka sendiri, mengkhawatirkan Lavanya yang berjarak dengan mereka selama 3 tahun ini sudah terbayarkan.

“Hei, pulang kapan? My God, Lavanya, Melbourne change you so much. Mas sempet ragu ini kamu atau bukan. Apa kabar?” beberapa pertanyaan dilontarkan Jojo tanpa melepas pelukan mereka. Belum sempat Lavanya menjawab pertanyaannya, Jojo kembali mengeluarkan pertanyaan, tetapi untuk Jelita.

Babe, ini Vanya, kan?”

Jelita dan Lavanya yang mendengar pertanyaain itu kembalik terbahak. Jelita, yang enta sejak kapan berdiri di samping Lavanya, mengelus surai Lavanya dengan hangat sambil tersenyum. Lavanya yang masih sedikit tertawa melepaskan pelukannya dengan Jojo.

“Ini Vanya, Maaasss. Mas tuh ada-ada aja deh, mana ada orang yang lebih cantik dari aku?”

Dengusan nafas malas keluar dari Jojo dan Jelita, yang membuat Lavanya tertawa.

Happy to see you again, Va. Hope you always happy after comeback here, ya?”

Lavanya hanya membalas pertanyaan Jojo dengan senyuman.

“Ya udah, yuk turun. Gimana kalau kita makan bareng bertiga? Bills on Jojo! Ayo, Va!”

“Duh, next time aja ya Mas, Mba. Aku masih harus beberes rumah.”

“Kenapa ngga besok aja?”

“Besok juga, cuman ini tuh aku juga belum beresin kamar aku. Mau tidur cepet aku nanti malem, hawa capenya masih kerasa.”

“Oke deh, rest well ya, Va! Besok kalau butuh bantuan call us aja.”

“Siap. Duluan ya Mas, Mba. Bye!

Bye!

“Hati-hati nyetirnya.”

Mereka masuk ke mobil masing-masing, Lavanya juga sempat memberi kalkson kepada Jojo dan Jelita sebelum ia melesat masuk ke dalam kemacetan di Jakarta. Lantunan lagu Niki yang berjudul La La Lost You menemani Lavanya yang terjebak dalam kemacetan yang berlatarkan matahari mulai terbenam di sudut selatan kota Jakarta.

Di sebelah kursi pengemudi Lavanya menurunkan jendela mobil. Segera ia ambil gawainya dan memotret ke arah matahari terbenam.

Saat itu hari Sabtu, pukul 5 sore. Jam-jam orang pulang setelah seharian bekerja, dan jam-jam pasangan kekasih baru saja pergi untuk bermalam minggu dengan pasangan mereka, salah satunya adalah dirinya dan Mahesa.

“Mahes, coba deh sini lihat sunset, jangan lihat jalanan terus, bosen tau lihatin banyak mobil yang kena macet. Lampunya juga bikin pusing kalau dilihat terus, mending lihat sunset, cantik banget, Sa.”

“Kalau nanti ternyata di depan udah jalan pas aku lengah bakalan diklakson yang belakang dong, sayang.”

Bertolak belakang dengan perkataannya, kini Mahesa menoleh ke arah barat sambil menaruh dagunya di pundak sang kekasih.

Mahesa tetap diam sambil mengamati kekasihnya yang masih asyik memotret matahari terbenam. Sempat menoleh kembali ke depan, Mahesa kembali meletakkan dagunya pada pundak Lavanya sambil melingkarkan tangannya dipinggang kekasihnya saat dirasa mobil masih belum bergerak, setidaknya untuk 5 menit ke depan.

Lavanya segera menyudahi kegiatan memotretnya saat menyadari tangan Mahesa memeluknya dari belakang. Ia letakkan telepon genggamnya di atas pahanya kemudian ia menaruh tangannya di atas tangan sang kasih, sambil kepalanya juga tersandar di atas kepala Mahesa.

“Padahal kamu lebih cantik daripada mataharinya loh, Va.”

“Apaan sih, jelek banget gombalnya.”

Mahesa sempat terkekeh sebelum dirinya mengganti posisi, menaruh dagunya di pucuk kepala Lavanya sambil mengecupinya.

“Suka banget sama sunset, ya, sayang?”

Lavanya berdehem untuk menjawab pertanyaannya.

“Berarti besok rumah kita harus ada balkon, rooftop, sama backyard yang terbuka, ya? Biar kamu leluasa buat lihat sunset.”

Lavanya tertawa sebelum kemudian menjawab pertanyaan kekasihnya.

“Boleh, terus ini, Sa, bagian kitchen tuh dibikin pintu kaca boleh? Biar nanti dari dapur langsung ngarah ke backyard dan lebih terang juga kalau siang.”

Anything for my precious woman.

Mahesa sempat mengecup pucuk kepala Lavanya dengan dalam, menyalurkan perasaannya yang teramat sayang kepada sang kasih sebelum ia kembali memfokuskan diri membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai lancar.

-cont,