Deluna

Chapter 10.

“Oke, Mama. Aku sama Jaehyun udah sampe. Kita di teras ya, nanti bilang aja atas nama Jaehyun Lee. Telepon aku kalau susah nemu tempatnya.”

Klik!

Luna melipat kembali ponsel flip-nya setelah teleponnya dengan Mama selesai. Ia merapatkan outer-nya sambil mengalihkan pandangan menatap hamparan kota Seoul—distrik Gangnam lebih tepatnya—dari teras atas steak house bernama Outback di mall COEX.

Hyunjae duduk di sebelahnya dengan mata terfokus pada ponselnya. Keduanya sama-sama masih mengenakan setelan kerja karena memang habis dari kantor langsung menuju ke restoran ini. Hyunjae dari kantornya menjemput Luna dulu tadi, sedangkan orangtua Luna dari hotel langsung menuju kesini. Hyunjae yang beberapa hari lalu sempat sakit, kini sudah sehat lagi dan akhirnya siap untuk bertemu orangtua Luna.

“Main HP aja, aku dianggurin,” protes Luna ketika menit demi menit berlalu dan Hyunjae masih terlihat fokus pada ponselnya. Tidak ada tanda-tanda Hyunjae akan beralih dari ponselnya.

“Sebentar, Yang. Ini ada email dari vendor, aku balas dulu bentar ya.” Hyunjae menjawab, namun matanya tidak lepas dari layar ponsel. Jari-jarinya sibuk mengetik.

“Ini udah lewat office hour, besok lagi bisa nggak sih?”

Kali ini Hyunjae tidak menjawab. Keningnya sesekali berkerut dengan jari yang masih sibuk mengetik.

Luna menunggu.

Detik ke detik, hingga akhirnya berubah menjadi menit.

“Lee Jaehyun! Aku ngambek nih ya.”

Tepat setelah email-nya terkirim, Hyunjae menekan tombol back hingga ponselnya kembali menampilkan home screen, membuatnya berada dalam silent mode, lalu mengunci ponselnya. Disimpannya ponselnya di saku celananya.

“Iya ini udah, maaf ya? Dua hari absen kerja bikin to-do list-ku kacau, banyak yang kelewat.”

“Apa gunanya di tim kamu banyak orang gitu kalau kamu nggak masuk dua hari aja langsung jadi kacau?”

“Sayang jangan gitu ngomongnya, timku kan masing-masing ada kerjaannya sendiri. Tanpa ditambahin kerjaanku, kerjaan mereka juga udah ribet. Maaf ya, nggak maksud anggurin kamu tadi.”

Wajah Luna melunak. Dia jadi merasa bersalah atas ucapannya tadi. Ini hari pertama Hyunjae kerja setelah dua hari absen karena sakit, seharusnya Luna mengerti hal itu pasti membuat Hyunjae yang perfeksionis menjadi terganggu karena banyak kerjaannya yang menjadi agak keteteran.

“Maafin aku, Yang. Nggak seharusnya aku ngomong gitu soal tim kamu.”

Hyunjae tersenyum lembut sambil mengelus rambut panjang Luna yang tergerai. Diselipkannya beberapa helai rambut Luna di balik telinga. “Iya, nggak apa-apa. Mama udah sampe mana?”

“Sebentar lagi sih harusnya, tadi di telepon bilangnya udah deket.”

“Aku tegang nih.”

“Nggak usah tegang, kata Mama kamu calon menantu idaman.”

“Hahaha masa? Padahal belum juga ketemu Mama.”

“Muka kamu tipe-tipe muka yang bakal disukain sama para mama-mama kayanya sih, Yang. Muka ganteng anak baik-baik gitu.”

Hyunjae tertawa lagi mendengarnya. “Ada-ada aja sih kamu, Na.”

“Ih, aku serius. Ayah juga komentar kok, kamu gagah katanya. Aku kasih tau ya, Ayah itu jarang hampir nggak pernah muji penampilan pacar-pacar aku. Lempeng aja dia biasanya.”

“Berarti emang mantan kamu dulu nggak gagah kali, makanya nggak dipuji sama Ayah.”

“Hei sembarangan. Kamu meragukan selera aku ya?”

“Hehehe bercanda.”

Obrolan ringan Luna dan Hyunjae terus mengalir hingga akhirnya dari kejauhan, Luna mengenali orangtuanya yang sedang berjalan menghampiri meja mereka ditemani seorang pelayan restoran.

