A nest of my self-indulgent writings.

10 Years Later.

cw: mention of death, nudity, smoking, specific mention of erection

—-

“Bajunya dipake kali.”

“Kenapa? Takut ngaceng lagi?”

Dia tertawa terbahak-bahak, “Bukan, ntar kamu masuk angin.”

Reaksiku yang tak acuh membuatnya menggerutu dan terpaksa bangun dari tempat tidur. Dia masih telanjang bulat dan mengantuk, namun rela bangkit menyerahkan hoodie kesayangannya yang bau asap rokok untuk dikenakan olehku yang tidak berpakaian.

“Kamu kayak bayi, baju aja harus dipakein.”

Sentuhannya tidak lagi membuat bulu roma merinding seperti sepuluh tahun yang lalu, namun aku tetap berjinjit menciumnya sebagai bentuk rasa terima kasih. Ia pun tersenyum, lalu memelukku.

“Aku anget ya?”

“Iya,” balasnya dengan suara serak khas bangun tidur, “Dah sana bikin sarapan. Nanti aku yang cuci piring.”

Beberapa tepukan ringan di bokongku membuatnya terkekeh. Dasar lelaki tua bangka mesum.

Kubiarkan ia merokok di balkon kamar kami sembari aku membuka bungkus roti tawar, yang ketika kutengok masa kadaluarsanya, ternyata tanggal kemarin.

“Yong, rotinya udah kadaluarsa kemarin. Masih mau makan ini nggak?”

“Woles.” Jawabnya sedikit berteriak, mungkin takut aku tidak dengar, “Kalo kita mati keracunan, masuk nerakanya gandengan.”

“Lah, tolol.”

Lelaki itu menertawakanku yang mengumpat sambil batuk-batuk. Mungkin memang sudah saatnya kami pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa paru-parunya. Atau mungkin, sudah saatnya buat dia untuk berhenti merokok.

Sembari memanggang roti, aku menyadari ada yang hilang dan dirampas dari kami berdua seiring dengan berjalannya usia. Selain dengan sentuhannya yang tak lagi mengirimkan listrik hingga ke sekujur tubuh, intensitas pesan singkat tak penting pun berkurang dari ponsel kami berdua.

Kupikir aku kehilangan, namun ternyata tidak juga.

Kupandangi punggung telanjangnya dari balik kaca. Ia masih lelaki dengan tubuh yang kurus, sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Masih sosok berapi-api yang bergerak seperti bintang jatuh, lurus dan cepat dibakar semangat dan ambisi. Perbedaan yang terasa, mungkin sikap dan pola pikirnya.

Aku suka. Sangat menyukai bagaimana Yong bertumbuh dewasa seiring dengan berjalannya usia. Dan aku juga suka mengingat bahwa diriku ikut tumbuh bersamanya, ada di sisinya selama satu dekade.

Kami berdua punya fase naik dan turunnya hidup masing-masing, dan semuanya tidak mudah. Rasanya seperti ular yang menanggalkan sisik dan kulitnya yang cantik karena sebuah keharusan bernama tumbuh dewasa.

“Sayang, udah mateng belum?”

Aku tersadar dari lamunan dan disadarkan oleh kenyataan roti di panggangan yang nyaris gosong.

“Udah!”

“Yes!”

Aku tersenyum melihatnya berlari dari balkon ke dapur. Kakinya yang panjang membuat tubuh jangkung itu langsung sampai ke tempatku dalam waktu hitungan detik.

Thanks.” diciumnya kepalaku setelah ia menggigit ujung roti tawar. Sudah pasti, ada minyak atau remah-remah roti yang menempel di rambutku.

“Aku baru keramas dua hari yang lalu, lho.”

“Ya udah sih, keramas lagi? Nanti aku keramasin.”

Kurebut rokok di tangannya yang masih menyala, “Ini batang ke berapa?”

Dua jari diacungkan sebagai jawaban. Mulutnya terlalu penuh dengan roti tawar yang ia kunyah dengan semangat.

“Awas cepat mati.” Ucapku, kemudian menghisap marlboro miliknya.

“Kenapa jadi kamu yang nyebat?”

“Biar kita matinya barengan.”

Lagi-lagi ia tertawa, tentunya dengan serpihan roti tawar yang menyembur dari mulut.

Aku tak tahan untuk meledeknya, “Dasar cowok jorok.”

“Tapi kamu sayang?”

Tidak perlu jawaban, dia tahu bahwa aku masih mencintainya hingga detik ini. Meskipun tiada lagi percikan yang meletup-letup seperti kembang api di langit malam tahun baru, aku dan dia tetap saling mencintai seperti sepuluh tahun yang lalu.