A nest of my self-indulgent writings.

Kotak Pandora

Ada yang pernah bilang bahwa jatuh cinta mampu buat seseorang jadi bodoh. Tubuh telanjangmu, aib, kesedihan dan rasa takut, adalah beberapa hal yang sebaiknya disembunyikan dan ditutupi. Namun ketika jatuh cinta, hal tersebut malah dibuka seperti layaknya hal yang normal. Pun, logika tidak lagi berjalan sebagai mana seharusnya.

Contoh bodoh yang terjadi padaku adalah menjadikan parfum sesorang yang baunya samar-samar, ditambah keringat dan harum khas pendingin ruangan yang menempel di kemeja, sebagai aroma kesukaanku.

“Sekarang udah hampir jam sepuluh,” Ucapku setelah melirik Hamilton yang melingkar di tangan kirinya, yang kemudian masuk ke dalam kaus dan mengelus kulit pinggangku. “kenapa kamu masih wangi aja?”

“Kamu halu kali. Aku di kantor lebih dari dua belas jam, fyi.”

Dari jarak teramat dekat, aku bisa lihat garis samar yang menghiasi wajah lelahnya. Sebuah pertanda bahwa kekasihku ini sudah tidak lagi muda. Seketika aku ingin bertransformasi menjadi krim malam mahal berharga jutaan supaya menghilangkan kerutan tersebut dan membuat wajahnya jadi tampan lagi.

Bukan, aku bukannya tidak suka dengan satu ketidaksempurnaan yang lelakiku punya. Hanya saja, aku tahu dia senang melihat wajahnya di cermin sehabis mencuci muka di pagi hari. Katanya tampan. Aku hanya ingin jadi krim malam mahal supaya dia terlihat ganteng dan bikin dirinya senang. Serius, yang aku mau cuma dia bahagia.

Kupu-kupu serasa beterbangan di dalam perut hanya dengan memikirkan bayangan ia tersenyum bahagia. Sungguh, jatuh cinta benar-benar aneh.

“Aku tahu kamu udah kerja keras kaya kuda sampai sebetah itu di kantor.”

Alisnya naik saat ia rasakan jemariku perlahan membuka kancing rompi yang dikenakannya. “Hadiahnya ini?”

Wajahnya mendekat ingin mencium bibir, namun kuhalangi dengan memiringkan kepala sehingga bibirnya malah bertabrakan dengan pipiku.

Can I have a hug, instead of kisses on the lips?

I thought the kiss would be a present for me?

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan langsung memeluk tubuhnya erat, wajah disembunyikan dalam ceruk lehernya. “Aku lagi sedih, makanya tadi egois dan minta kamu pulang temenin di sini.”

Lagi-lagi jatuh cinta bikin aku bodoh. Sudah seharusnya pacarku pulang karena dia berada di kantor lebih dari dua belas jam. Tidak seharusnya kesedihanku dijadikan alasan, namun sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, kan?

Still, I deserve my present for working hard today.

Stop being such a jerk, will you?

Whoa, my lady.” Kecupan-kecupan ringan mendarat pada bahuku, “I'm sorry. Mau cerita, nggak?”

Seperti selimut tebal yang menemani di kala hujan turun, pelukannya menenangkan dan seperti pelindung dari dingin serta kejamnya kehidupan. Tidak cuma itu, elusannya membuat kesedihan dan rasa takut yang kusembunyikan rapat-rapat jadi tumpah layaknya air yang turun dari langit dengan derasnya.

Ah, jatuh cinta. Bisa-bisanya kotak pandora ini dibuka dengan sukarela.

“Tau nggak sih, kalo sofa ini sempit dan aku punya kasur yang empuk di kamar?” Menyusul semua pakaian kami yang tanggal dan tergeletak di kaki sofa, semua perasaan meluap dan melebur jadi satu di udara.

“Mau pindah?”

Kubungkam bibirnya dengan milikku, “Tanggung, lanjutin aja.”

Lagi-lagi logika yang aku agung-agungkan tidak berjalan saat lidahnya bergerak menjilati leherku. Ketika jatuh cinta sudah dibaur nafsu dan kebutuhan primal, otak manusia seakan hanya bekerja untuk memastikan darah masih dipompa menuju jantung dan sebaliknya. Entah menguap ke mana kemampuannya untuk menomorsatukan akal yang menjadikan manusia makhluk hidup paling cerdas.

Tapi, tak apa lah. Mungkin ini harga yang harus ditukar dari isi kotak pandora yang tidak boleh dibuka; perasaan bahagia.