Ketika akhirnya orangtua Luna sampai di meja, Hyunjae berdiri dari duduknya, memasang wajah ramah sambil tersenyum—mati-matian berusaha menghilangkan rasa gugupnya—lalu membungkukkan setengah badannya.

“Selamat malam, Om dan Tante. Saya Jaehyun.” Hyunjae memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan orangtua Luna satu-satu.

“Malam, Jaehyun. Yuk, duduk lagi. Jangan tegang ya, santai aja.” Ayah berkata ramah sambil menepuk pelan pundak Hyunjae. “Ini bukan acara lamaran lho, kamu udah tegang begitu.”

Hyunjae tersipu. Tidak menyangka ketegangannya terbaca dengan mudah oleh ayahnya Luna.

“Nggak apa-apa, Om ngerti kok. Om juga dulu tegang waktu pertama kali ketemu sama orang tua mamanya Luna,” lanjut Ayah lagi sambil tertawa.

“Om, Tante, Jaehyun minta maaf ya sebelumnya karena kemarin nggak jadi ikut jemput di bandara.”

“Oh ya, Luna cerita kamu kemarin sempat sakit ya? Sekarang udah sehat lagi kan, Nak? Kalian berdua ini tinggal sendiri nggak sama orangtua, mesti pinter-pinter jaga kesehatan ya.”

“Sekarang udah sehat lagi kok, Tante. Makasih udah diingetin ya, Tante. Kemarin kayanya terlalu capek karena kerjaan lagi sibuk dilanjut ada acara gathering kantor di Jeju.”

“Jaehyun, kamu kok tante lihat nggak seperti di foto ya.”

“Eh—maksudnya gimana, Tante?”

“Kalau di foto kamu ganteng, aslinya kamu ganteng banget. Kenapa mau sama Luna?”

“Mamaaa ih!”

Mamanya Luna tertawa melihat anak semata wayangnya mencebikkan bibir karena kesal. Sementara Hyunjae hanya bisa tersenyum sambil meraih tangan Luna di bawah meja, mengelus telapak tangannya.

“Malahan saya yang takut nggak pantas untuk Luna, apalagi Luna anak satu-satunya. Om dan Tante tentu mau yang terbaik yang jadi pendamping Luna. Mungkin saat ini saya belum jadi yang terbaik, tapi saya nggak akan lelah berusaha untuk jadi yang terbaik buat Luna.”

Jawaban Hyunjae membuat orangtua Luna agak kaget, tidak menyangka pemuda tampan dan santun di hadapan mereka ini bisa mengalirkan jawaban yang jujur tidak dibuat-buat, namun juga tulus. Luna, sama kagetnya seperti orangtuanya. Dia tahu Hyunjae serius dengan perasaannya, tapi tidak menyangka Hyunjae seserius itu dengannya.

“Jaehyun, terima kasih ya? Tolong bantu Om dan Tante untuk jagain Luna. Om percayakan kebahagiaan Luna sama kamu.”

Mata Luna terasa panas, dia sungguh terharu ayahnya bisa sepercaya itu pada Hyunjae dalam hitungan menit di pertemuan pertama mereka. Tangan kanan Luna menggenggam erat tangan Hyunjae—meremasnya kuat-kuat—sambil menahan airmatanya supaya tidak menetes. Hyunjae yang paham situasi, menoleh ke arah Luna dan menggelengkan kepalanya sekilas. Mengisyaratkan supaya Luna jangan menangis.

“Udahan ah sesi wawancaranya. Ayo kita pesen makan, aku laper banget nih.” Akhirnya Luna berusaha mencairkan suasana haru dengan mengangkat tangannya memanggil pelayan.

Setelah menghabiskan beberapa menit meneliti menu yang disajikan, akhirnya Luna melisankan makanan pilihan mereka pada pelayan yang dengan sigap mencatatnya—roasted prime rib untuk Luna dan Ayah, garlic butter grilled shrimp untuk Mama dan classic Australian beef tenderloin untuk Hyunjae. Setelah pelayan meninggalkan meja, Mama melanjutkan obrolan dengan Hyunjae.

