A nest of my self-indulgent writings.

Kali Pertama Jadi Manusia (#Sunu)

Ibu suka lupa bahwa hidup yang ia jalani sekarang merupakan kali pertamanya menjadi manusia.

Banyak sekali kejadian yang membuatnya kembali berpikir ulang; mengenai keputusannya untuk setuju dijodohkan dengan bapak, batal sekolah doktoral dan memilih untuk punya dua orang anak, menolak dimutasi ke tempat lain karena punya keluarga di sini yang butuh sosok seorang ibu.

Lagi-lagi semua pertanyaan dan pengandaian yang ada di kepala cuma bisa dituang ke dalam buku catatan atau aplikasi untuk menulis dalam ponsel (Ibu terlalu takut cerita sama Bapak kemudian melukai hati lelaki itu). Semua catatan tersebut digunakannya sebagai pedoman hidup untuk melangkah dan melanjutkan sisa umur yang ada. Gunanya sama seperti jurnal ilmiah ketika sedang menulis skripsi, berfungsi sebagai landasan teori sebelum melangkah melakukan penelitian.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam ketika Ibu baru saja pulang kerja. Perempuan itu berpikir rumahnya kosong. Bapak masih dalam perjalanan menjemput si bungsu di rumah nenek, sedangkan si sulung masih sibuk dengan apapun yang melibatkan kegiatan kampus. Waktu yang tepat buat Ibu untuk minum soda di ruang jemuran sambil merenung dan menatap langit malam, jarang sekali ia punya waktu seperti ini setelah berkeluarga.

Beberapa saat kemudian Ibu sudah siap dengan soda di tangan. Namun ia sedikit terkejut saat sampai di ruang jemuran, dirinya malah melihat bayangan seseorang dengan rokok terselip di tangan. Entitas tersebut rupanya nggak sadar dengan keberadaan Ibu, yang pelan-pelan berjalan mendekat setelah meraih sapu di samping pintu sebagai alat perlindungan.

“Aduh!”

“Lho, Mas?”

“Ibuk?!”

Dalam kepala Ibu, berjuta-juta tanda tanya muncul seketika setelah melihat anak sulungnya, nampaknya sembunyi-sembunyi, sendirian, di ruang jemuran, sedang merokok. Ibu salah apa, ya? Bagian mana yang kurang dari cara mendidiknya sampai si anak sulung merokok diam-diam? Kenapa si sulung nggak sepenuhnya terbuka dengan dia atau bapaknya?

Ah, iya, akhirnya ia ingat. Ini pertama kalinya dia jadi manusia. Banyak sekali hal-hal yang dia belum tau, bahkan ketika usianya sudah mencapai setengah abad.


“Sakit, tau, buk!”

“Ya, maaf...” Ibu meringis sembari mengusap-usap punggung anak sulungnya yang baru saja ia pukul pakai gagang sapu, “Ibu kira ada maling.”

Si anak sulung mendengus, masih kesal karena dikira orang asing dengan niat jahat. “Mana ada maling sempet nyebat di rumah yang mau dicuri.”

“Refleks Ibu kalau ada orang asing langsung aja pukul dan serang supaya menjauh.” Seketika si perempuan tersenyum kecut, mengingat kebiasaannya yang tidak berubah bahkan setelah menikah dan punya anak.

Langit malam itu terlihat cantik dengan jutaan bintang berkelap-kelip, seperti langit kamar si anak sulung ketika masih bocah. Bedanya, bintang di kamar hanyalah benda plastik artifisial yang cahayanya habis setelah nyaris setahun ditempel di langit-langit kamar.

“Mas mau soda?”

“Boleh?”

“Kan ibu yang tawarin ke Mas Sunu.”

Si anak laki-laki masih menatap wajah ibunya ragu, meskipun nggak terlalu jelas mengingat sumber cahaya di situ hanya bintang di langit dan lampu jalan yang nggak seberapa terang. “Tapi mulut aku bau rokok.”

“Ya udah nggak apa-apa, dari mulut kamu juga.”

Sunu meraih soda di tangan ibu dan meminumnya seteguk, kembali memandang langit. “Setauku ibu nggak suka perokok.”

“Tau dari mana?”

“Ibu nggak merokok.”

Si ibu tertawa dengan kesimpulan yang baru saja diambil putranya. Memang sih, selama ini keluarga mereka menerapkan pola hidup sehat. Ibu nggak makan daging merah dan lebih memilih konsumsi makanan laut dibanding ayam. Bapak pun juga demikian, efek dari hidup bersama si Ibu.

“Mas kenapa nggak cerita sama Ibu?” tanya si perempuan yang lebih tua sambil mengelus rambut putranya.

