A nest of my self-indulgent writings.

You and I against the world, katanya.

Kami adalah sepasang manusia yang nggak sengaja bertemu saat kabur dari gegap gempita dunia ini. Sebut kami anak cucu Adam dan Hawa yang jenuh akan ingar bingar kehidupan, lalu memilih untuk berbagi lubang gelap nan sempit yang jauh dari kehidupan manusia lain untuk merasakan sunyi.

Tempat persembunyian kami kecil, hanya cukup diisi oleh kami berdua dan sepi sebagai orang ketiga. Tapi itu sudah lebih dari cukup. Kami cuma butuh sunyi, toh imajinasi dalam kepala sanggup untuk melanglang buana ke mana saja. Mahalnya tiket ke Utopia sanggup kami beli; hanya modal sepi dan imaji, punggung bertemu punggung, kepala saling bersandar, kami siap untuk terbang.

You and I against the world, katanya.

“Hari kita mau ke mana, Tuan Putri?” tanyaku pada sosok yang punggungnya bersandar pada milikku.

“Utopia nomor tujuh belas, yuk?”

“Meluncur!”

—-

Tuan Putri bilang, Pangeran di negeri antah berantah suka menghabiskan hari ulangtahun dengan mengadakan pesta besar dan mengundang seluruh rakyatnya. Ia akan diarak dengan kereta kuda, mengenakan jubah beludru mahal dengan mahkota yang berkilau di atas kepala. Ketika ditanya apakah aku mau yang seperti itu, cuma kubalas dengan gelengan.

“Lho, kenapa?” Tanya si Tuan Putri.

“Pangeran di Utopia nomor tujuh belas lebih suka berdoa di atas rumah pohon, sebelum dia tiup lilin dan dicium pipinya sama Tuan Putri.”

“Oke.” Balasnya, “Pangeran mau kue seperti apa?”

“Kue yang nggak kayak kue. Kayak yang lagi terkenal di internet itu, lho.” Aku menunjukkan sebuah video kaleng soda yang ketika dipotong, isinya kue cokelat. “Mau yang begini.”

Ditepuk-tepuknya pipiku dengan lembut, “Baik, pangeran. Apapun untuk pangeran yang berulang tahun.”

Dia nggak bercanda soal kue yang tidak berbentuk kue— namun sebenarnya kue. Tepat pukul dua belas malam, dia dan teman-temanku memberikan kejutan yang sesungguhnya bikin aku khawatir tetangga akan protes karena teriakan dan bunyi terompet yang amat berisik. Rasanya dunia ramai sekali malam itu.

“Buminya ramai dulu, nggak apa-apa ya?” Bisik Tuan Putri di sebelahku saat kami sedang siap-siap pose untuk foto bersama, “Anak kesayangan Bumi ada yang tambah umur, hari ini. Makanya beliau kesenengan, lompat-lompat sampai gaduh dan nggak sengaja bikin pangerannya kebangun.”

Malam itu, ramai nggak membuatku ingin kabur dan mencari lubang gelap untuk sembunyi. Malam itu pula, aku nggak takut tersesat di tengah keramaian. Toh, ada Tuan Putri yang mengenggam tanganku dan tentunya selalu siap membawaku kabur mencari sepi yang selalu kurindukan.

“Selamat ulang tahun,”

Ckrek.

Keesokan paginya, aku terbangun oleh banyaknya notifikasi dari ponsel. Nampaknya semalam lupa di-silent. Di sebelah ada Tuan Putri yang masih terlelap dengan tangan kiriku sebagai bantal. Pelan-pelan aku bangkit dari tidur, supaya dia nggak bangun dari tidur cantiknya, kemudian kuraih kacamata dan membuka jendela. Matahari masih malu-malu menyapa, mungkin baru bangun juga dan belum cuci muka seperti aku.

Di sebelah jendela ada meja belajar yang dirubung semut karena sisa kue semalam yang belum habis. Umpatan hampir saja keluar dari mulut, sampai aku melihat foto polaroid yang diambil semalam. Ada aku dikelilingi teman-temanku, dan Tuan Putri di sisi kiri mencium pipiku. Ah, dunia yang ramai nggak semenyebalkan itu ternyata.

Biar saja semut-semut makan sisa kue semalam, anggap saja rejeki sarapan buat mereka. Lebih baik aku sikat gigi, cuci muka, dan— kembali ke alam minpi sama Tuan Putri di atas kasur.

Selamat ulang tahun, Aku.

—-

“Kepada pangeran di Utopia nomor tujuh belas, kepada pangeran di Utopia nomor tujuh belas.”

“Hm?”

“Bangun, yuk?” Suara Tuan Putri lembut sekali, rasanya mau balik ke alam mimpi saja. Eh, tapi dunia nggak kalah seru karena eksistensinya.

“Hm? Males.”

“Yah, jangan dong. Katanya mau tiup lilin di rumah pohon?”

Ah, apalah kuasaku untuk menolak.