A nest of my self-indulgent writings.

Cakra percaya bahwa selalu ada harga yang harus dibayar atas hal-hal baik yang dia punya; Orangtua yang melimpahinya dengan kasih sayang, wajah tampan, otak cemerlang, rumah yang melindunginya dari panas dan hujan, serta makanan yang ia konsumsi setiap harinya.

Waktu masih kelas tiga sekolah dasar, ia ingat ada tim kesehatan yang didatangkan sekolah untuk pemeriksaan kutu di kepala siswa. Beberapa hari kemudian ayahnya dapat surel dari sekolah yang menyatakan kepala Cakra ada kutunya, sehingga ia nggak boleh datang ke sekolah selama beberapa hari supaya tidak menular ke teman yang lain. Buru-buru ia langsung dibawa ke tukang cukur untuk potong rambut sampai botak.

Cakra ngambek karena botak bikin dia terlihat bulat seperti bakso. Umurnya delapan tahun saat pertama kalinya merasakan krisis percaya diri. Dia benar-benar nggak mau sekolah karena malu sampai bikin gempar satu rumah.

“Cakra jelek banget, Ibu...”

Ibu mengusap air mata yang mengalir di pipi Cakra. “Anak Ibu nggak jelek, ganteng banget. Kan Ibu cantik, masa punya anak jelek?”

“Ibu nggak pernah botak!”

“Memang nggak pernah. Ibu nggak akan ngerti rasanya malu ke sekolah karena nggak punya rambut. Yuk, sini lihat kaca sama Ibu.”

Cakra benci sama kaca karena memantulkan bayangan dirinya yang bulat dengan tanpa rambut.

“Cakra tau nggak, kutu di rambut itu makannya darah di kepala manusia?”

Ia bergidik ngeri, hewan sekecil itu punya kemampuan menghisap darah manusia seperti vampir di buku cerita.

“Iya,” Ibu melanjutkan, “Rambut Cakra itu rumah mereka, makanannya darah di badan Cakra yang dihisap lewat kepala.”

Ibu menjelaskan alasan kenapa Cakra harus potong rambut dengan sederhana dan mudah dimengerti, sekarang ia paham kenapa nggak punya rambut. Tujuannya supaya kutu nggak punya rumah dan nggak hisap darah dia lagi. Ngeri juga kalau kutu itu loncat ke orang lain, nggak kebayang Ibu atau Ayah yang suka peluk-peluk Cakra harus botak juga karena kutunya pindah.

Akhirnya Cakra mau sekolah dengan syarat pakai topi di kelas untuk menutupi kepala plontosnya. Padahal ia tahu sekolah punya peraturan untuk melarang semua siswa pakai topi dan jaket saat jam pelajaran. Tapi sungguh Cakra bersyukur sekali karena Ibu mau meluangkan waktu buat bicara dengan Bapak Kepala Sekolah dan minta keringanan buatnya. Bapak Kepala Sekolah baik sekali, topi yang ia pakai dibilang keren dan hal itu meningkatkan kepercayaan diri Cakra.

Cakra nggak pandai mengekspresikan rasa terima kasih meskipun selalu diajari dari kecil di rumah. Oleh karena itu, si kecil Cakra belajar lebih keras dari sebelumnya sampai dapat penghargaan Student of the Month atas proyek sainsnya yang dinilai cemerlang. Karena menurut Cakra kecil, wajah bahagia Ayah dan Ibu saat dibawanya sertifikat penghargaan ke rumah adalah caranya mengungkapkan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata. Keringat dan kerja keras adalah bayaran yang pantas untuk senyum orangtuanya.

Sekarang Cakra sudah SMA dan sebentar lagi ujian masuk perguruan tinggi. Kedua orangtuanya memberi kebebasan untuk memilih jurusan dan kampus apa saja yang dia mau, karena kata Ayah yang belajar Cakra bukan mereka berdua. Namun hal ini justru ternyata membebani Cakra.

“Seru ya, Cak, bisa bebas milih apa aja yang lo mau.” Ucap temannya di bimbingan belajar suatu sore, “I'd like to kill for freedom to make my own decisions.”


Cakra terbiasa menentukan sendiri sebagian besar pilihan hidupnya sedari kecil.