“Jaehyun, gimana kerjaannya? Lagi ngerjain proyek apa?” tanya Mama. Ayah ikut menyimak tentu saja, sementara Luna hanya ikut mendengarkan sambil menumpu dagunya dengan telapak tangan. Ia sudah diceritakan duluan oleh Hyunjae di mobil saat perjalanan dari kantor tadi, mengenai proyek baru yang didapat timnya hari ini.

“Kemarin ini ada satu proyek yang baru selesai, Tan. Hari ini kebetulan dapet proyek baru lagi dan lumayan besar. Minta doanya supaya lancar ya, Om, Tante.”

“Wah, proyek apa, Jae?” kali ini Ayah yang bertanya antusias. “Tentu akan Om dan Tante doakan.”

“Perumahan, Om. Di Busan. Jadi lagi ada proyek pembangunan semacam kota mandiri di Jung-gu, saat ini udah ada empat kompleks perumahan siap huni, dan mau dibuat yang kelima. Proyek kelima ini yang saya dan tim bakal kerjain, Om. Akan ada sekitar 60 rumah yang mau dibangun di kompleks kelima ini.”

“Jae, itu proyek luar biasa lho bukan proyek kecil-kecilan. Berarti tim kamu dinilai baik sampe dikasih proyek besar seperti itu. Ada berapa orang di tim kamu, Jae?”

“Lima orang termasuk saya, ditambah satu anak magang. Kasian juga sih sebetulnya Om, anak magangnya belum ada satu bulan tapi tiba-tiba udah dikasih proyek besar.”

“Tapi sejauh ini dia bisa beradaptasi kan? Harus banyak-banyak sabar ya, Jae, kalau ngajarin anak magang.”

“Iya saya setuju, Om, memang butuh kesabaran ekstra ngajarin anak magang. Tapi sejauh ini dia kerjanya baik, adaptasinya juga baik.”

“Udah sih kenapa jadi bahas anak magang deh? Kan intinya lagi bahas proyeknya Jaehyun kenapa jadi ke anak magang?” Luna yang dari tadi hanya mendengarkan, mendadak berceloteh gusar.

Hyunjae tersenyum geli menahan tawa melihat Luna yang langsung bereaksi seperti itu. Mama dan Ayah bingung. “Kenapa sih, Na? Kok sewot sama anak magang? Kamu juga kan dulu sempet magang sebelum jadi staff tetap di kantor kamu,” kata Mama.

Luna tidak menjawab, hanya memutarkan bola matanya sambil melengos. Akhirnya Hyunjae yang memutuskan menjawab pertanyaan Mama, “Soalnya anak magangnya perempuan, Tante. Satu-satunya perempuan di tim saya. Luna suka cemburu padahal saya nggak macem-macem, saya bersikap profesional selayaknya hubungan antara senior dan anak magang.”

Mama dan Ayah langsung tertawa terbahak mendengar penjelasan Hyunjae. Sementara Luna, hanya terdiam sambil memanyunkan bibirnya.

“Sayang, jangan cemburuan gitu dong ah. Mama nggak pernah ajarin kamu untuk jadi cemburuan ke pasangan ya. Kasian Jaehyun kalau kamu cemburuin gitu padahal nggak ada apa-apa.”

“Abisnya anak itu kayanya naksir sama Jaehyun, Ma. Cantik juga lagi anaknya, jadi aku insecure.”

“Naksir aku kata siapa? Kamu gosip darimana coba, ngarang banget,” Hyunjae berkata gemas sambil mengacak pelan rambut Luna.

“Lagian kalau iya dia naksir Jaehyun ya biarin aja, orang kamu pacarnya Jaehyun kenapa kamu yang mesti insecure,” balas Mama.

“Iya nih, Tante. Jaehyun udah berkali-kali bilang gitu tapi Luna nggak percaya.”

“Udah ya udah, jangan bahas itu lagi, please…,” setengah merajuk, Luna menatap ayahnya seperti meminta bantuan.

Ayah hanya berbalik menatap anak satu-satunya itu sambil menahan senyum. Dalam hati Ayah merasa tenang karena Luna sudah berhasil sembuh dari sakit hatinya atas kandasnya hubungan sekaligus pertunangannya dengan Seokjin dulu. Ayah hanya bisa berharap semoga hubungan putri kesayangannya kali ini bisa berjalan lancar dan langgeng.

Ayah berdeham. Sebentar lagi akan melontarkan pertanyaan yang memang menjadi inti dari alasan ingin bertemunya Ayah dengan Hyunjae.