Sebenarnya ia sudah tahu jawaban yang akan keluar dari mulut Sunu. Apalagi kalau bukan takut dimarahi? Takut membuatnya kesal? Dirinya juga pernah muda, pernah jadi seorang anak yang melakukan banyak hal diam-diam karena takut mendapat respon tidak diinginkan dari orang tua. Namun ia akan tetap bertanya meskipun tahu jawabannya. Perempuan itu penasaran dengan apa yang dirasakan putra sulungnya.

“Ya, nanti uang jajan aku dipotong.”

“Berarti ngaku dong, beli rokok pake uang jajan.”

“Awalnya iya.” Sunu kembali meminum soda milik Ibu, “Tapi sekarang kan aku ngeband, bu. Punya uang tambahan. Aku beli rokok pake itu.”

Usia si putra sulung dua puluh tahun saat pertama kali kepergok merokok diam-diam, di ruang jemuran pula. Waktu serasa berjalan terlampau cepat bagi perempuan itu. Kepalanya kembali memutar kenangan saat ia menimang si kecil pertama kali. Dulu, bayi itu cuma bisa menangis saat lapar dan buang air saja. Sekarang dia sudah tumbuh jadi laki-laki dewasa, sudah bisa cari uang tambahan sembari kuliah, sudah bisa membuat keputusan terkait benar atau tidaknya sebuah tindakan.

“Kamu udah gede ya, Mas.” kepala si anak sulung kembali dielusnya, “Sudah bisa cari uang sendiri, beli rokok juga. Ibu kok jadi takut.”

“Takut apa?”

“Takut Mas nggak butuh Ibu lagi.”

Ia tersentak saat tubuh Sunu mendadak menghambur ke pelukannya, memeluk badannya yang terlihat mungil di pelukan si anak laki-laki. “Nggak. Siapa yang bilang gitu? Sunu masih butuh Ibuk...”

Keduanya menangis seiring dengan makin eratnya pelukan mereka.

“Aku janji deh nggak merokok lagi... supaya ibu nggak sedih.”

“Ibu minta kamu berhenti merokok, emangnya?”

Si sulung bingung setengah mati. Maksudnya Ibu gimana sih? Ia berpikir semua pembicaraan ini akan berakhir dengan kekecewaan orangtua yang nggak bisa hilang dan dirinya nggak boleh merokok lagi.

“Kamu tau nggak, apa pedoman hidup ibu selama jadi orangtua?” pertanyaan tersebut dibalas dengan gelengan. “The Prophet punya Kahlil Gibran, tulisannya: Your children are not your children. You may strive to be like them, but seek not to make them like you.

Nggak mudah buat seorang ibu untuk melihat anaknya punya pilihan yang berbeda, lebih lagi setelah puluhan tahun tinggal bersama dan diajari untuk menganut nilai yang serupa. Tapi, si anak nggak pernah minta untuk dilahirkan. Rasanya nggak etis memaksa mereka untuk memeluk paham dan nilai yang sama.

“Selama dua puluh tahun kamu bernapas, memangnya kamu selalu diem di rumahnya ibu terus?” Lagi-lagi dibalas dengan gelengan. “Ya, nggak. Wajar aja kalau kita punya paham yang beda. Di sini, ibu nggak merokok karena memang pengin hidup sehat. Tapi Mas, pasti punya alasan lain kenapa mau merokok padahal selama ini selalu dengar ibu koar-koar soal kesehatan.”

“Iya...”

“Ibu nggak melarang kamu merokok. Toh, kamu udah gede. Tapi jujur aja ibu kecewa, lebih banyak ke diri sendiri sih. Kenapa Mas nggak cerita? Ibu salahnya di mana, ya? Kenapa ibu nggak siap kamu gede dan ngerasa sedih soal ini... Ibu justru, pengin minta maaf.”

Malam semakin dingin seiring dengan bertambahnya angka di jam dinding. Banyak kata yang ingin dikeluarkan si anak sulung, namun rasanya lidah kelu dan beku seperti suhu di sekitar yang turun perlahan-lahan. Hanya pelukan yang bisa ia berikan pada ibunya.

“Ibu nggak salah, nggak ada yang salah.” Bahu yang dipeluk bergetar, “Lain kali, aku bakal lebih terbuka sama ibu.”

“Jangan dipaksa ya, Mas. Ibu tahu semua orang butuh privasi.”

Semua manusia belajar hal yang baru setiap harinya. Seperti ibu yang meskipun sudah hidup puluhan tahun di dunia, tetap akan ada hal baru yang dipelajari setiap hari. Untuk percaya, memberikan ruang pada orang terdekat, untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Ini kali pertamanya jadi manusia, jangan pernah lupa. Belajar dari suatu peristiwa, belajar dari kesalahan, adalah yang bikin manusia jadi manusia, kan?

—h.