Bukan berarti ia bebas makan stok permen untuk satu minggu dalam waktu sehari (karena hal tersebut berarti nggak peduli atas kesehatan badan sendiri), dirinya bebas memilih dengan konsekuensi dan tanggung jawab. Seiring dengan berjalannya waktu, Cakra belajar di kelas ekonomi bahwa ada yang disebut biaya kesempatan. Hal tersebut berarti akan ada biaya yang dikeluarkan dari setiap keputusan yang diambil. Kedua orangtunya lulusan Fakultas Ekonomi, mungkin inilah yang mendasari keduanya untuk mengajarkan Cakra supaya berpikir dua kali sebelum memutuskan sesuatu (meskipun nggak secara gamblang mengatakan bahwa sebutannya adalah opportunity cost), mengingat selalu ada biaya yang keluar atas setiap pengambilan keputusan.

Contohnya adalah memilih kelas tari tradisional di akhir pekan dibanding kelas menggambar. Ia ingat beberapa saudara dari pihak Ibu mencemooh pilihan ini, karena kebanyakan yang ikut kelas tersebut perempuan sedangkan Cakra laki-laki. Takutnya, Cakra bakal ngondek. Dirinya nggak tahu apa arti kata tersebut sampai ibunya menunjukkan ekspresi seram dan membuat si kerabat diam tak berkutik dengan omelan panjang.

Dengan sukses, Cakra membuktikan bahwa kelas tari tradisional bukanlah hal yang sia-sia dengan dikirimnya ia bersama beberapa anak lain untuk menari di San Fransisco. Ayah dan Ibu ikut serta ke sana, katanya ingin lihat putra tunggal mereka menari sekaligus ingin mendokumentasikan secara langsung. Cakra tahu biaya pergi ke San Fransisco nggak murah, oleh karena itu ia berusaha sekeras mungkin untuk menunjukkan penampilan yang terbaik–– hingga akhirnya ia jatuh sakit karena memforsir diri sendiri. Ia batal tampil bersama anak-anak lain.

Wajah sedih Ayah dan Ibu nggak akan pernah Cakra lupakan seumur hidupnya.

“Maafin Cakra, ya. Ayah sama Ibu jauh-jauh ke sini, tapi aku nggak jadi tampil.” suaranya pelan, nyaris berbisik saat meminta maaf. Digenggamnya tangan besar Ayah yang berdiri di samping ranjangnya.

“Ayah sama Ibu sedih dan kecewa karena Cakra nggak tanggung jawab sama badan sendiri. Latihan sampai diforsir, lupa makan dan nggak hati-hati sampai begini.”

“Kalau nggak latihan, aku nggak bakal bisa tampil bagus.”

Ibu yang mengelus-elus rambut Cakra mengamini ucapan Ayah, “Ayah bener. Kamu boleh latihan, tapi jangan sampai lupa badannya juga butuh istirahat. Cakra kan, bukan robot. Nggak tampil bagus juga nggak apa-apa, yang penting sehat.”

Sejak saat itu Cakra selalu berpikir keras, bagaimana caranya supaya di lain kesempatan ia tetap dapat tampil sempurna namun tetap bertanggungjawab dengan tubuhnya. Dia benci lihat wajah sedih Ayah dan Ibu.


“Lo beneran ambil FK?”

“Bokap yang nyuruh, Cak. Biar ada yang nerusin Rumah Sakit, katanya. Padahal dua kakak gue dokter, kurang apa coba.” Kata teman Cakra sembari tangannya meraih kopi botolan dari kulkas warung depan tempat bimbel, “Lo mau apa?”

“Air putih aja.”

“Air putih banget?” Meskipun pilihannya dipertanyakan, teman Cakra tetap mengambilkan botol air putih dan kemudian menyerahkannya pada Cakra. “Btw, lo udah nentuin mau ambil apa?”

“Belum tau. Bingung gue, kebanyakan mikir buat ngerjain soal sampai lupa mikir mau ambil jurusan apa.”

“Nggak mau Akuntansi kaya bokap lo? Jadi auditor duitnya banyak kan, nggak harus berurusan sama nyawa orang kayak bokap gue.”

“Nyawa bokap gue yang jadi taruhannya kalo salah ngaudit!” Cakra mengekori temannya keluar dari warung setelah membayar, rasanya sesak sekali di dalam mengingat sekarang jam istirahat dan banyak murid kelaparan mengunjungi warung untuk cari camilan.

“Serius deh, Cak. Tinggal bentar lagi pendaftarannya, masa lo belum nentuin sama sekali?”

