Bagian 178 — Lembar Naskah.

“Satu dekade berlalu dengan begitu cepat, ya?” Ujar lelaki itu dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Namun, tiada satupun orang yang dapat mengartikan senyumannya. Bahagia, kesedihan, penasaran, rindu, semuanya menjadi satu.

Sementara itu, lelaki yang berada di hadapannya hanya tertawa dengan nada yang sarkastik. “Aku kira ragamu telah ditelan oleh bumi dan jiwamu terbang bebas di angkasa.”

“Kuharap itu bukanlah sebuah doa,” helaan nafas panjang dan senyumannya tidak luntur. “Karena aku, sejauh apapun melangkah dan segelap apapun malam, tidak pernah berhenti berharap untuk dipertemukan denganmu lagi. Bahkan walaupun kamu tidak pernah menungguku lagi atau aku bukanlah alasan bahagiamu lagi.”

Tawa sarkastik, lagi. Namun, kali ini wajah lelaki itu tertunduk. Entah menghindari kontak mata atau menyembunyikan air mata.

“Satu dekade kamu menghilang entah kemana, satu dekade pula aku seperti orang gila.” Suaranya tercekat di tenggorokan. “Jangan membuatku semakin gila. Aku benci menunggu, tetapi nyatanya aku tetap menunggumu. Aku benci kenyataan tentang mengapa aku tidak pernah bisa melupakan atau berhenti berharap. Perasaanku masih sama dengan saat pertama kita bertemu. Memangnya kamu sudi untuk bertanggung jawab atas penderitaanku selama satu dekade ini?”

“Bahkan jika kamu menyuruhku untuk lenyap sebagai bentuk penantian dan penderitaanmu selama ini, aku akan melakukannya.”

“Kenapa kamu harus lenyap sendirian jika tujuanmu ke sini untuk bertemu denganku? Bawa aku pergi denganmu. Melebur dengan bumi dan terbang ke angkasa. Ayo, lenyap bersama.”