Bagian 158.

Namanya Book Kasidet. Seorang anak lelaki yang tumbuh di keluarga kaya. Ayah dan ibu memanjakannya dengan begitu banyak kasih sayang. Ayah selalu membelikan mainan dan buku yang Ia suka, sementara sang ibu selalu memasak makanan enak dan menemaninya tidur.

Selama hampir sepuluh tahun Book selalu berpikir jika hidupnya sangat sempurna. Seperti kehidupan para pangeran di buku yang Ia baca. Tidak sampai pada kemudian hari, Book bertanya-tanya mengapa ibu selalu menemaninya tidur. Memangnya ayah tidak pernah kesepian? Lagipula, dirinya sudah beranjak dewasa. Malu rasanya jika teman-teman mengetahui dirimu masih tidur ditemani ibu.

Walaupun begitu, Book tidak pernah bertanya maupun menyuarakan protesnya. Ayah tetap membelikannya buku sepulang kerja dan ibu tetap memasak kue stroberi kesukaannya.

Tepat satu hari setelah hari ulang tahunnya yang ke sebelas, Book ingin mengutarakan perasaannya. Ia ingin mencoba untuk tidur sendiri tanpa dipeluk ibu ketika malam. Namun, ketika sepasang kakinya melangkah untuk mencari ayah dan ibu, Ia malah mendapati kedua bibinya tengah mengobrol di kamar tamu. Pintunya tidak ditutup.

“Kasihan Book, ya. Mau sampai kapan kakak sama kakak ipar bersandiwara?”

“Iya, aku juga kasihan sama Book. Kalau aku kayaknya malah nggak sanggup buat pura-pura di depan anakku.”

Apa?

Apa yang sedang mereka bicarakan?

Ibu bilang, Ia tidak boleh menguping pembicaraan orang dewasa. Tidak baik. Namun, Book sudah sebelas tahun. Bukankah artinya Ia juga beranjak dewasa? Jadi, Ia memutuskan untuk tetap di sana. Mendengarkan semuanya.

Ayah dan ibunya menikah bukan berlandaskan cinta. Memang menikah itu bukan perkara menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga. Tetapi, apa artinya dua keluarga bersatu apabila kedua insan yang mengucapkan janji suci bahkan tidak saling mencinta?

Book tahu jika ayah dan ibu menyayanginya. Namun, Ia pun tahu jika dirinya lahir bukan karena perasaan cinta yang menjembatani keduanya. Dirinya terlahir karena ekspektasi keluarga besar serta orang sekitar.

Rasanya seperti disambar petir di siang hari yang cerah. Book bahkan tidak berpikir untuk menangis atau marah kepada orangtuanya karena selama ini mereka hanya berpura-pura. Ia justru diam seribu bahasa. Tidak ingin bicara tanpa mengutarakan alasannya pada ayah dan ibu. Berkata jika Ia ingin tidur sendiri dan selalu mengunci dirinya di kamar.

Book hanya keluar untuk mengambil makan, membawanya ke dalam kamar, mencuci peralatan makannya sendiri, dan pergi ke sekolah. Kedua orangtuanya jelas merasakan perubahan drastis anak semata wayangnya, tetapi mereka berpikir jika Book hanya sedang berada dalam fase menuju remaja.

Menghabiskan waktu di dalam kamar untuk membaca semua buku yang Ia punya dan menciptakan dunianya sendiri, melupakan segala sandiwara yang dimainkan oleh ayah dan ibu.

Hingga suatu hari, Ia terbangun karena keributan yang terdengar dari keluar kamar. Book sesaat berpikir jika ada maling yang masuk ke dalam rumahnya, Ia lekas melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.

Yang didapatinya adalah sang ayah beserta beberapa pelayan di rumah mereka terlihat panik luar biasa. Book melihat ibu berada di dalam gendongan ayah, tidak sadarkan diri. Ia ketakutan setengah mati, tetapi tidak bertanya apapun. Hanya mengikuti ayahnya ke rumah sakit untuk mengantar ibu.

Book tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dirinya yakin jika ada lebih banyak hal yang disembunyikan oleh ayah dan ibu. Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang hingga ketika mereka tiba di tujuan, ketakutan Book menjadi nyata.

Ibunya tidak terselamatkan lagi. Ibunya telah tiada. Ibunya pergi tanpa Ia tahu apa penyebabnya.

Ayahnya menangis, tetapi diam seribu bahasa. Tidak menjawab ribuan pertanyaan yang dilontarkan oleh Book. Hingga seorang dokter menghampiri mereka, mengatakan jika penyakit jantung ibunya sangat parah.

“Ayah tahu?” Tanya Book setelah menghapus air matanya, menatap ayahnya.

Sang ayah masih enggan bersuara. Hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan anak semata wayangnya.

“Ayah tahu, tapi ayah nggak pernah bilang sama Book?!” Bicara dengan nada tinggi kepada orangtua itu tidak baik, tetapi Book seolah tidak ingin mengingat hal itu. “Ibu juga nggak pernah bilang sama Book? Kenapa kalian semua punya rahasia, kenapa kalian semua bohong sama Book? Sebenarnya, kalian sayang sama Book nggak, sih? Atau jangan-jangan Book bukan anak ayah sama ibu?”

“Book Kasidet!”

Ayahnya akhirnya berseru ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan anaknya. Namun, Book menulikan telinganya. “Book tahu semuanya ayah. Book tahu kalau ayah sama ibu nggak sayang satu sama lain. Book tahu kalau ayah sama ibu cuman pura-pura di depan Book. Kenapa, ayah? Bahkan sampai ibu sekarang sudah diambil Tuhan, kalian nggak pernah jujur sama Book?”

Sang ayah kembali terdiam. Dikejutkan oleh kenyataan sang istri meninggalkannya saja sudah sangat menyakitkan, ditambah lagi sang anak mengetahui apa yang selama ini mereka sembunyikan.

“Book, dengar ayah dulu.”

Wajah anak lelaki itu sudah basah, dipenuhi air mata, tetapi ekspresinya terlihat begitu marah. Menatap ayahnya dengan kecewa.

“Book nggak mau dengar ayah. Ayah jahat. Ayah yang bikin ibu pergi. Ayah yang bikin Book nggak bisa ketemu lagi sama ibu. Ayah pembohong, pasti ayah yang suruh ibu buat bohong. Ayah jahat. Book benci sama ayah!”

Sejak saat itu, kehidupan Book berubah seratus delapan puluh derajat.