Bagian 177.

“Halo, Book!”

“Wah, akhirnya bisa ketemu juga sama Book!”

“Ini dia calon anak emas kita!”

Wajah Book memerah dan Ia tersenyum malu ketika riuh suara tiga pengurus divisi artistik Rhetorical menyambut indera pendengarannya, sementara sosok yang tadi memberikan sekotak pocky banana hanya tersenyum.

Walaupun Book tidak begitu banyak memiliki teman dekat di universitas, tetapi wajah-wajah di hadapannya cukup familiar. Setiap kali Ia menyempatkan diri untuk menonton pertunjukan teater Rhetorical, mereka pasti ada di sana.

Tay Tawan—sutradara, Namtan—stage manager, dan Off Jumpol—koor talent. Dan tentu saja si pemilik mata serupa rubah, Force si asisten sutradara.

“Kita santai aja, ya! Nggak bakalan serius serius banget, kok.” Ujar Namtan seraya tersenyum. “Oh iya, Book sebelumnya udah pernah nonton Rhetorical belum? Kalau udah, ceritain dong gimana dan mungkin, kesan pesannya.”

Book mengangguk dengan semangat sebelum membuka mulutnya untuk memulai cerita. “Lumayan sering! Event tahunan, pasti nonton. Terus beberapa pertunjukan kecil di event non-teater juga. Sebelumnya pernah nonton pertunjukan teater lain, tapi yang paling berkesan dan style-nya cocok sama selera aku sih Rhetorical. Apalagi mostly Rhetorical mengadaptasi dari classic story and I simply love it.

Setelahnya, suara bersahut-sahutan dari Namtan, Tawan, dan Jumpol menanggapi jawaban yang diberikan oleh Book. Ia tersenyum lebar dan sesekali menyahuti tanggapan para pengurus divisi artistik inti Rhetorical itu.

Sesaat, matanya sedikit bergulir ke arah ujung dimana Force duduk. Ia tidak bersuara sejak tadi, tetapi Book berani bersumpah jika lelaki itu kini tengah menatapnya. Entah bagaimana menjelaskannya, seolah-olah lelaki itu memusatkan seluruh atensinya untuk seorang Book Kasidet.

“Terus nih, apa yang bikin kamu tertarik masuk Rhetorical dan kenapa baru join tahun ini? Apa sebelumnya masih ragu atau gimana?”

Book mengedipkan sepasang matanya beberapa kali untuk mengusir rasa salah tingkahnya yang kerap kali datang ketika Ia melihat gerak-gerik Force sebelum Ia berdeham untuk menjawab pertanyaan sang sutradara.

“Yang pasti karena konsep secara luas dan style-nya yang bikin tertarik. Awalnya aku cuman mau jadi penonton setia, tapi lama kelamaan penasaran juga gimana sih rasanya ada di balik layar dan di atas panggung. Selain itu karena teman dekatku juga masuk Rhetorical,” Book terkekeh ketika mengingat kedua temannya. “Tahun kemarin kebetulan sempat sibuk ikut lomba story telling sama fotografi, jadi takut nggak bisa komitmen penuh dan nggak konsisten. Tahun ini semoga aja bisa full komitmen bareng Rhetorical.”

Tawan bertepuk tangan, kemudian tersenyum senang. “Wah, ini nggak salah pilih. Udah yuk, langsung bikin project Book jadi karakter utama.”

Sontak ruangan tersebut dipenuhi tawa, Book menyangkal perkataan Tawan dengan malu-malu sebelum Ia mencuri pandang ke tempat Force.

Lelaki itu masih menatapnya, kali ini dengan senyuman yang sama dengan hari pertama mereka bertemu sekaligus hari dimana Book jatuh cinta kepadanya.

“Terakhir!” Jumpol menepuk setumpuk kertas yang berada di depannya. “Coba baca sebaris narasi di sini plus baca dialog bareng… Bareng siapa, ya? Bareng gue?”

Namtan memutar bola matanya kemudian memukul meja dengan pelan. “Lo inget gak, sih, waktu itu lo ngusir Book pas dia keliling Rhetorical terus lo pacaran di depannya? Gue kalau jadi dia mah ogah baca dialog sama lo.”

Mereka berakhir saling berdebat hal tidak penting dan saling mengejek sementara Book hanya tertawa dan Tawan memijat pelipisnya.

“Gue mau dong baca dialog bareng sama Book.”

Satu kalimat akhirnya keluar dari mulut Force, membuat Book sontak menatap ke arah lelaki itu. Seketika, pandangan mereka bertabrakan dan saling mengunci satu sama lain.