A nest of my self-indulgent writings.

Terbentur, Terbentur, Terbentuk

“Nujes, kok diabisin sih?”

Lelaki yang barusan dipanggil namanya itu tidak menghiraukan pertanyaan barusan, ia sedang sibuk mengunyah dan menyantap kukis yang masih hangat baru keluar dari oven. Aroma vanila bercampur cokelat mengapung di udara, membuat si lelaki tadi mengunyah sekaligus menghidu udara di sekitarnya.

“Jes, ih! Jawab dong!

“Lagi makan?!” Jawab lelaki itu akhirnya dengan tatapan galak. Namun kontras dengan reaksi di wajah, tangan kirinya menggenggam tangan si perempuan dengan lembut. “Ya, masa kamu bikin buat aku tapi nggak dihabisin?”

Oknum pembuat kue merengut, “Nanti kamu sakit perut...”

“Kamu masukin racun?!”

Nujes menepuk-nepuk dadanya keras, memperlihatkan reaksi dramatis sebagai respon. Tentu saja ia tahu gadis di hadapannya ini tidak mungkin meracuninya. Memang, dia bisa hidup tenang kalau lelaki itu kenapa-kenapa?

“Yang bener aja?!” disodorkan sebuah gelas berisi air hangat ke hadapan kekasihnya. Ekspresi si perempuan masih agak ketakutan dan khawatir Nujes sakit karena makan kukis buatannya, “Aku ga bisa hidup tenang kali, kalau kamu kenapa-kenapa.”

Tuh, kan.

“Enak kok, beneran deh. Cuma agak keras aja.”

“Bener?”

“Makanya, kalau bikin tuh dicoba dong, ibu koki.” Si lelaki tidak tahu apa sebutan untuk seseorang yang membuat kue, anggap saja koki, seperti tukang masak lainnya. “Aaaa, buka mulutnya anak manis?”

Perempuan itu memutar bola matanya mendengar ajakan Nujes untuk membuka mulut. Meskipun ia agak kesal dengan nada suara lelaki di hadapannya yang terkesan dibuat-buat, namun ia tetap membuka mulut saat sebuah kukis disodorkan ke depan bibirnya.

Ia gigit sedikit, memang keras. Beberapa remahan menempel di lipgloss yang ia kenakan dan kemudian diseka oleh jempol milik Nujes. Tidak bohong, hatinya jadi berdebar lebih kencang seakan mau kabur dari tulang rusuk yang didesain kokoh itu. Selain deg-degan, ia juga kesal karena entitas di hadapannya justru memasang ekspresi jenaka. Sepertinya karena melihat rona merah di pipi muncul tanpa minta izin.

“Enak, kan?”

Perempuan itu mengangguk, “Iya, cuma agak keras aja.”

“Makanya, dicoba dulu lain kali. Jangan jadiin orang lain tumbal.”

Dicubitnya perut Nujes yang tertutup kaus hitam dengan lambang Metallica. Si oknum yang diserang malah tertawa kencang, mungkin cubitan tersebut cuma serasa gigitan semut kecil. Mengingat ukuran tubuh mereka bedanya jauh sekali.

“Satu lagi,” lelaki itu melanjutkan, “jangan lupa buat percaya diri. Kamu bisa bikin kue kok. Enak. Aku suka.

Seperti secangkir teh hangat di musim hujan, kalimat sederhana dari Nujes mampu menghangatkan hatinya yang kalut karena kehilangan rasa percaya diri belakangan ini. Mungkin, ia akan gagal di satu kesempatan. Atau satu kesempatan lain lagi. Bahkan di kesempatan selanjutnya lagi. Tapi—

“Kalo gagal lagi, gimana?”

“Coba lagi, lah?”

“Siapa yang mau jadi kelinci percobaan lagi?”

“Aku, aku di sini terus kok.”

“Males.”

“Ish!” Nujes menyentil dahi si perempuan. “Inget, ya. Terbentur, terbentur, terbentuk.”

—nggak masalah kalau ia bisa terbentuk suatu hari nanti. Lebih lagi kalau ada Nujes di sisinya, masalah hidup nggak terasa begitu berat. Kayaknya?