A nest of my self-indulgent writings.

#Sunu dan Ibuk vs The World — 2

Putraku Sunu jarang sekali menangis, bahkan ketika ia masih menjadi bayi yang hanya tau cara berkomunikasi lewat tangisan. Anak itu seperti mengerti secara otomatis dengan kondisinya yang hanya hidup berdua saja dengan Ibu yang juga lelah karena bekerja. Namun sayangnya, hal itu terbawa hingga ia tumbuh besar.

Sunu memang jarang menangis, namun ia mengekspresikan isi hatinya dengan cara lain. Yaitu dengan berteriak dan mengeluarkan amarah yang amat besar.

He punched me!” Thomas, si anak laki-laki berbadan besar berteriak sambil menangis.

You mocked me!

I told the truth!

Kugenggam tangan mungil Sunu yang mengepal bersiap untuk menumpahkan tinjunya. Karena ia duduk menempel di sampingku, dapat kurasakan bahunya yang bergetar menahan marah.

“Thomas,” Kali ini wali kelas anakku yang ambil alih, “Kamu bilang apa ke Sunu hingga dia marah?”

Alih-alih menjawab, anak itu justru mencebik dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dapat kutangkap kesan arogan menyebalkan khas anak kecil yang sok jagoan.

“Sunu nggak punya Bapak, makanya dia sial terus nggak pernah bisa masukin bola ke gawang.”

“Nggak ada hubungannya!” Sunu berteriak membalas.

“Ada!”

“Nggak!”

“Ada hubungannya! Nggak ada yang ajarin kamu main bola karena nggak punya Bapak!”

Keputusan yang kuambil di masa lalu atas dasar keinginan untuk dicintai sebanyak-banyaknya hanya oleh darah dagingku sendiri, ternyata justru menyusahkan dia yang kuharap bisa membuatku bahagia. Aku yang dulu sangat percaya diri berpikir bisa melindungi putraku dari berbagai macam masalah. Namun ternyata aku gagal. Aku tidak mampu melindungi dia dari rasa sakit.

“Aku nggak butuh bapak buat ajarin main bola!”

Enough, boys.” suara wali kelas anakku yang tegas menghentikan pertengkaran Sunu dan Thomas.

Sunu dan Thomas masing-masing mendapat konsekuensi dari perbuatan mereka. Keduanya kehilangan waktu recess selama lima belas menit dan harus tinggal di dalam kelas dengan pengawasan guru selama satu minggu. Putraku, Sunu, yang gemar bergerak tidak terima dengan hukuman yang ia terima karena dia tidak merasa bersalah.

But, Miss Hannah––

“No recess.”

Sunu yang kecewa meninggalkan ruangan guru tanpa permisi, membuatku kembali meminta maaf pada wali kelas Sunu dan dua orangtua Thomas yang masih berada di sana. Ayah Thomas meminta maaf padaku setelahnya (sekedar basa-basi, aku tahu itu) dilanjutkan dengan Thomas dan ibunya yang mengikuti si Ayah namun dengan wajah terpaksa. Jujur saja, aku tidak peduli mereka tulus atau tidak. Karena saat ini yang aku khawatirkan adalah anakku yang marah dan kecewa dengan hukumannya.

Sesaat setelah aku beranjak dari ruang guru, tak jauh dari tempatku Sunu menunggu di taman sekolah. Tak heran ia masih duduk di sana. Peraturan sekolah ini yang mengharuskan semua muridnya untuk tidak keluar area sekolah tanpa orangtua atau wali murid.

“Hi,” kuusap rambut Sunu yang sedang duduk di ayunan. “Mau cerita, nggak?”

Sunu masih menunduk tak mau menatapku. Aku kemudian bersimpuh untuk menyejajarkan pandangan kami berdua.

“Kalau Sunu nggak nyaman, what if we pretend that we’re friends, not a son and his mum. You can call me by my name.” Jari kelingking aku julurkan ke hadapan Sunu. Pinky promise, memberikan kepastian bahwa ia boleh memanggilku dengan nama saja.

“Really?”

“Mhmm.”

