A nest of my self-indulgent writings.

sunric!AU written with love by @aneyefora on twitter.

—-

Kata orang, jendela SMP adalah kacamata yang terlalu sempit untuk melihat dunia. Kukira, orang-orang yang bilang begitu, pasti belum pernah ketemu Sunu.

Aku pernah bercanda kalau di kepala Sunu mungkin ada sekolah khusus pendidikan anak usia dewasa di mana kurikulumnya belajar soal menyikapi beragam masalah. Dari masalah keluarga hingga cinta. Dan Sunu adalah kepala sekolahnya, menteri pendidikannya, penentu kebijakannya, juga gurunya. Dia, jadi semua yang mengajari.

Tapi mungkin kalau ada orang dewasa—yang entah juga tolok ukurnya dari mana—mendengar pandangan Sunu, mereka hanya akan berpendapat kalau dia anak rebel biasa yang sok tahu perihal bagaimana menghadapi dunia. Orang dewasa, yang udah gede, entah mengapa selalu merasa superior. Selalu merasa paling mengerti. Padahal aku tahu kalau mereka masih diam-diam mengidamkan tidur siang di hari-hari sibuk mereka yang menjenuhkan. Cuma kalau sudah masalah siapa yang paling jago menghadapi hidup, mereka akan maju paling depan dan mengakui kalau merekalah juaranya.

Nggak apa. Nanti akan ada juga fasenya aku merasakan yang begitu. Sekarang, aku cuma bocah umur empat belas tahun, yang mengagumi sahabatku sendiri, berikut pola pikirnya yang kukira jauh lebih dewasa dibanding oleh anak-anak seumurannya.

Aku pernah cerita ke bunda. Kalau temanku—atau bukan, aku nggak tahu, soalnya sering kali aku berharap lebih—adalah orang yang pintar. Tapi bukan dalam hal akademik. Dari kisahku, bunda bilang, Sunu visioner. Dan faktor paling dominannya mungkin berasal dari ibunya yang membesarkan Sunu sendirian sebagai orang tua tunggal. Aku nggak paham kenapa, namun kedewasaan itu, kata bundaku, bukan karena anugerah. Ia dipupuk, dipelajari, diterapkan. Dan ibu Sunu mungkin telah memberi makan anaknya dengan pemahaman soal itu selama bertahun-tahun.

Makanya, ketika kulihat Sunu bersikap begini, aku tahu kalau apapun yang terjadi di kepalanya di usianya yang masih empat belas tahun, Sunu masih tetap anak empat belas tahun yang pernah nggak punya jawaban untuk teka-teki dunia. Termasuk ketika dia bilang kalau dia sudah bertemu bapaknya.

Begini yang kumaksud adalah sikap pasifnya yang, ternyata, tak bisa aku hadapi. Sunu lebih banyak diam, bahkan ketika aku mengajaknya untuk menghabiskan waktu istirahat di belakang sekolah kami. Satu-satunya sudut kumuh di antara kemewahan bangunan ini yang dicat warna putih gading. Menghadap tembok belakang yang kusam dan berlumut. Kami jongkok berdua. Aku menghabiskan Beng-beng sementara memandang tanah di antara kakinya, menghitung semut-semut yang lewat sambi berasumsi. Menekuni apa saja di kepalanya yang tak sanggup aku pahami.

Beberapa menit sebelumnya, Sunu bilang padaku, “Ibuk mau menikah lagi.”

“Serius?”

“Serius,” katanya, “Sama bapak aku.”

“Bapakmu?”

Sunu menoleh ke arahku, lalu memandangku dengan pandangan yang bisu. Sepinya sorot mata itu membuatku bertanya-tanya bagaimana perasaan Sunu saat ini. Abu-abu di sana terlalu pucat dan aku takut itu akan menenggelamkan Sunu sendiri pada kedalaman perasaan yang asing, gelap, dan melenyapkan, saat itu juga.

“Bayangin, Ric,” tukas Sunu sambil memandang kedua sepatunya. “Bertahun- tahun aku hidup tanpa pernah tahu bapakku siapa. Terus tiba-tiba, ibuk datang bawa laki- laki, dan ibuk bilang dia bapakku. Bapak kandungku.”

Sunu terengah-engah meskipun ia tidak baru saja berlari.

“Aku harus menerima laki-laki itu nggak hanya sebagai suami ibu, tapi juga sebagai bapakku.”

Ada banyak sekali elemen yang ini kupertanyakan dari bagaimana reaksi Sunu sekarang. Kepala bocahku berpikiran kalau Sunu semestinya bahagia. Tapi melihat Sunu kacau begini, aku tahu masalahnya pasti lebih dari sekadar ibunya akan menikah lagi. Ada sesuatu yang lebih kompleks dan lebih sulit dipahami oleh Sunu sendiri, sebagai seorang anak juga seorang lelaki. Buatku dan kepalaku yang isinya tak selapang Sunu, kalau aku jadi Sunu, aku mungkin akan bahagia. Karena aku akhirnya akan punya bapak setelah lama tidak.

Makanya reaksi Sunu yang demikian jadi membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Apa yang di depanku sekarang, ekspresi Sunu, dan bagaimana dia terlihat tidak senang, membuatku ingin mengusap kepalanya. Siapa tahu aku bisa tahu apa isinya lewat sentuhan itu.

