Apa kabarmu?

Alina, yang dulu terkasih,

Apa kabarmu? Kembali kuteringat pada dirimu saat membuka galeri berisi potongan-potongan pesan yang kita pertukarkan pada awalan tahun lalu.

Tak terasa setengah tahun berlalu semenjak pegatnya jalinan pertemanan kita, apa kabarmu? Maaf aku harus menyudahi semuanya. Perlu kamu tahu, mengakhirinya dengan pahit bukan berarti aku melupakan semua kenangan, jasa dan rasa yang pernah kita bagi. Aku memutuskan bukan atas alasan benci, namun karena aku memang sudah tidak bisa lagi.

Sedikit sulit rasanya untuk kembali menulis untuk dan atas kamu; setengah setahun berlalu dan aku masih sukar menulis setelah mengetahui sumber surat terakhirmu, apa kabarmu? Sungguh, sebenarnya tak masalah bila memang bukan kamu penulis dari beberapa paragraf terakhir pada surat tersebut—toh semua doa yang kamu rapalkan sudah terkabul jua—namun mengetahui kebenarannya membuatku.. terlarut pada berbagai macam pertanyaan yang mungkin tak akan kudapat jawabannya.

Sejujurnya aku tak tau lagi harus menuliskan apa selain untuk bertanya, apa kabarmu? Apa kamu masih bermagang di kantor dengan satpam yang menyebalkan? Apa rencana perjalananmu dengan bapak/ibu dosen digagalkan pandemi? Apa kamu sudah meraih gelar? Apa kamu masih mengikuti beberapa serial dan film terkini? Apa kamu masih mengingat aku setiap kamu melihat langit, kucing, mungkin cicak, penjaga Gotham dengan jubah dan kostum konyol, band indie-pop yang kuperkenalkan kepadamu dan mungkin dewa yang tidak beranggotakan sembilan belas orang, serta penyanyi berambut ikal dengan nama panggung pendudukan masa kolonial? Apa kamu masih lelah dengan segala macam peristiwa yang terjadi di dunia? Maaf jika beberapa hal yang kusebutkan salah, aku hanya mendasari semua pertanyaan pada ingatanku. Hampir semua potongan pesan pun ruang obrolah sudah kuhapus, bertepatan dengan pegatnya jalinan pertemanan kita. Kendati demikian bukan berarti aku membencimu—benci adalah kata yang jauh dari benakku saat kamu terlintas dipikiran—hanya saja sedikit pahit sungutku dan bergema telingaku saat mendengar namamu, dahulu. Sekarang, lebih setengah tahun dan berlalu kurasa aku sudah cukup ikhlas atas semua yang terjadi; baik sehubung akhir dari jalinan asmara maupun pertemanan kita.

Mungkin barang sedikit tulisanku kepadamu kali ini jika dibandingan dengan lembar-lembar surat terdahulu, namun pertanyaanku tetaplah satu: apa kabarmu? Kuharap kamu masih hidup, sehat dan baik-baik saja; tidak pun tak apa. Ketahuilah Alina, semua doa yang pernah kurapalkan dahulu, masih berlaku hingga saat ini juga. Sekiranya kamu malas untuk kembali membuka sepucuk surat keparat penuh kecemburuan itu, izinkan aku untuk kembali merapalkan bait-bait do’a yang beberapa kupinjam dari Nadin Amizah: Semoga kamu selalu diberi yang terbaik. Semoga kamu selalu diberi ketenangan dan matamu dihindarkan dari tangis tak berarti. Semoga kamu tidak tenggelam dan sesak dalam pikirmu, serta hilanglah semua pikiran dan prasangka yang mengganggu tidurmu. Semoga mimpi buruk tak datang menghampirimu. Semoga tidak ada cicak usil yang mengganggumu. Semoga kamu selalu mencintai dirimu sendiri dan terhindar dari rasa sesal atas perbuatan dan perkataanmu, serta semua kesempatan yang kamu lewatkan. Dan terakhir, semoga, semoga, semoga, semesta selalu berbaik hati kepadamu dan ringanlah semua beban yang kau pikul di pundakmu. 

Yang dulu tersayang,
Sukab.