Sudah 330 hari semenjak kepergianmu dan—

Sayangku,

Sudah 330 hari semenjak kepergianmu dan aku masih berdiri di tempat yang sama, dan mungkin hanya berpindah sedikit-sedikit, tidak terlalu jauh dari—tak perlu ku jelaskan pun mungkin kamu sudah mengerti.

Sudah 330 hari semenjak kepergianmu dan aku teringat argumen lucu nan semu yang seringkali terjadi diantara kita, berakhir tangis maupun tawa. Sungguh lucu dan menggemaskan, namun hanya dalam kenangan.

Sudah 330 hari semenjak kepergianmu dan kembali aku teringat pada sebuah pertanyaan selewat yang pernah dulu kau tanyakan. “Bagaimana bisa aku tidak mengerti kamu sebagaimana aku mengetahui jawaban-jawaban pada TTS kesukaanku yang terbit setiap hari Minggu pada koran terbitan sebuah perusahaan lesu? Bagaimana bisa aku tidak mengerti kamu seperti aku mengerti cara menafsirkan puisi berbalut sandi, sebagaimana aku bisa mengidentifikasi dan mengklasifikasi jenis-jenis sandi yang digunakan lembaga intelejensi palsu? Bagaimana bisa; aku, seseorang yang seharusnya dijanjikan untuk kamu, lebih memilih untuk menjawab pertanyaan mengenai penciptaan semesta dan sejarah kemerdekaan negara yang sama sekali tidak berkaitan dengan kamu dan aku? Bagaimana bisa aku lebih memilih untuk menyelesaikan sebuah teka-teki yang mungkin sama rumitnya seperti kamu?”

Sayangku, terlambat sudah aku menemukan jawaban untuk pertanyaan pertanyaanmu. Sudah 330 hari semenjak kepergianmu dan aku baru menemukan rangkaian kalimat yang pantas kupakai untuk menadah dan menjawab bertubi-tubi pertanyaanmu, tanpa sepenuhnya menggeser makna yang ada dibenakku.

Sayangku, kamu bukanlah persamaan matematika atau rumus fisika yang perlu untuk dijabar dan diselesaikan satu persatu, satu masalah demi masalah. Kamu bukan hanya sekedar situasi yang perlu untuk diselesaikan tanpa kontemplasi berkepanjangan. Kamu bukan sekedar ide. Aku menyayangimu, dan jika aku masih pantas untuk mengatakannya, aku mencintaimu. Mungkin lebih dari yang kau tahu, mungkin lebih dari siapapun yang pernah kucintai.

Sayang, perlukah aku menekankan dan menjelaskan secara lebih lanjut? Kamu bukanlah sebatas ide dan sumber inspirasi. Memang benar, kuakui kamulah satu dari sekian banyak sumber inspirasiku, tapi kamu bukanlah sebatas itu. Aku mencintaimu sebagaimana kamu adalah dirimu sendiri, dan begitupun kamu kepadaku.

Aku menyayangimu, selalu, hingga akhir hayatku. Aku milikmu, seutuhnya, dan kamulah pemegang takhta pada istana fiktif di kepalaku, walaupun kini beralih dan tiada penghuni di singgasana. Kamu pernah menjadi belahan—separuh jiwaku, dan aku masih menganggapmu begitu.

Sudah 330 hari semenjak kepergianmu dan aku masih di sini, berdiri, sendiri, bersedih, berduka, berkabung, menangis, mengaduh, meratap. Akan tetapi aku harus tetap hidup. Untukku, untukmu, meski pergi sudah separuh jiwaku. Aku, untukmu; selalu, selalu. Selalu.

Maaf, sayang, surat ini kutulis pada pukul tujuh tanpa tahu arah dan kemanakah surat ini akan kutuju. Pukul delapan dan masih aku tak tahu kemanakah harus kusematkan lembaran-lembaran surat beserta karya-karya yang ingin kuberikan. Pukul sembilan dan pada akhirnya aku berdoa: semoga Tuhan berbaik hati, setidaknya, agar surat ini sampai; tepat pada peringatan 330 hari kepergianmu.

Kesayanganmu,
Aku.