“Kamu nggak seneng bakal punya bapak?”

Sunu melihatku dengan tatapan kosong, “Aku nggak ngerti kenapa dia baru datang sekarang. Kenapa nggak dari dulu? Kenapa dia nggak merawat aku dari dulu? Kenapa dia biarin ibuk sendirian?”

Aku terdiam.

“Semua kesendirian aku selama ini, juga kesendirian ibuk, selalu
bikin aku bertanya-tanya selama bertahun-tahun ini,” kata Sunu. “Bapakkku ini, orangnya, sebrengsek apa?”

Dan aku jadi ingat cerita-cerita Sunu ketika dulu dia dirundung oleh teman SD-nya karena tak punya bapak. Juga kisahnya yang tersenyum kecut ketika semua anak seumuran Sunu di kompleks perumahannya menghabiskan sore bersama ayah mereka dengan bermain basket atau berlatih sepeda. Sunu yang selalu gigit jari saat ia terbiasa pulang menggunakan bus atau transportasi lainnya kalau ibunya tak bisa menjemput karena ada pekerjaan yang sulit ditinggalkan. Semua kesepian itu tak pernah sepadan oleh kehadiran laki-laki yang tiba-tiba hadir, mengatakan kalau dirinya adalah bapak kandung Sunu, dan minta diakui begitu. Buat Sunu, semua rasa sakit yang dulu-dulu itu, tak akan pernah sepadan dengan kehadiran yang tiba-tiba, bahkan dengan sejuta janji soal bahagia.

Aku menatap Sunu yang terlihat semakin kacau.

Kalian belum lupa, ‘kan, kalau di kepala Sunu ini, ada sekolah khusus pendidikan untuk menjadi dewasa? Kukira sekarang, sekolah itu kini tutup. Karena teori dalam kurikulum ternyata tidak relevan dengan kenyataan. Ia melenceng jauh meski sudah disusun sedemikian rapi.
Dan aku paham mengapa bisa begitu. Karena ini menyangkut ibunya. Sunu hanya bisa begini kalau sudah menyangkut itu.

“Orang brengsek macam apa yang udah ninggalin aku dan ibuk, terus tiba-tiba datang lagi, bilang mau menikah sama ibuk,” suara Sunu bergetar. “Ric, gimana caranya aku bisa menerima dia tanpa mengingat semua rasa sakit yang aku rasain waktu dia nggak ada?”

Dari jendela SMP, ada cerita tentang banyak siswa yang ngeri melihat dunia dari sudut pandang yang batasannya adalah seragam putih biru yang sudah kusam di bagian ujungnya. Tapi Sunu, dia lebih berani. Dia melampaui dua sudut siku-siku itu, memandang jauh ke depan, menuju suaka yang mungkin tak akan bisa kupahami di usiaku yang masih empat belas.

Makanya sekarang aku hanya bisa mengusap kepalanya. Entah apakah itu akan berdampak sesuatu, tapi kuharap begitu.

Karena Sunu terlihat marah, dan bingung, juga sakit hati. Ia terlihat hilang di kepala dan asumsinya sendiri. Aku ingin mengejarnya, aku ingin ikut tersesat bersamanya, aku ingin juga berlari-lari di ruangan yang menjebaknya. Aku ingin menemaninya, tapi aku tidak tahu mana pintu yang tepat untuk kumasuki.

Mungkin, aku nggak bisa memahami dia sepenuhnya. Aku tadi bahkan sempat berpikir kalau Sunu semestinya bahagia. Tapi apa yang terjadi sekarang, membuatku makin yakin, kalau jendela SMP punya sudut yang banyak sekali. Dan tak semuanya bisa dimengerti oleh Sunu. Juga, tak semuanya bisa dimengerti oleh aku.

“Menurut kamu, aku harus gimana, Eric?”

Aku menghela napas. Kuraih tangannya, lalu kuusap pelan. Sunu memandangku, meminta jawaban, meminta saran. Tapi aku tahu aku tidak punya itu. Jadi aku terus mengusap tangannya, menenangkan badai di peredaran darahnya.

“Aku nggak tahu kamu harus gimana, Sunu, karena aku juga nggak ngerti,” ujarku. “Tapi apapun keadaan ke depannya, gimanapun kacaunya, gimanapun bingungnya, aku akan selalu nemenin kamu.”

Karena, Sunu, bisaku cuma segitu. Kuharap kamu bisa memakluminya.

Jadi, kuputuskan kalau di kepalaku, akan kubangun juga sekolah yang sama dengan milik Sunu. Tapi tak akan kususun kurikulumnya soal teori menjadi dewasa. Akan kubuat himpunan materi soal mengerti, soal memahami, soal menemani. Karena bencana akan selalu ada, dan kukira kita semua harus selalu siap menghadapinya.

Di genggamanku, ada tangan Sunu. Di kepalaku, ada rencana untuk menemani Sunu sesusah apapun keadaannya. Jadi, sewaktu seutas senyum Sunu tersungging dan dieratkannya genggaman tangan itu, aku tahu Sunu memaklumiku serta memaklumi kekuranganku yang tak mampu memberikan penyelesaian buat masalahnya.

Tapi aku berjanji aku akan ada.

Dan, Sunu, semoga itu cukup, ya?