A nest of my self-indulgent writings.

#Sunu dan Ibuk vs The World – 1

Hingga detik ini, aku masih menganggap keinginan memiliki anak adalah sebentuk keegoisan manusia.

Ada lebih dari tujuh miliar orang hidup di dunia dan tidak semua mendapat kehidupan yang layak. Di negaraku sendiri bahkan ada yang tega mengambil dana bantuan operasional sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu. Bayangkan jika setiap kepala yang hidup dan bernapas punya keinginan untuk punya keturunan, berapa banyak lagi tambahan manusia yang harus diurus pemerintah yang tidak kompeten ini? Membayangkan sosok anak kecil mengemis di jalan membuat hatiku sakit sekali.

Meskipun kenyataan di lapangan telah memberiku bayangan bahwa punya keturunan lebih banyak ruginya dan tidak membuat keadaan dunia menjadi lebih baik, pada akhirnya aku mengandung dan melahirkan seorang anak. Benar-benar sebuah ironi. Aku yakin, diriku di masa lalu akan menertawakan keputusan yang kubuat untuknya di masa sekarang

Dia lahir saat aku sedang ada di puncak karirku. Tas-tas kulit harga jutaan terpajang dengan rapi di lemari kaca, ponsel dan laptop termutakhir terpampang di meja, semua itu sudah biasa. Namun di saat yang sama aku sering merasa kesepian dan butuh teman. Sayangnya, aku terlalu takut untuk berkomitmen jangka panjang dengan seorang pria.

Alasannya, sosok lelaki selalu mengingatkanku akan patah hati—patah hati atas lemparan benda tumpul terdekat yang mampir di badan, patah hati atas tidak adanya proteksi di hari paling menyeramkan seorang anak yang tak berdaya, patah hati atas ketiadaan permintaan maaf saat kalimat tersebut satu-satunya yang diharapkan setelah menangis meraung-raung semalaman.

(Dibanding takut lelaki, rasanya kata benci pada kaum adam lebih tepat digunakan untuk mendeskripsikan situasiku)

Toh, akhirnya kuputuskan untuk mempertahankan janin itu. Di pagi hari pada bulan April, seorang bayi berjenis kelamin laki-laki lahir atas keegoisanku yang ingin dicintai sebanyak-banyaknya.

Lagi-lagi dunia seperti memberikan tamparan keras padaku. Aku, yang membenci laki-laki, melahirkan sosok yang kubenci setengah mati.

Anak lelakiku yang bernama Sunu tumbuh dengan baik tanpa sosok Ayah di sisinya.

Membesarkan putraku seorang diri bukanlah perihal mudah. Tapi, mengingat betapa bencinya aku dengan lelaki dan melihat betapa sehat dan lebarnya senyum anakku setiap hari, rasanya aku ingin berteriak kencang di depan para kaum adam, “Lihat! Aku seorang perempuan, mampu membesarkan sendiri anak laki-laki menjadi manusia yang baik! Tidak tumbuh seperti kalian!”

(Aku pun melakukannya di depan orangtuaku yang dulu sempat menentang kehadiran janin ini.)

Namun seiring dengan berjalannya waktu, tidak bisa disangkal bahwa sosok yang kubesarkan dengan tanganku sendiri ini punya fisik yang terlampau mirip dengan ayahnya. Lelaki yang sangat aku cintai tetapi pada akhirnya kuminta untuk pergi. Rambutnya yang hitam legam agak ikal dan tebal jika dibiarkan panjang. Bola matanya gelap seperti lautan yang dalam––mengingatkanku pada mata ayahnya yang kerap kuselami saat kami bercinta dulu. Tidak bisa kusangkal, sejauh apapun lelaki itu kuminta untuk pergi, aku masih bisa melihat jejaknya di sampingku.

Suatu hari disaat pekerjaanku sedang banyak dan membuat sakit kepala, wali kelas Sunu menelpon. Katanya, putraku berkelahi dengan teman sekelas dan orangtua anak itu tidak terima. Kuputuskan untuk pulang kerja lebih awal dan segera kutemui putraku di sekolah.

Hal pertama yang aku lihat sore itu adalah sepasang suami istri muda dengan wajah tidak ramah. Pegangan tanganku pada tas kulit yang kubawa semakin erat. Semua ini mengingatkanku pada diriku sendiri puluhan tahun lalu saat disidang di sekolah. Banyak sekali kilasan memori tidak menyenangkan mendadak berputar di kepala. Tentang anggapan orangtuaku yang gagal mendidik anaknya, atau tentangku yang nakal dan menyusahkan semua orang.

Aku benci mengingat bahwa semua orang dewasa di saat itu tidak memberi validasi atas perasaanku yang terluka dan tidak mau terima alasan kenapa aku berbuat onar.

“Saya ayahnya Thomas.” suara berat dengan aksen amerika yang kental memaksaku untuk kembali dari kenangan masa lalu. “Anak Anda meninju wajah anak saya sampai biru.”

“Boleh saya bicara dengan anak saya dulu?”

Wali kelas Sunu mempersilahkan aku untuk menghampiri putraku di sudut ruangan. Ia duduk dengan kedua tangan erat mencengkram kedua lutut. Kepala menunduk dan tidak kulihat ia mau menatap semua orang di ruangan tersebut.

“Hey, Love.” bisikku di dekat Sunu, tanganku mengelus pelan bahunya yang tegang. “Ibuk di sini.”

Sunu perlahan mengangkat wajahnya. Terlihat bahwa ia sangat marah dengan tanda gigi yang bergemeretak. “Aku nggak suka. Aku nggak suka Thomas bilang hidupku sial karena gak punya Bapak.”

Hatiku seakan retak dan hancur mendengar suara putraku yang menahan tangis karena dihina keluarganya tidak lengkap.