A nest of my self-indulgent writings.

Hari Ibu

Yola kenal peringatan Hari Ibu untuk pertama kali dari iklan di televisi.

Saat itu usianya empat tahun, sedang duduk di ruang keluarga dengan semangkuk sereal buah dan susu cokelat di pangkuannya. Layar kotak di hadapan menampilkan iklan tentang anak-anak yang membeli cokelat dengan recehan untuk merayakan hari ibu. Kepalanya seketika mengangguk, bibir tersenyum sumringah.

Yola mau jadi ibu suatu hari nanti. Karena, siapa yang tidak suka diberi cokelat gratis? Menyenangkan baginya bisa dapat satu hari spesial dalam setahun selain di hari ulang tahun. Yola kecil tidak sabar untuk cepat dewasa.

“Aduh, Neng Yola! Kalau makan hati-hati, belepotan itu susunya kena baju. Aduh!”

Tidak dihiraukannya ujaran panik si pengasuh, Yola kecil sibuk dengan khayalannya tentang jumlah cokelat yang akan ia dapat sebagai hadiah dalam satu tahun.


Yola berumur enam tahun saat gurunya di kelas mengajarkan cara membuat kartu ucapan cantik untuk peringatan Hari Ibu.

Dirinya mendapat kartas warna hijau besar sebagai dasar, beberapa kertas warna-warni yang mengkilap, dan juga glitter untuk ornamen tambahan di akhir. Tekstur kertasnya kasar dan tidak mudah dilipat seperti kertas origami yang ia punya di rumah. Kata Miss Mary, guru kelasnya yang suka pakai gaun bunga-bunga, bahan seperti itu lebih cocok untuk dijadikan kartu karena lebih tahan lama dan tidak mudah rusak jika basah terkena lem saat tahap menghias.

“Yola mau tulis apa buat Ibu?”

Gadis itu sedang mengoleskan lem ke atas kertas dengan hati-hati sebelum membubuhinya oleh glitter berkilauan sebagai hiasan. Tanpa melihat Miss Mary yang menunggu jawaban atas pertanyaannya, Yola dengan percaya diri menjawab,

“Nggak buat Ibu, Miss Mary. Tapi buat aku.”

“Ih!” Pyo, teman sebangku Yola, langsung menyela saat mendengar jawaban barusan, “Kamu kan masih kecil, belom jadi Ibu! Harusnya kamu bikin kartu buat Ibu, dong.”

“Pyo berisik deh.” Yola memutar bola matanya kesal, “Suka-suka aku, dong, mau bikin kartunya buat siapa. Yang bikin juga aku!”

Menerima respon seperti itu dari teman sebangkunya membuat Pyo kesal, “Kasian banget Ibu kamu nggak dapet hadiah. Yola jahat sama Ibu! Bwek! Bwek! Bwek!”

Tidak terima dikatai, Yola menjulurkan lidah sambil mengacungkan gunting ke arah Pyo. Si anak lelaki pun tidak mau kalah, ia melakukan hal yang sama karena kesal. Seandainya ini adalah film, mungkin sudah ada kilatan berwarna kuning seperti petir di antara kepala mereka pertanda keduanya sedang marah.

Miss Mary sebagai guru langsung melerai kedua muridnya. Perempuan itu langsung mengajak Yola dan Pyo ke Pojok Refleksi, tempat khusus dibuat untuk murid yang melakukan tindakan tidak menyenangkan, di salah satu sudut kelas. Mampus, pikir Yola. Sudah pasti guru kelasnya ini akan melapor ke kedua orangtuanya nanti sepulang sekolah. Demi Tuhan, Yola benci Pyo dan Hari Ibu.


Yola pulang ke rumah dengan kesal karena kartu ucapan hari ibu buat dirinya sendiri belum jadi gara-gara berantem sama Pyo. Bibirnya manyun seperti bebek, tidak ada senyum sama sekali. Biasanya, Yola akan senang hati jika pulang dijemput Ayah karena dia bisa putar lagu kesukaannya di radio mobil Ayah. Mereka akan bernyanyi sepanjang jalan dengan jendela mobil terbuka lebar.

“Ih, anak Ayah kayak bebek deh.”

Gadis itu semakin memanyunkan bibir pertanda makin kesal.

“Besok Ayah mau playdate sama Papanya Pyo, lho, dek. Mau ikut nggak?”

“Ayah!” Baru Yola menyahut, “Udah gede kok masih main-main! Sama papanya Pyo pula. Ayah gak temen sama Yola, nih!”

Mobil berhenti saat lampu lalu lintas di depan mata menunjukkan warna merah. Si Ayah melirik anak perempuannya di kursi sebelah yang masih manyun karena kejadian di sekolah yang tidak menyenangkan tadi. Dielusnya kepala sang putri yang rambutnya diikat dua, masih rapi seperti tadi pagi.

“Dek Yola masih bete sama Pyo.”

Karena tidak kunjung ada jawaban dari Yola, Ayah mencubit pipi gembil si gadis untuk mencuri perhatiannya.

“Masiiiiiih.”

“Kenapa?”

“Kartu Hari Ibu punyaku belum jadi, Ayaaaaah.”

“Cieeee,” digodanya Yola dengan menjawil hidung anak semata wayangnya itu, “ada yang mau kasih hadiah buat Ibu.”