“Nak Jaehyun, kamu benar serius sama Luna ya?” tanya Ayah.

Hyunjae menjawab mantap tanpa ragu, sambil menganggukan kepalanya. “Iya, Om. Saya serius menjalani ini dengan Luna. Walaupun proses dari awal kenal sampai akhirnya resmi pacaran terhitung cepat, tapi hati saya sudah yakin memilih Luna… untuk jadi pendamping hidup saya.”

“Kamu kapan berencana melamar Luna?”

Hyunjae baru akan membuka mulut untuk menjawab ketika Luna lebih dulu menyela dengan nada sedikit panik. “Masih nanti, Yah. Nggak buru-buru yang jelas. Aku sama Jaehyun masih sibuk banget kerja, apalagi Jae baru dapet proyek baru. Dan sekarang keluarga Jae juga lagi fokus ngurus pernikahan kakaknya dulu. Jadi, Jaehyun nggak dalam waktu dekat ini ngelamar aku.” Luna lalu beralih menatap Hyunjae, “Ya kan, Jae?”

Hyunjae mengerjapkan matanya, “Ya sebetulnya aku—”

“Aku belum siap.” Tiga kata yang barusan meluncur dari bibir Luna sukses membuat pacar dan orangtuanya kaget. Luna memutuskan mengulangi lagi kalimatnya, “Aku belum siap. Bukan nggak mau, tapi belum siap.”

Luna menunduk. Jarinya sibuk memainkan sedotan di gelas orange juice-nya. Yang ditakutkan Luna ternyata kejadian, ayahnya betulan menanyakan hal itu pada Hyunjae.

Untuk menenangkan Luna, Hyunjae memberanikan diri menyentuh tangan Luna, menjauhkannya dari sedotan. Digenggamnya telapak tangan Luna sambil berkata pada Ayah dan Mama, “Jaehyun akan melamar kalau Luna udah siap, Om, Tante. Nggak apa-apa, Jaehyun ngerti Luna pasti butuh waktu buat yakinin dirinya.”

“Nggak, bukan itu. Bukan aku nggak yakin sama kamu,” kata Luna.

Sejujurnya, Luna bingung bagaimana menyampaikannya pada Hyunjae karena memang ia nggak pernah bercerita soal trauma dan sakit hati atas hubungannya dengan Seokjin dulu. Luna nggak pernah sekali pun menyinggung soal Seokjin di hadapan Hyunjae. Luna paham, Hyunjae pasti akan menyangka alasan Luna tidak ingin buru-buru bicara masalah nikah adalah karena Luna belum yakin dengan dirinya, padahal bukan itu. Luna takut. Takut mengalami kegagalan seperti yang dialaminya dengan Seokjin.

“Luna sebetulnya udah yakin sama kamu, Jae,” kata Mama, mencoba menjelaskan. “Tapi memang ada trauma agak dalam soal nikah. Luna belum pernah cerita ke kamu, ya?”

Hyunjae kaget—ada terbesit rasa kesal juga yang timbul tiba-tiba—karena merasa tidak pernah tahu sama sekali soal Luna yang pernah punya trauma soal pernikahan. Banyak pertanyaan mendadak muncul di otak Hyunjae, termasuk mengapa Luna sampai detik ini masih tidak memberitahukannya perihal trauma itu—yang sepertinya terdengar serius.

Luna mendekatkan bibirnya ke telinga Hyunjae dan berbisik, “Maaf ya, nanti aku cerita.”

Hyunjae yang tahu dirinya tidak punya banyak pilihan saat ini, hanya mengangguk mengiyakan tanpa suara.

***

“Om, Tante, terima kasih banyak untuk makan malamnya hari ini. Lain kali, izinin Jaehyun yang traktir ya, Om.”

Saat ini Mama, Ayah, Luna dan Hyunjae sudah berada di tempat parkir yang terletak di basement mall. Kebetulan parkir mobil Hyunjae dan orangtua Luna ternyata tidak terlalu jauh, jadi setelah keluar restoran tadi mereka berempat bisa berjalan bersama menuju tempat parkir.

Karena Ayah ada acara lanjutan bertemu dengan koleganya semasa masih menjabat di kedutaan Korea dulu, Luna yang tadinya mau ikut orangtuanya pulang ke hotel, tidak jadi. Akhirnya Luna tetap pulang bersama Hyunjae.

