Transparent

The Ripple and Tranquillity

cw // kissing, alcohol consumption, emotionally changes


Sabia kembali dengan satu botol Sherry dan dua gelas bordeux ditangannya. Niat awal membuat secangkir cokelat panas urung karena Sea lebih menginginkan sesuatu yang memabukkan.

Sea sudah cukup dewasa untuk mengkonsumsi alkhohol, namun sepertinya ia bukan seorang peminum. Terlihat dari bagaimana Sea menyukai olahraga karena mendapatkan tubuh tegap seperti itu perlu olahraga rutin yang cukup ketat dan minum alkohol akan merusak programnya, lebih baik dijadikan selingan. Persis dirinya.

Asumsi itu diperkuat ketika pertemuan mereka di Re;Four. Seingatnya Sea hanya sibuk memakan semangkuk kecil almond tanpa menyelesaikan margarita-nya.

Sabia akan membiarkan Sea mabuk kali ini atau membebaskannya minum semampu yang ia bisa. Kemudian membuat studi kasus untuk mengetahui setinggi apa toleransi Sea terhadap alkohol, sehingga ia dapat mengambil langkah sigap untuk menanggulanginya.

“I only have this.” Sabia kembali, menimang botol hitam besar ditangan kanan.

“waa.. perfect!”seru yang lebih muda kegirang.

Sea membuka kedua tangan keudara, mencoba meraih wine ditangan yang lebih tua. Mengeja merk yang tertera pada label bergambar capung emas itu.

Gonzalez Byass Leonor Palo Cortado Sherry Seco. Merknya seperti judul telenovela, tapi sepertinya enak.

“this one is pretty dry and it has smell of churned butter, also had a bit vanilla baking spice in the end.”

Sea mengangguk angguk setelah menemukan bahwa kandungan alkohol dalam wine ini cukup tinggi, 20 persen.

Pria yang lebih tua duduk setelah memberikan satu gelas pertama pada Sea, tersenyum melihat bagaimana mata itu berbinar hanya untuk segelas anggur merah.

Detik selanjutnya, senyum itu hilang. Sea menghabiskan wine-nya dalam sekali teguk. Kemudian meringis ketika rasa panas ditenggorokannya bercampur dengan aroma mentega yang baru saja dilelehkan itu pecah didalam mulitnya. Disusul rasa ketir yang dominan dan berlanjut pada mulut yang terasa kering saat wangi vanilla itu menyeruak ke penciumannya. Wine ini luar biasa kuat.

“can I have another one?” pintanya sambil memamerkan gigi-gigi putih yang berjejer rapih.

First, Sea is a Sloopy drunk

hey. easy there, it’s not a whiskey. You just have to take a sip.”

Telinga Sea menebal, menghiraukan apa yang lebih tua ucapkan. Dalam pikirannya, ia hanya ingin minum. Mabuk bisa membantunya lepas sejenak dari penat,begitu yang orang bilang.

Second, he is a obsinated brat

Sabia masih disana, miliknya masih tersisa banyak. Hanya terus mengawasi, melayani dan memberi ruang untuk mengetahui apa yang Sea mau.

Gelas kedua, ia biarkan diteguk ulang oleh Sea. Wine ini berwarna orange dengan rasa yang pekat, sedikit asam bercampur rasa almond dan buah ara. Rasa yang cocok untuk lidah Sea, hanya nafsunya saja yang mengalahkan etiquette-nya dalam meminum wine.

Tegukan terakhir membuang kepalanya kebelakang, bersender pada sofa dan menutup kedua mata dengan satu lengan.

Tidak ada suara. Sabia memberi waktu lebih pada tubuh Sea untuk menerima reaksi alkohol.

Tangan itu perlahan turun, membawa wajah yang mulai memerah yang nampak terluka.

Sabia menangkap manik legam itu. Tidak ada senyum disana, bahkan binar matanya meredup. Yang bisa ia rasakan hanyalah Sea tengah mengalami sedih yang luar biasa.

Pria lebih tua menggeser tubuhnya mendekat. Membawa gelas dalam genggaman Sea keatas meja, menghindari gelas itu terlempar jika emosi Sea tidak stabil. Tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.

Semburat merah diantara kedua pipi itu muncul malu-malu. Sedikit tekukan didahi disertai dengan bibir yang mengkerut karena digigit dari dalam.

“Bia..” panggilannya terdengar lemah, syarat akan ketulusan.

“..are you happy? with what you are doing now?”

Pertanyaan terlontar begitu saja mendasari seluruh hal yang terjadi hari ini namun mengundang ekspresi yang sama dari lawan bicaranya.

Ia tersenyum samar, ikut menyandarkan kepalanya pada sofa, menghadap Sea yang putus asa.

