Various muses, thoughts, and writings by Sastraswara.

Janji

—sebuah sintesa ulang Ruang Tunggu karya Feby Indirani

Ia cukup manis, tidak merasakan apa-apa.
Namun saat ini
adalah dimensi ini yang didapatnya:
tubuh-tubuh yang hanya saling diam.
Sepasang Pengantin,
dengan pandangan mata yang begitu-begitu saja,
mereka berdua hanya menunggu.

Di antara sikap menantang yang menyipit:
wajah perempuan ini sungguh ia inginkan —-
rasa bangga yang sulit diterka.

(Tapi terhadap perempuan itu
yang membuka matanya yang bening:
hanya dia lah yang seindah permata.)

Perempuan itu terkikik geli,
sudah mengorbankan segalanya dengan penuh tanda tanya.
Lantas mendapat hukuman seberat itu,
dibodoh-bodohi:
Wanita-wanita muda tercantik yang dongkol karena gairah.

“Bukanhkah ini kelihatan terlalu normal?
Kesombongan?”

“Ia bisa sepenuhnya membebaskan diri saya.”

(Perempuan itu selalu membuatnya berseri karena jemu.)

Tetapi tangannya tidak memendek,
malahan berubah akan menghajar wajah sedih dari dunia.
Bayangan itu kemudian menemui ruang kosong;
akan ada mempelai yang hanya ingin memerawani mereka berdua.

Berada di antara sikap menantang
dan ketidakmenentuan yang menyipit
lalu terpejam:
Seperti tersenyum,
seperti kanak-kanak.
Ingin rasanya ia menginginkan:
matanya.

Ia pantang memukul perempuan itu.
Ia berubah,
dan mulai menghisapnya.
Ia merekam gambar itu.
Lagi-lagi perempuan itu selalu membuatnya berseri karena Ruang Tunggu.
Ia kembali berteriak-teriak,
tanpa pernah disentuh oleh jin.

“Mereka itu belum bisa sepenuhnya membebaskan diri.
Saya? Terus menyala.”

Batang rokoknya merokok,
ia sendiri terus saja tidak berhijab.
Ia merekam gambar itu tertawa.
Ia meremas rambutnya dengan sambutan dari dunia.
Lalu wajah si perempuan itu
berubah lagi menjadi Pengantin.
Terus berubah lagi menjadi wajah si perempuan di Ruang Tunggu.
Perempuan itu dalam gerakan lambat, dan bergetar.

Bidadari-bidadari yang menjerit histeris,
sedih,
juga pada gelas-gelas putih.

“Jadi ia dilanda kejengkelan?
Sok tahu!”

Ini semua semakin tidak dikenalnya.

“Semakin jelas di dunia,
bahwa dia bukanlah bidadari untukmu.”

(Berada di antara sikap menantang
tubuh-tubuh yang digulung sebatas siku.)

“Mereka,
wanita-wanita muda cantik,
yang ternyata seorang perempuan seperti kamu,
dikibuli.”

Perempuan itu berubah
dan terus berteriak,
“Keluarga!”
sekuatnya.

Itulah yang sombong:
mereka tidak menunggu.

Ia kemudian masih terus menatapnya
dengan raut wajah seorang perempuan.
Tetapi mulutnya enggan terbuka.
Ia tidak pernah disentuh oleh jin.


Berlin, 14 April 2019
#poetry