Okay.”

“So, how do you feel?”

Raut wajah Sunu kembali mengeras, “Not so good. I’m disappointed.”

“Sama siapa?”

“Miss Hannah.” bisik Sunu lemah, “I can’t play tag tomorrow. I love playing tag.”

Aku menatap baik-baik wajah putraku yang sedang dilanda kekecewaan besar. Bagi orang dewasa, menanggung konsekuensi dan tanggung jawab atas semua keputusan yang telah dibuat adalah hal biasa meskipun kadang memang menyebalkan. Namun untuk sekelas anak berusia lima tahun, dilarang melakukan aktivitas favoritnya adalah sebuah bencana.

Satu hal penting yang aku pelajari di kelas parenting (saat memutuskan untuk mempertahankan Sunu dalam kandungan, aku mengikuti banyak sekali kelas-kelas tentang cara merawat anak) adalah dengan memberi validasi atas perasaan yang anak-anak rasakan.

“I can tell that you’re disappointed, sweetie.” kugenggam kedua tangannya, “And it’s okay to feel that way.”

“Is it?”

Aku mengangguk kemudian kuarahkan tangan Sunu untuk menyentuh dadanya, “Boleh banget, dong. Karena apapun yang Sunu rasakan di sini, nggak akan pernah bisa bohong.”

“How do you know?”

Skeptikal dengan banyak hal yang berhubungan dengan perasaan, Sunu benar-benar putraku. Little did he know, aku pernah menanyakan hal yang sama pada ayahnya sepuluh tahun yang lalu. Miris rasanya mengingat hal ini terjadi saat aku dan ayahnya sudah berpisah.

“How are you feeling?”

“Bad.”

“Can you pretend to be happy while you are, in fact, sad?”

“Oh. I can’t.” poni anakku bergoyang saat ia kepalanya menggeleng. “Berarti, besok aku bisa marah sama Miss Hannah, dong?”

“Hey! Nggak lah.”

“But, why?!” tanya Sunu tidak terima.

“Karena Miss Hannah nggak salah.”

“Wait. I don’t get it.”

Kakiku pegal jika duduk bersimpuh terlalu lama untuk menyejajarkan pandangan kami berdua, namun rasa tersebut segera kutepis jauh-jauh. Kutatap bola mata putraku yang kelam seperti samudra. Ada kejujuran dan kekecewaan terpancar dari keduanya.

“Well, Sunu harus bisa bedakan mana yang namanya feeling dan action.”

“Mmhm.”

“Feeling itu sumbernya ada di hati, tapi action sumbernya ada di sini.”

Sunu menyentuh keningnya sendiri dengan jari telunjuknya mengikuti gerakanku, “Kepala?”

“Apa yang ada di dalam kepala, Sayang?”

“Otak.”

Exactly. Sunu masih ingat fungsi otak manusia untuk apa?”

“Untuk berpikir?”

Pertanyaan barusan mengingatkanku pada Sunu saat ia masih baru belajar berjalan. Putraku sebagai seorang bayi terlampau lincah dan aktif untukku yang tidak suka aktivitas dengan yang banyak geraknya. Sebagai kegiatan penyeimbang, aku suka memutar video animasi tentang sains yang diunggah secara gratis di internet. Usahaku membuahkan hasil. Sunu kecil senang sekali jika sudah masuk waktunya menonton televisi. Alhasil, ia cukup banyak tahu tentang fenomena alam dan bagian-bagian tubuh manusia sejak dini.

“Awesome!” Air muka Sunu perlahan berubah dari kecewa menjadi senang secara perlahan. Putraku, memang dari kecil ia paling suka dipuji. “Menurut Sunu, marah-marah ke ibu guru salah, nggak?”

“Hmmm.” Sunu menyilangkan kedua tangan di depan dada pertanda ia sedang berpikir atau membuat keputusan. “Depends?”

Memandang wajah Sunu seringkali mengingatkanku pada ayahnya. Namun melihat bagaimana ia bersikap sehari-hari, tidak bisa bohong bahwa aku seperti berkaca melihat diri sendiri di masa lalu sebagai anak-anak. Kami berdua sama-sama keras kepala dan sulit diajak bernegosiasi, merasa pendapat sendiri adalah yang paling benar.