Sea terlihat cantik dan tampan sekaligus ditengah mabuknya, Matanya masih memerah walapun sembabnya sudah mereda. Hidung itu mengkilap sedikit pilek setelah menangis dan terbilas air mandi. Bibirnya mencebik lucu, mengundang gemas namun iba dari pria yang lebih tua.

Sabia mengangkat tangannya, jemari itu menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah mungil Sea. Sehingga ia dapat melihat seluruhnya, tak tertutup apapun.

Dan tanpa mengerti maksud pertanyaannya, ia berbisik yakin.

“yes, I’m happy.”

Alih-alih mengundang senyum, Sea malah terisak. Air mata itu kembali menetes. Membuat Sabia panik, ia mencoba meraih kembali wajahnya dan bertanya apa yang terjadi.

Ditengah isakkan yang semakin sedih, Sea berusaha berbicara “we promise ..hiks.. be .. a good team .. hiks.. right?”

Lengan besar itu berhasil menyentuh pipinya yang basah, kemudian mengangguk mengiyakan.

“I’m trying.. hgg.. so hard to be …hiks ..the best supporter for you—”

“—but why .. hggg .. I didn’t feel the same when you said it?”

Tangisnya pecah, bahu tegapnya naik turun, Sabia tidak merasakan sesuatu yang aneh dari perkataannya, ya dia bahagia. Bersama Sea.

“aku coba terima keadaan dengan tidak mengusik kalian—”

kalian?

“— aku juga coba buat kembali ke perasaan awal, tapi kenapa dia juga tidak berpihak padaku? Apa aku tidak selayak itu untuk dicintai?”

Pengaruh alkohol membuatnya berbicara melantur dan memancing tangisnya semakin menjadi. Ini memilukan. Tentu saja, Sea sangat layak untuk dicintai.

Perasaan Sabia semakin tidak nyaman mendengar sesuatu bahkan seseorang telah menyakiti Sea begitu dalam, disisi lain Sabia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“I'm too weak ..hgg.. to go through this alone.. hiks ... Apa pilihan yang aku ambil.. salah Bia? Apa untuk bahagia… hiks.. perlu pengorbanan sebanyak ini?”

Pria lebih tua membawanya dalam pelukan. Badannya menempel, bahu Sea bergetar seiring tangisannya yang tertahan membuat hati Sabia berdenyut ngilu. Ia terus mendekap tangis menyakitkan itu berharap segera lenyap.

“we’re goona find the way Sea, you have me. I’ll be here for you.”

Rasa tenang yang luar biasa tak dapat dihindarkan, pelukan Sabia terlalu nyaman untuknya. Sea sadar itu bukan milikknya, tapi bisakah ia meminta waktu sedikit lagi? Ia ingin bertahan seperti ini.

Satu menit lagi..

Perasaan manusia itu tidak dapat diatur, bahkan oleh semesta. Milik Sea pun sama, ia mengakui bahwa perasaannya pada Joss itu nyata. Buktinya melihat Joss dengan wanita lain seperti sebuah peluru menembak menembus dada, mematahkan hatinya berkeping-keping.

Tapi disisi lain, hatinya juga berantakan tatkala mengetahui bahwa Sabia, pria yang selama ini berada dipihaknya. Pria yang menjadi suaminya, yang selalu bersikap lembut, mencakup seluruh kebutuhannya akan sosok orang tua, sahabat, pelindung dan menjadi orang yang Sea butuhkan disetiap waktunya.

Dan kini ia memiliki seseorang lain yang membuatnya bahagia..

Rasanya, sulit untuk Sea terima. Sea tau ia seegois itu.

Pelukan mereka terurai, dada Sea sakit karena menangis terlalu lama. Kepalanya seperti dihantam batu besar ditambah efek dari wine yang ia minum membuat hidungnya semakin sulit untuk bernapas. Tapi ia memasang senyum, menatap tulus pada yang lebih tua.

Lengan Sabia masih betah berada dipipinya. Ia begitu dekat, begitu nyata. Tapi mengapa ia terasa begitu jauh, terlalu jauh untuk Sea digapai.

Beberapa menit berlalu  dan tangisan itu mereda. Masih tanpa kata, mereka merasakan ketenangan yang sama.

Jemari Sea terangkat menyentuhi inci demi inci wajah Sabia. Pria itu membiarkannya, hanyut dalam perasaan yang membuat seluruh ototnya rileks, hatinya penuh walau hanya dengan saling menatap.

Ujung jari lentik itu mengusap pelipisnya. Bulu halus disepanjang wajahnya terasa lembut tanpa cela. Hidung yang terbentuk sempurna yang kadang membuat Sea iri, kini ia hujani dengan sentuhan. Sea begitu mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini.