Cakra hanya menatap jalanan dengan sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang dengan wajah datar, alih-alih menjawab pertanyaan yang diutarakan. Memandangi jalanan adalah salah satu hobinya. Dari posisi ia merasa jadi penonton serial televisi dan menerka-nerka kehidupan seperti apa yang sedang dijalani masing-masing entitas yang lewat di hadapannya. Apakah polisi yang berdiri di bawah lampu rambu-rambu lalu lintas lebih suka kopi dengan ekstra gula atau tidak? Umur berapa anaknya dan apa makanan kesukaannya?

“Cak, woy! Awas ngelamun, ntar kesambet.”

“Kagak, jir!”

“Dari pada bengong mending mikir jurusan apa yang mau lo pilih.”

Diremasnya botol plastik kosong bekas air minum kemudian segera Cakra masukkan ke tong sampah terdekat, “Capek mikir. Enak kali ya kalo kayak lo, nggak usah mikir dan jalan hidup udah ditentuin.”

“Gundulmu!” Ditoyornya kepala Cakra, “Bayangin lo harus menjalani, minimal empat tahun kuliah kalo beres tepat waktu, tapi dengan pilihan yang bukan kemauan lo. Rasanya kayak kecebur ke nereka.”

Cakra yang punya kebebasan memilih sejak awal sama sekali nggak mengerti, “Setidaknya lo cuma mikir buat lulus nggak, sih? Kalo gue yang disuruh milih sendiri ini justru bebannya lebih banyak. Selain mikir sendiri, gue juga harus tanggung jawab sama apa pilihan gue sendiri. Kalo gagal, lo sendiri yang nanggung.”

“Iya, sih.” Lanjut kawannya. Kali ini disela dengan beberapa teguk kopi botolan yang lansung habis sekali minum, “Tapi, bukannya itu salah satu proses jadi orang dewasa? Bisa tanggung jawab sama pilihan lo?”

Lagi-lagi Cakra nggak membalas pertanyaan tersebut, rasanya itu retoris. Usianya sekarang tujuh belas hampir delapan belas tahun, sudah punya KTP dan bisa bawa motor sendiri. Banyak orang bilang jadi dewasa enak karena punya kebebasan. Tapi kalau dipikir-pikir, harga yang harus dibayar atas kebebasan jadi orang dewasa itu jauh lebih mahal dari tahun-tahun sebelumnya saat ia masih jadi anak-anak. Tanggung jawab dan komitmen atas pilihan hidup terdengar sangat berat buat Cakra.


Semakin mendekati hari pendaftaran, Cakra semakin frustrasi. Rasanya sulit untuk makan masakan Ayah yang enak luar biasa, atau menyantap tandas kue buah bikinan Ibu jika setiap hari serasa seperti dikejar hantu dengan pentungan. Ditambah lagi jika ia bertanya kedua orangtuanya, jawaban mereka berdua kompak, “Terserah Cakra, kan kamu yang menjalani.” Benar-benar tidak membantu sama sekali.

Hal ini rupanya menggilitik sang Ibu dan Ayah yang melihat putranya uring-uringan dan kehilangan nafsu makan.

“Cakra kenapa, Nak?”

Seperti gunung berapi dengan lahar yang siap dimuntahkan kapan saja, malam itu Cakra benar-benar meledak hingga membuat Ibunya terkejut. Cakra, putra tunggalnya ini adalah seseorang dengan pribadi yang tenang dan solid bak fondasi gedung pencakar langit.

“Aku nggak usah kuliah aja!” dilemparnya selimut yang membungkus kedua kaki. “Aku nggak tahu mau jadi apa, Bu. Aku nggak tahu mau belajar apa. Aku nggak tahu, nggak tahu dan nggak bisa mikir! Capek!”

Orangtua mana yang nggak mencelos hatinya melihat anak kesayangan mengeluarkan kemarahan, kesedihan, juga rasa frustrasi yang menumpuk bagaikan bom yang meledak tiba-tiba. Punya pengalaman dua puluh tahun jadi orangtua rupanya masih belum cukup, bukti bahwa putranya mengekspresikan perasaan negatif yang terlalu lama terpendam adalah tanda bahwa Ibu dan Ayah masih harus belajar untuk mengenal Cakra.

“Aku capek... harus mikir dan nentuin sendiri belajar apa buat jadi apa kedepannya. Ayah sama Ibu cuma bisa bilang terserah, terserah, terserah.” Cakra terduduk di samping tempat tidur sembari memeluk lututnya, “Seandainya ada harga yang harus Cakra bayar buat kebebasan yang Ayah dan Ibu kasih, aku nggak sanggup buat afford itu. Aku nggak tahu apa bisa tanggung jawab sama keputusan aku. Aku nggak tau apa bisa terus komitmen belajar jurusan itu selama empat tahun...”

