LATIBULE : BAGIAN 2

Jika ditanya apa kebahagiaan terbesar seorang Nata, tanpa pikir panjang Ia pasti akan menjawab berada di dalam rumah nomor 34 bersama papa, papi, dan Nara. Oh, tidak lupa Paofeii si kucing kesayangan mereka dan ikan-ikan yang berada di kolam belakang rumah.

Nata merupakan anak sulung di keluarga ini, tetapi orang-orang sering mengira jika Ia adalah anak bungsu. Papa dan papi selalu memanjakannya dan Nata dengan senang hati menerimanya. Sementara Nara lebih mandiri dan selalu mengerang kesal ketika dipanggil adik (papi adalah pengecualian).

“Nata, Paofeii udah dikasih makan?!”

Itu suara papa. Sosok lelaki dewasa yang seringkali menomorsatukan kucing gendut bermata besar daripada kedua anaknya.

“Sudah, papa!” Nata sedikit berteriak karena saat ini Ia berada di dekat halaman belakang, bermain bersama Paofeii. Ia memajukan bibirnya sedikit, lalu mengelus kepala kucing itu. “Papa tuh selalu nanyain kamu udah makan belum, tapi aku gak ditanyain.”

Nata membuka bungkus cat treat secara perlahan sebelum menyodorkannya kepada Paofeii yang kini mulai melahap makanan kesukaannya.

Ketika Nata sedang sibuk mengomeli Paofeii yang hampir menggigit jarinya, seseorang berjalan ke arah Nata dan meletakkan tangannya di atas pucuk kepala anak itu. Nata nyaris melonjak kemudian tersenyum lebar ketika mendapati papi yang menghampirinya.

“Papi!”

Nah, yang satu ini sosok kesayangan Nata. Setiap kali sepasang mata Nata menangkap keberadaan papi, tanpa pikir panjang Ia akan menerjang lelaki itu dengan pelukan. Papi hanya terkekeh pelan ketika Nata mengusal di dalam pelukannya.

“Kakak kenapa sendirian di sini?” Papi menyisir surai hitam selegam malam Nata dengan jemarinya.

Nata menunjuk Paofeii yang kini berjalan melalui mereka dan masuk ke dalam rumah. Pasti kucing itu sekarang mengantuk dan ingin tidur. “Nata main sama Paofeii, terus kasih makan.”

Papi tersenyum dan mendaratkan satu kecupan di pucuk hidung Nata. “Paofeii udah makan, Nata-nya udah makan belum? Makan dulu, yuk! Papi masak tahu teriyaki.”

Sepasang mata Nata berbinar kemudian Ia meloncat girang sebelum menarik lengan papi seraya berjalan ke dalam rumah. “Ayo, papi! Nata lapar, Nata lapar!”

Papi hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat tingkah si sulung. Ia hanya mengikuti Nata yang berjalan menuju ruang makan. Anak itu enggan melepaskan genggaman tangannya pada lengan papi barang satu detikpun.

“Eh, adek udah bangun?”

Suara pintu kamar terbuka, papi menghentikan langkahnya, begitu pula dengan Nata. Ia memutar bola matanya dengan malas ketika melihat Nara dengan wajah khas orang bangun dari tidur itu mengangguk dan menghampiri mereka.

Bagi Nata, Nara adalah rival nomor satunya dalam merebut perhatian dan kasih sayang papi. Si bungsu itu selalu saja berhasil merebut perhatian papi untuknya.

Nata beringsut mendekat ke arah papi, memeluk lengannya, dan menaruh dagunya di atas bahu lelaki itu. Menatap sengit ke arah Nara yang kini mengangkat sebelah alisnya, heran dengan tingkah Nata.

“Lo kenapa sih, Nat?” Tanya Nara seraya menjulurkan tangannya untuk memukul pelan lengan Nata. Papi tertawa pelan ketika merasakan si sulung menyembunyikan wajah di perpotongan lehernya.

Nata menggelengkan wajahnya sebelum berpindah untuk melingkarkan sepasang lengannya di pinggang papi, memeluknya dari belakang. “Papi punya Nata.”

“Papi punya papa lah!”

Rival Nata datang satu lagi.