Sabia memejamkan mata, meresapi seluruh rasa yang Sea berikan. Napasnya semakin mendekat ketika tangan itu bermuara dibibirnya. Ia membuka mata dan terperangah. Kali pertama dirinya menemukan tatapan yang terlihat indah walau sebab.

Ia tidak suka Sea menangis. Tapi ia sangat cantik, Sea sangat cantik.

“I want this.”

Menunjuk pada bibir Sabia, Sea meminta.

third, he’s a straight forward sassy boy

“your lips.. is beautiful—” Sea menyentuhinya.

“may I ask for a peck?”

Dadanya berdegup, mendengar Sea meminta sebuah kecupan. Sungguh, bahkan ribuan ciuman bersedia Sabia berikan.

“you can have a kiss as wel—”

Belum selesai Sabia berujar, bibir tebal itu melumatnya lebih dahulu. Perlahan dan lembut. Bibir Sea begitu lembut, manis seperti vanilla. Ini bukan yang pertama untuk mereka. Tapi kali ini rasanya lebih meyakinkan, terlalu nyata dibanding ciuman pertama mereka didepan altar.

Sabia membalas lumatan itu perlahan, menekan leher Sea agar bibirnya tetap menempel dengannya. Perut bagian bawah Sabia terasa diisi kupu-kupu imajiner, menggelitiknya hingga ke punggung.

Kedua mulut mereka terbuka masih menempel saat tidak ada lagi gerakan melumat diantaranya. Napas mereka bersautan, sebelum Sea memundurkan kepala.

Mata itu berubah sayu, wajahnya semakin memerah.

Sea terdiam, menyentuhi bibirnya dengan mata tertuju pada bibir Sabia yang basah.

“you okay?”

Ciuman mereka bersifat magis yang seketika mampu membuang keresahan Sea, meredakan sedih dan membuatnya hati lega. Dengan segala kelembutan Sabia, Sea tersihir rasa yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Sea mengangguk bingung“why, this feel so right?”

Sabia membawa wajah itu kembali mendekat, mencium mata sembabnya bergantian. Sekarang, giliran hidung bangir Sea yang dikecup lama. Kedua pipinya menyusul kemudian.

“because that's how it should be.”

Sea merasakan badannya panas, lapisan bathrobe ini mulai menahan kulitnya menyerap udara. Ditambah pengaruh alkohol yang membuat badannya berkeringat. Atau efek dari bibir Sabia yang belum puas ia lumat.

“can I have another one?” Sea terlalu jujur, tubuhnya berkata demikian.

Sabia membawa kedua kaki Sea menyamping naik keatas pangkuannya. Lebih  berdekatan dan semakin menempel.

Bibir merah itu kembali ia lumat, dua kali saja mampu membuatnya gila. Sabia tau ia mengagumi Sea sejak awal pertemuan mereka.

Wajah manis itu merebut perhatiannya, juga mencuri hatinya. Setika sang ayah sadar bahwa anak kesayangannya sedang jatuh cinta, kemudian meminta Atmadja untuk menikahkan mereka.

Tanpa sepengetahuan Sabia, Aldrich memberikan hadiah terindah untuknya, berupa sosok yang kini tengah ia buai dengan mesra.

Sungguh, Sabia rela menukar apapun untuk terus seperti ini. Mendekap tubuh Sea dalam pelukan hangatnya, berbagi rasa nyaman dan berbagi hidup dengannya.

Lucu memang, ketika Sabia bersedia menjadi pendukung terbaik kisah cintanya dengan sang senior. Hanya lebih kepada Sabia yang ingin membuktikan bahwa ia lebih baik. Dengan membiarkan Sea terus mencintai Joss.

Pikiran itu membuat Sabia mencium Sea semakin dalam, hatinya penuh haru. Tak pernah membayangkan bahwa kini ia dapat mencium sosok yang ia dambakan. Ia semakin serakah, berharap apakah Sea bisa mulai melihat dirinya? Apa dia bisa berhenti melihat orang lain selain Sabia?

fourth, Sea’s just too good to be true

Tangan Sabia meremas pinggang ramping milik yang lebih muda. Sea meleguh membuka bibirnya lebih lebar. Memberi Sabia kesempatan untuk memasukkan lidahnya menjelajahi setiap sudut bibir Sea.

“engh..”

Erangan pelan dari Sea yang terlihat tengah mengimbangi ciuman yang lebih tua. Napas mereka terdengar diseluruh ruangan. Setelah menepuk bahunya dua kali, Sabia melepas ciuman itu walaupun enggan. Meninggalkan jejak benang saliva yang tersambung dikedua bibir mereka.

Kening mereka beradu, menyalurkan seluruh rasa yang tengah menyelimuti keduanya.

Dalam hati, sebuah kata tercipta. Namun tak pernah berwujud suara.

aku mencintaimu.