“Cakra, Ayah sama Ibu minta maaf.” Ayah menyamakan posisi dengan Cakra yang duduk di pinggir kasur sambil dipeluk Ibu, tinggi mereka jadi setara sekarang. “Kami kasih kamu kebebasan karena hal itu nggak pernah kami dapat waktu masih jadi anak-anak. Ternyata, nggak selamanya kebebasan yang kami kasih bisa berakibat baik buat Cakra.”

Ibu melanjutkan kalimat Ayah, “Makasih ya, Nak, sudah mau jujur dan cerita. Kita nggak tahu kalau kamu bingung.”

Malam itu adalah hari terakhir pendaftaran tes ujian masuk perguran tinggi. Cakra terpaksa melewatkannya karena ia benar-benar belum punya pilihan.

“Oke, Ayah kasih kamu target satu tahun.” Cakra mengangkat kepalanya, terkesiap dengan ucapan ayahnya barusan. “Satu tahun buat kamu eksplor dan cari tahu maunya apa, buat nambah skills supaya makin jelas tujuan nanti.”

“Tapi...” Cakra meragu, memikirkan resiko untuk ambil gap year.

“Nggak ada tapi-tapi, Cakra bilang bebas memilih bikin kamu pusing buat mikir. Ini Ayah sama Ibu bantu nentuin, dengan cara kasih kesempatan belajar dan mikir bareng selama setahun.”

“Mungkin ini harga yang harus aku bayar buat kebahagiaan aku di masa depan, ya?”

Ibu Cakra mengernyitkan dahi atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan, “Harga apa maksudnya Cakra?”

“Aku mau bahagia dengan kuliah di jurusan yang pas. Ngambil waktu satu tahun buat belajar dan mikir lebih banyak, ketika teman-teman yang lain udah belajar duluan, artinya aku bakal terlambat.” Cakra menghembuskan napas pelan, suaranya lirih dan terdengar sedih. “Terlambat itu kan, nggak bagus...”

“Siapa yang bilang Cakra terlambat?”

Ayah Cakra melipat kedua tangannya di depan dada. Gestur seperti ini adalah pertanda beliau akan bicara panjang lebar. Malam ini akan jadi malam yang panjang untuk Cakra.


Does happiness come with a price?” Jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan saat wawancara ujian masuk universitas membawa Cakra lolos seleksi dan menjadi mahasiswa dengan jurusan Liberal Arts.

Cakra baru kuliah satu tahun kemudian di salah satu perguruan tinggi di luar negeri. Dua belas bulan sebelumnya ia gunakan untuk belajar IELTS serta mengisi waktu dengan menjadi relawan di sebuah lembaga sosial. Banyak sekali hal yang ia pelajari dalam rentang waktu tersebut; mundur selangkah untuk melihat sesuatu dari perspektif yang lebih luas, jalan pelan-pelan untuk lari di saat yang tepat, serta menikmati cahaya matahari pagi yang menyapa lembut wajahnya tiap pukul enam pagi.

Ia sempat berkecil hati saat melihat konten di instagram milik teman-temannya dengan jaket almamater dan segenap tugas ospek yang harus dikerjakan. Cakra mau, Cakra juga ingin seperti teman-temannya. Tapi ia sadar bahwa saat itu belum waktunya buat dia.

Does sadness also come with a price?” Cakra tersenyum sesaat setelah melontarkan pertanyaan balik, “Neither, because both of them are like two sides of a coin.

Di umur menjelang delapan belas, Cakra belajar dari Ayahnya bahwa semua hal baik yang dia punya tidak boleh dilabeli dengan harga.

“Bahagia dan sedih itu satu paket, nggak bisa dipisahin. Kayak yin dan yang, angka dan gambar di uang receh, siang dan malam, atau Ayah sama Ibu.”

“Yeee, bisa aja si Ayah.”

“Serius. Coba sekarang dibalik, emangnya ada harga yang harus dibayar buat sedih yang kita rasain? Coba, bisa jawab nggak?”

Ah, Cakra jadi rindu Ayah dan Ibunya. Kebetulan malam ini ia punya banyak waktu kosong karena sudah mengumpulkan tugas terakhir. Satu jam buat mengobrol lewat video call dengan mereka di Indonesia, bisa jadi energy recharge buat Cakra sebulan ke depan.

—h.