LATIBULE : BAGIAN 9.2

Book nyaris terlonjak dari tempat tidur Nata ketika melihat jam di meja nakas anak sulungnya itu menunjukkan pukul tujuh, nyaris panik ketika tidak mendapati si sulung di sebelahnya. Kemudian Ia menyadari jika hari ini sudah memasuki akhir pekan.

Tanpa berpikir dua kali, Ia segera melangkah keluar dan mendapati suasana rumah yang begitu sepi. Tidak ada suara keributan dua anaknya yang berebut channel televisi atau suara dentingan piring dan sendok dari ruang makan.

Apakah Nata ada di kamar Nara?

Lelaki dewasa itu justru melangkahkan sepasang kakinya ke arah ruang tengah, matanya masih setengah terpejam karena masih mengantuk. Baru saja tiga langkah, Ia menabrak seseorang di depannya. Book mengaduh karena dahinya terantuk cukup keras dengan bahu sosok itu.

“Aduh, sayang. Maaf maaf, sakit ya?”

Tiba-tiba rasa kantuknya hilang ketika Ia mendengar suara lembut sang suami lengkap dengan usapan lembut di dahinya.

Book lekas mengusap matanya dengan punggung tangan sebelum memalingkan wajahnya dan berdeham pelan. “I-iya, nggak apa-apa. Akunya aja tadi yang nggak hati-hati.”

Kemudian hening. Baik Force maupun Book, keduanya sibuk hanyut dalam pikiran masing-masing. Merutuki diri sendiri dalam hati karena teringat akan pertengkaran mereka kemarin yang mengejutkan kedua buah hati mereka.

Oh, Nata dan Nara!

“Lihat kakak sama adek, nggak?” Tanya Book seraya menggerakkan sepasang bola matanya kesana kemari, berusaha mencari eksistensi kedua anaknya di penjuru rumah.

Force menggelengkan kepalanya sebelum ikut celingukan. “Nggak, aku baru bangun. Kaget udah jam segini, tapi nggak ada suara Nata sama Nara rebutan remote. Di kamar Nara ada, nggak?”

Book mengangkat kedua bahunya sebelum memberanikan diri untuk menggenggam tangan sang suami, kemudian menariknya untuk menjauh dari ruang tengah. “Mungkin, main sama Paofeii di belakang. Kita cari, yuk?”

Dua pasang kaki itu melangkah dengan perlahan, diam-diam menikmati kehangatan yang tercipta hanya karena tangan mereka yang saling menggenggam satu sama lain. Baru dua malam mereka tidak berbagi peluk di atas ranjang, tetapi rasanya seperti dua tahun. Sibuk menyesali pertengkaran sebab salah paham yang tercipta, saling melepas rindu dalam diam.

Langkah keduanya terhenti ketika mereka memasuki ruang makan. Mendapati meja makan yang tersusun dengan rapi, dua piring nasi hangat dan ayam kecap yang dimasak Book bersama Nata kemarin lengkap dengan dua gelas minuman segar.

Sepasang suami itu saling bertatapan, mencoba untuk menerka-nerka apa yang dilakukan oleh kedua anaknya ketika mereka tertidur dengan lelap. Tanpa mengeluarkan suara, mereka melangkah mendekat ke arah meja makan dan menyadari jika di tengah-tengah meja ada selembar kertas dengan tulisan yang sangat mereka kenal.

Force meraih kertas di atas meja itu, membacanya bersama dengan Book. Senyumnya mengembang ketika membaca rentetan kalimat yang ditulis oleh kedua anaknya sebelum Ia sedikit terbelalak karena mendengar isakan sang suami.

Tanpa berpikir dua kali, lekas Ia meraih tubuh lelaki yang Ia cintai itu ke dalam pelukan. Membuang semua kemarahan dan egonya, Force menghujani pucuk kepala Book dengan kecupan.

“Sarapan dulu, yuk? Anak-anak pasti bangunnya pagi banget buat siapin sarapan. Sekalian nunggu mereka pulang, terus nanti kita piknik, ya.”

Force tersenyum seraya mengangkat dagu suaminya, menyeka air mata yang membasahi wajah itu sebelum Ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir sang suami.

“Aku sayang kamu.”