“Sama-sama, Om titip Luna ya, Nak. Kalau dia nakal marahin aja nggak apa-apa. Makasih udah meluangkan waktu ketemu Om dan Tante.”

“Kalian berdua harus akur ya, saling sayang saling jaga. Ingat, komunikasi itu penting. Kalau ada apa-apa sebaiknya diselesaikan secepatnya jangan ditunda.”

“Iya Mama, Ayah. Makasih udah diingetin. Kita berdua bakal baik-baik aja, kok.”

“Terima kasih juga untuk kepercayaan Om dan Tante. Saya akan bertanggung jawab atas hidup Luna.”

Luna memeluk erat Mama dan Ayah bergantian sebelum berpamitan. Setelahnya, giliran Hyunjae yang dipeluk oleh Mama, dan berjabat tangan dengan Ayah sambil bahunya ditepuk-tepuk oleh Ayah.

“Besok pulang kerja aku nginep di hotel ya,” Luna berkata sambil merunduk setelah Mama masuk mobil dan membuka kaca jendelanya.

Tidak lama kemudian, mobil sedan hitam yang disewa Ayah menderu meninggalkan lahan parkir. Luna menarik nafas dan menghembuskannya, lega akhirnya pertemuan antara orangtuanya dan Hyunjae selesai dan berjalan lancar. Hanya tinggal satu urusan lagi yang harus Luna selesaikan dengan Hyunjae.

Di mobil setelah mengencangkan sabuk pengaman, Luna baru akan memulai bicara namun sudah didului oleh Hyunjae.

“Kenapa, Na? Kenapa nggak pernah cerita soal trauma?”

Mendengar nada bicara Hyunjae yang walaupun tidak meninggi tapi menyiratkan kegusaran, membuat Luna jadi sedikit gugup. “Maaf, aku salah nggak cerita ke kamu. Aku takut kamu nggak nyaman untuk dengar cerita soal hubunganku sama mantanku dulu.”

“Soal trauma ini… memang nggak ada yang tau atau cuma aku aja yang nggak tau?”

Entah karena AC mobil atau memang dirinya yang semakin gugup, Luna bisa merasakan jari-jarinya mendadak terasa dingin.

“K-kamu yang nggak tau,” Luna menjawab lirih. “Teman-temanku tau karena Seokjin—mantanku itu—temen kakaknya Juyeon. Juyeon yang ngenalin aku ke Seokjin. Otomatis dia dan Younghoon tau ceritaku sama Seokjin bahkan dari awal kenal sampai kita udahan. Nara, Sarah, Yeonjun dan Eric juga tau.”

Hyunjae mendesah berat. Dia tidak suka dengan kenyataan bahwa dia satu-satunya yang tidak tahu masalah ini. “Aku kecewa kamu nutupin hal ini dari aku. Kamu tau nggak, malu banget aku rasanya pas tadi Mama bilang kamu ada trauma soal nikah. Aku malu karena nggak tau apa-apa soal itu. Tega banget kamu, Na.”

“Yang, maafin aku…”

“Sebetulnya apa yang terjadi antara kamu dan Seokjin?”

“Proses pacarannya aku dan Seokjin mirip sama kita, nggak lama setelah kenal langsung jadian. Bedanya, setelah hampir 5 bulan pacaran aku baru dikenalin ke orangtuanya yang tinggal di Daegu. Ayah dan adik-adiknya baik, tapi mamanya nggak suka sama aku… karena aku bukan orang Korea.”

“Aku tau harusnya dari pertemuan pertama dan udah ditolak sama mamanya, udah jelas hubunganku sama Seokjin nggak akan berhasil. Tapi dia minta kita untuk ngejalanin dulu dan berjuang untuk dapetin restu mamanya. Nggak kerasa, udah jalan dua tahun tapi restu mamanya masih nggak turun juga. Akhirnya Seokjin nekat lamar aku tanpa sepengetahuan orangtuanya dan begonya aku iyain. Berharap dengan cara itu mamanya bisa luluh.”

“Tapi ternyata aku dan Seokjin terlalu naif. Mamanya tetap nggak setuju. Akhirnya nggak ada pilihan selain aku dan Seokjin harus pisah dan batalin pertunangan kita.”