Kalau boleh jujur, Sunu dengan sifatnya yang seperti ini membuatku merasa sedih. Dari semua hal yang bisa diturunkan padanya, kenapa harus satu hal yang sering menyulitkanku membangun hubungan baik dengan orang lain? Insiden di sekolah yang baru saja terjadi adalah suatu pukulan telak untukku; keegoisan masa mudaku untuk punya anak supaya bisa disayang secara tulus, ternyata hanya membawa petaka untuk dia yang tidak pernah minta dilahirkan ke dunia.

“Depends on?”

“Kalau salah ya harus dimarahi.”

“Memangnya, aku pernah marah sama Sunu kalau kamu salah?”

Sunu kembali berpikir sejenak, kemudian ia menggeleng pelan. “Nope. Kamu nggak pernah marah-marah sama aku.”

“Itulah bedanya feeling dan action, Sunu.”

Pelan-pelan aku beri putraku pengertian tentang bagaimana ia boleh merasakan apapun dan tidak apa-apa jika perasaan tersebut membuatnya tidak nyaman. Karena begitulah rasa. Tidak selamanya dia manis seperti cokelat dan membuat mereka yang merasakan jadi senang.

“While action is the way you behave based on your feelings.” Lagi-lagi aku raih jari-jari mungilnya dan kukecup dengan sayang. “I kissed your fingers because this is how I express my love to you. Do you like it?”

“I do.”

“Is it okay for me to kiss your fingers once again?”

“Sure.”

“This is an example of an appropriate action. You allowed me to kiss your fingers. I’m happy and so are you.” Lagi-lagi aku cium dengan sayang jari-jarinya. “Tapi, apa Sunu senang kalau aku marah-marah saat Sunu melakukan kesalahan?”

Ia menggeleng dengan kencang, “Nope.”

“Itulah yang dinamakan aksi, Sayang.” Balasku sembari terus menatap kedua matanya dengan dalam, “Aksi adalah... apapun yang kamu lakukan, dengan badanmu, saat kamu merasakan sesuatu.”

Penjelasanku barusan membuatku meringis. Jujur saja, aku agak kesulitan merangkai kata-kata yang mudah dicerna anak-anak untuk masalah ini.

“Sunu punya otak yang sehat dan bisa dipakai untuk berpikir. Apakah yang kamu lakukan bakal melukai orang lain? Apakah aksi itu akan melukai diri sendiri?”

Sunu terdiam sejenak, kemudian ia bertanya, “Jadi, ketika aku kecewa dengan Miss Hannah, atau siapapun, aku harus berpikir sebelum merespon?”

“Ideally, yes. But most of the time, it’s difficult to control our actions. It takes a lot of time to practice. Worry not, you still have plenty of them— so much time to learn.”

Anakku hanya mengedikkan bahu setelahnya dan berbisik bahwa dia mengerti. Besok, Sunu berjanji akan minta maaf pada Miss Hannah karena telah membuat keributan dan karena tidak sopan telah meninggalkan ruangan guru tanpa permisi setelah diberi hukuman.

Sore ini kami berjalan pulang dengan bergandengan tangan menuju tempat parkir. Aku dan putraku, Sunu, kami berdua sama-sama belajar hal baru dengan kejadian barusan. Aku yang baru saja sadar bahwa tugasku jadi orangtua tunggal akan semakin berat seiring dengan berjalannya waktu, dan putraku yang baru saja mengenal cara membedakan aksi dan perasaan.

Semua ini tidak mudah; meninggalkan zona nyaman atas pemikiran dan pandangan yang pernah kita anut di waktu yang lampau menuju hal baru yang asing untuk diri sendiri. Tapi tidak apa-apa. Seperti yang aku katakan pada Sunu sore ini, kita masih punya banyak, banyak sekali waktu untuk belajar.

Toh, durasinya memang sepanjang usia kita menetap di dunia, kan?