“Ih, kartu ini buat adek, kok!”

“Kok buat adek?”

“Emang nggak boleh?”

Ayah menunda jawab pertanyaan Yola karena lampu lalu lintas berubah hijau. Tangannya yang semula menjawil pipi Yola bergerak memindahkan persneling mobil kemudian fokus mengemudi. Atmosfir di dalam mobil tidak semenyenangkan biasanya karena tuan putri masih ngambek.

“Nggak ada yang larang juga, sih, adek bikin kartu buat diri sendiri.” kata Ayah kemudian, matanya masih terfokus dengan jalanan di depan yang cukup lancar hari itu. “Cuma ayah penasaran, kenapa adek mau bikin kartu hari ibu buat adek sendiri?”

Si putri semata wayang menyilangkan kedua tangan di dada. Gestur tersebut menandakan ia akan berbicara panjang lebar. Kepalanya geleng-geleng membuat dua ikatan rambutnya bergoyang pelan. Hal tersebut mengingatkan si Ayah dengan gantungan kucing yang digantung di jendela kamar Yola ketika terkena angin.

“Adek juga mau ngerayain hari ibu.”

“Kenapa?”

“Karena dapat hadiah. Di TV adek lihat, ibu-ibu dapat hadiah cokelat.”

Ayah membelokkan setir mobil ke arah gedung perkantoran. Yola sejenak takjub dengan betapa tingginya gedung-gedung yang ada di sekelilingnya.

“Terus, adek juga mau dapat hadiah?”

“Iya!” Yola melepaskan fokusnya dari gedung bertingkat kembali pada obrolannya dengan sang ayah, “Kan enak, dapat hadiah lagi selain hari ulang tahun. Jadi kadonya banyaaaaak!”

Kedua tangan kecil Yola bergerak membentuk segitiga seperti gunung. Wajahnya bersemu merah muda dan senyum kembali menghiasi wajah bulat kecilnya. Tuan putri sudah kembali ceria hanya dengan memikirkan jumlah hadiah ekstra yang bisa ia dapat kalau dirinya juga merayakan Hari Ibu.

“Tapi jadi ibu berat, tau, Dek.”

“Masa?”

“Iya. Tuh, lihat Ibu.”

Ayah menunjuk perempuan dewasa yang berjalan ke arah mobil mereka dengan satu tangan memegang ponsel di telinga, tangan satu lagi membawa tas kulit hitam berukuran besar yang terlihat cukup berat. Perempuan tersebut membuka pintu belakang mobil kemudian, wajahnya ditekuk sembari berbicara dengan seseorang di telepon. Hubungi lagi besok, ya. Ucapnya, kemudian bersandar pada kursi penumpang dengan hembusan napas lelah setelah sambungan telepon terputus.

“Capek tau kak, jadi Ibu. Liat deh, mukanya masih ditekuk gitu sore-sore. Untung cantik.”

“Apaan sih, Yah.” balas si perempuan yang lebih dewasa. Tangannya terjulur ke depan bermaksud meraih pipi putrinya yang duduk di kursi sebelah pengemudi, “Gimana sekolahnya, anak ibu sayang?”

“Hmm bete, tadi berantem sama Pyo.”

“Pyo?” si Ibu bertanya, menoleh ke Ayah, “Anaknya temen kamu?”

Ayah mengangguk dengan wajah menahan tawa. “Biar dek Yola deh yang cerita.”

Sepanjang perjalanan pulang dihabiskan dengan Yola yang bercerita tentang kejadian di sekolah dan perihal kartu hari ibu. Si Ibu terkikik geli mendengar cerita putrinya.

“Ngasih hadiah kartu ke diri sendiri tuh bentuk sayang sama diri sendiri, kan? Bagus tuh, Dek.”

“Kan!!!!” Yola bersemangat setelah mendengar komentar Ibunya, “Ibu bilang gitu berarti bagus!”

Si Ayah menimpali ucapan Yola dengan tawa renyah, “Trus, adek tetep mau jadi Ibu biar dapat hadiah setahun dua kali?”

Gadis kecil itu mengangguk dengan semangat. “Iya dong. Cita-cita aku jadi Ibu aja deh, kayak Ibu. Keren dan dapat banyak hadiah!”

Ayah menyalakan radio di mobil dan memutar lagu-lagu kesukaan putrinya, membuat gadis enam tahun itu jadi kegirangan dan hampir loncat kalau tidak ingat tubuhnya terhalang sabuk pengaman. Perjalanan menuju rumah dihabiskan dengan Yola yang sibuk menyanyi dan bertepuk tangan. Si Ayah tersenyum melihat putrinya kembali riang.

Dari kaca spion tengah, si Ayah menatap istrinya yang juga tersenyum dengan penuh arti. Biarlah si kecil mereka punya harapan dan cita-cita untuk bahagia dengan versinya sendiri. Toh, seiring dengan berjalannya waktu, Yola juga akan tumbuh dewasa dan mungkin sudut pandangnya akan berubah seiring berjalannya waktu.

“Dek, besok ayah mau main sama papanya Pyo.”

“Main di mana?” tampaknya Yola sudah lupa dengan cerita di sekolah karena barusan ia menyanyi dengan riang gembira.

“Di Gym, biar ototnya makin gede.”

“Jangan! Nanti Ayah berubah jadi Hulk!!!!!”