A nest of my self-indulgent writings.

The first time he laid his eyes on her was during one of the lady’s work trips—

“Excuse me?”

Kartu undangan pertunangan dengan tulisan deskripsi cantik mengenai sejarah hubungan romansa dua sejoli diayun-ayunkan ke hadapan seorang lelaki. Puan yang disebut dalam kartu tersebut terdengar keberatan. Di sisi lain, lelaki yang ditanyai tadi malah cengar-cengir seperti tak berbuat salah.

“Kita udah saling kenal sejak hari pertama ospek kuliah, alias lima belas tahun yang lalu.” Si puan kemudian mengubah arah duduknya yang tadi condong ke lelakinya menuju entitas lain di seberang meja, “Ini bisa direvisi, nggak?”

“Hei, hei, sebentar.” Lelaki yang barusan tersenyum tak bersalah menengahi, “Kita emang udah kenal sejak lama, tapi aku baru ngelirik kamu pas udah kerja dan punya duit.”

“Gimana?!”

“We were dumb, young, and broke fifteen years ago.” Lagi-lagi cengiran tak bersalah terlihat dari wajah si lelaki, “Aku yang dulu mana mau sama kamu, Sayang. Masih dekil dan ke kampus naik bus gitu, bau matahari.”

“Dasar cowok gila.”

“Emangnya kamu ada ngelirik aku jaman kuliah dulu?”

Dipandangi calon tunangannya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia yang dulu nggak akan tau tentang eksistensi Senna Wingtip keluaran Wolf and Shepherd. Jangankan sepatu harga ratusan dollar, buat beli makan siang saja lelaki itu sering minta dua ribu ke masing-masing anak himpunan—yang kalau ditotal bisa buat beberapa porsi tempe penyet di warung depan Fakultas. Selain itu, sekarang si lelaki juga punya hobi ganti ponsel tiap merk keluaran Steve Jobs mengeluarkan seri barunya.

Well, benar juga. Mungkin si Puan tidak sadar, ia mulai melirik calon tunangannya saat melihat Audemar Piguet melingkar di pergelangan tangan pria itu beberapa tahun yang lalu.

“Tuh kan,” Senyum puas tercetak di wajah maskulin dengan rambut halus yang belum dicukur. “Nggak usah direvisi ya, Kak. Cantik banget, sesuai sama yang aku bayangin.”

Entitas lain, si orang ketiga di seberang meja tersenyum canggung menimpali si lelaki. Dia terlihat agak khawatir dengan kliennya yang satu ini. Jujur saja, mereka terlihat seperti pasangan yang banyak uang alias ikan gemuk yang nggak boleh lepas. Tapi melihat respon si calon perempuan nggak bersahabat begini, dia jadi sangsi.

—and soon, he was quickly enchanted by her charms. At first, she thought they were just two people that happened to be in each other’s lives, but never expected the impact that he would have until this very moment.

“Aku suka bagian ini, bagus dan cocok banget.” ujar si calon perempuan. Kukunya yang dipotong pendek rapi dan berhias sesuatu yang berkilau di sudutnya menunjuk kata impact.

“Hm? Ini sih tulisan kakaknya yang keren. Aku nggak pernah mikir puitis kayak gini.” Lelaki itu garuk-garuk kepala. Entitas di seberang meja berharap si calon laki-laki tidak garuk-garuk kepala karena kutuan. “Emang, aku ngasih impact apa ke hidup kamu?”

Hembusan napas berat dihela oleh si perempuan, “Do I have to confess? Right here? Nggak cukup aku bilang yang semalem?”

“Aku cuma inget kamu desah doang kemarin—“

“Seriously?!”

“Galak banget sih, cantik?” Jari telunjuk dan jempil si lelaki menjepit kentang goreng di meja untuk kemudian di arahkan ke mulut calon tunangannya, “Makan dulu nih, aaa? Mungkin kamu laper makanya galak.”

“Can you imagine spending the rest of your life with this kind of guy?” Tanya si calon perempuan kepada sosok yang mendesain undangan pertunangannya. Pertanyaan retoris, tentu saja.

Their relationship and bond grew stronger from time to time, then she also found herself fell in love with him. And soon, they decided to take this relationship to the next step.

Both of them are delighted to share their happiness together with the dearest friends and family in this very moment.

ALILA SEMINYAK, BALI
JANUARY 29th, 2021

“Tanggal dan lokasinya sudah benar, ya?”

Dibalas dengan anggukan keduanya. Fucking finally—akhirnya ada saat di mana keduanya sepakat dan tidak banyak berdebat.

“Makasih ya, Kak, sorry kita ribet banget.” Si calon perempuan bicara sambil menutup pertemuan mereka sore itu. “Ngomong-ngomong, warna pink-nya bagus deh. Warnain di salon mana?”

Sebelum oknum ketiga itu menjawab, si calon pria menyeletuk, “Kamu mau warnain rambut lagi? Hati-hati botak lho. Aku nggak mau ya punya tunangan gundul.”

“Uhm, gimana kalau kita nggak jadi tunangan aja.”

“Maaf,” Entitas berambut pink di hadapan kedua sejoli itu menyela, “Kalau batal, uangnya nggak kembali.”

Dengan kompak mereka berseru, “Jadi tunangan kok!”