With words against the world.

Untitled.

“Ketika ku rasakan sudah. Ada ruang yang kau sentuh.”

Isola, 2019
Bumi siliwangi diguyur hujan deras sedari tadi. Membuat aku harus membunuh bosan dengan hanya memainkan gawai sembari berharap hujan segera mereda. Terlalu menyeramkan berdiam sendirian disini, belum lagi cerita angkernya yang selalu sukses membuat bulu kuduk ku berdiri tiap kali mengingatnya. Dan ketua prodi yang sudah sekian kali menanyakan mengapa aku masih berdiam disana.

Gontai ku langkahkan kaki menuju lobi fakultasku, berharap ada satu dua teman yang bisa ku ajak bercerita. Obrolan kosong tentang skripsi yang tak kunjung usai atau tentang bem jurusan yang dirasa tak ada perubahan. Namun sayangnya tak ada siapapun yang ku kenal disana. Terlambat juga untuk menyesali mengapa tak pernah ada payung di kosanku. Menit berikutnya, kombinasi kesendirian serta hujan dibandung melemparkan aku pada kenangan yang lalu.


“Mungkin memang ku yang harus mengerti. Bila ku, bukan yang ingin kau miliki. Salahkah ku bila kau lah yang ada di hatiku?”
Braga, 2017

Aku mengenalnya belum lama, baru dua bulan saja. Seumur jagung, kalau kata orang-orang. Dan harus ku akui dia menarik. Bagaimana tidak? Tingginya proporsional, badannya tegap, kulitnya putih dan jangan lupakan senyumnya yang memabukan. Tapi sejujurnya bukan itu yang membuat aku tertarik padanya, melainkan apa yang ada di kepalanya. Tentang pandangan dia terhadap kehidupan dan buku-buku yang dia baca. -dan aku berterimakasih pada pecandu buku mempertemukan kita.

Berbincang dengannya membuat dunia berputar sekian kali lebih cepat. Waktu berlalu begitu saja, seolah lima jam obrolan tentang buku, film dan tempat ngopi di Bandung ini baru terjadi lima menit yang lalu. Kita berdua suka Eyang Sapardi, inilah mengapa kita seperti dua orang cucu yang lama terpisah dan baru saja dipertemukan. Hangat dan riuh. Tapi dering ponsel mu menghentikan reuni dadakan ini. Kekasihmu minta dijemput, katamu.


“Adakah ku singgah di hatimu? Mungkinkah kau rindukan adaku?”

Braga, 2018
“Aku putus.”

Dua kata yang membuka pertemuan kita setelah sekian lama. Aku enggan bertanya dan memilih kamu saja yang melanjutkan cerita. Sebab aku terlalu bingung, dengan perasaan senang atau sedihkah aku menanggapi ceritamu. Padahal kesenangan karena kini kau sendiri tak menjadikan kau milik ku juga. Sungguh membingungkan.

Sore itu, seperti orang patah hati pada umumnya. Kau lampiaskan kesalmu dengan mengajak aku mengunjungi banyak toko kopi di Bandung. Mencicipi satu persatu espresso. Seperti menyesap pahitnya kopi, kamu menyesap patah hatimu dengan kalut. Seolah tak ada hari esok untuk bersedih.

Dua minggu berikutnya, pesan singkatmu membangunkan ku dini hari. Aku sudah move on, katamu. Kesadaranku kembali, tapi kewarasanku seolah menghilang. Tak bisakah aku yang menggantikan dia?


“Adakah ku sedikit di hatimu?”

Isola, 2019

Hari-hari setelah itu hanya dipenuhi curahan hatimu tentang berbagai tipe wanita yang kamu temui. Seminggu lalu bilang cinta mati, minggu berikutnya sudah berganti. Patah hati rupanya membawamu terlalu jauh dari sosok yang aku kenal. Menjadikan aku takut untuk sekadar berharap.

Jadi lebih baik aku mengaku kalah. Aku kalah, bahkan sebelum sempat mengajukan diri untuk ikut berloma mendapatkan kamu. Aku kalah, pada ego dan asumsi yang hingga kini ku sesali. Sekali lagi, aku kalah. Aku tak cukup berani mengambil langkah, hanya diam saja dengan pasrah. Menimang-nimang apakah ini memang rasa sayang atau sekadar nyaman . Kemudian menyesali diri karna terlambat menyadari. Bahwa tiap debar yang ada, bukan debar semestinya. Aku terlalu takut kalah hingga enggan melangkah, tanpa kusadari sedari awal aku memang sudah kalah. Oleh perasaanku sendiri.