“Itulah kenapa aku sempet takut banget pas diajak ketemu orangtua kamu, Yang. Aku takut ditolak lagi. Walaupun sekarang aku tenang karena orangtua kamu menerima aku dengan baik, tapi tetap ada rasa khawatir. Aku masih inget betapa terpuruknya hidup aku ketika harus pisah dari Seokjin. Rasanya menyakitkan banget.”

“Sekarang Seokjin udah nikah akhirnya, sama perempuan pilihan mamanya. Cepet banget, jarak setahun aja setelah putus dari aku. Dan nggak lama itu pula kamu datang di hidupku, Jae. Lukaku pelan-pelan sembuh berkat kehadiran kamu. Tapi aku nggak bisa bohong, rasa traumanya masih ada.”

Hyunjae menggigiti bibir bawahnya menahan emosi mendengar cerita Luna. Tangannya mengeratkan pegangannya pada setir mobil. Rahangnya mengeras. Hyunjae sadar ia sedang dalam keadaan marah.

“Hyunjae… say something. Please?” Luna menatap Hyunjae takut-takut. Pertengkaran pertamanya dengan Hyunjae akhirnya terjadi juga.

Hyunjae masih belum mengeluarkan kata-kata. Dirinya masih sibuk berkonsentrasi menyetir sambil mengatur emosinya supaya tidak semakin naik. Walaupun sedang marah tapi Hyunjae tidak ingin sembarangan bicara. Ia tidak ingin membuat situasi semakin runyam.

“Aku tau kamu marah. Tapi please kamu harus percaya aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi ke Seokjin. Aku udah sepenuhnya move o—

“Bukan itu, Deluna.”

Luna tertunduk, tidak berani menatap ke arah Hyunjae lagi setelah didengarnya Hyunjae memanggilnya dengan sebutan lengkap. Ia paham, marahnya Hyunjae serius.

“Aku nggak marah karena kamu pernah mencintai laki-laki lain. Salah kalau aku marah karena itu. Nggak cuma kamu, aku juga pernah punya masa lalu, pernah mencintai perempuan lain sebelum kamu.”

“Aku marah karena menurutku, masalah trauma kamu ini hal serius yang kuharap kamu cerita ke aku dari awal. Aku marah karena teman-teman kamu tau, sementara aku yang katanya pacar kamu, nggak tau apa-apa soal itu.”

“Kalau aku tau, Na, aku nggak akan terus-terusan ngebahas soal lamaran lah, nikah lah. Karena aku nggak tau soal trauma kamu, aku salah paham, aku kira kamu selalu menghindar bahas lamaran atau nikah karena kamu belum yakin sama aku.”

“Kamu tau, nggak jarang aku overthinking tengah malam mikirin gimana caranya aku bisa bikin kamu yakin sama aku. Aku sering juga kepikiran, apa semua ini terlalu cepat buat kamu, apa harusnya aku nggak secepat itu ngajak kamu pacaran.”

Hyunjae menghentikan bicaranya bersamaan dengan melambatnya laju mobilnya karena bangunan apartemen Luna sudah mulai terlihat. Setelah memasuki area apartemen, Hyunjae yang biasanya langsung menuju parkiran di basement, kini melewatinya dan menghentikan mobilnya di lobi apartemen.

“Kita lanjut besok ya, Na?”

Luna menatap Hyunjae dengan sedih. “Kamu nggak mau turun dulu? Kita beresin malam ini, biar besok udah nggak ada pikiran lagi. Ya?”

Gelengan kepala Hyunjae membuat Luna semakin sedih. “Aku capek. Besok lagi aja, oke?”

“Aku maunya selesai malam ini. Aku nggak akan bisa tidur sebelum yakin kita baik-baik aja.”

Hyunjae menghela nafas beratnya. Sebetulnya ia sungguh ingin menyudahi obrolan malam ini karena dirinya sudah terlalu lelah. Ia butuh segera istirahat dan menenangkan diri di apartemennya sendiri. Tapi mungkin Luna ada benarnya, semakin cepat diselesaikan, semakin baik.

Akhirnya Hyunjae memajukan mobilnya, beruntung ada satu space kosong untuk memarkir mobilnya di halaman lobi apartemen.

“Di lobi aja ngobrolnya ya,” sahut Hyunjae sambil melepas sabuk pengamannya setelah selesai memarkir mobil.

Karena sudah agak malam, lobi apartemen Luna saat itu kosong. Hanya ada dua security yang berjaga di depan pintu masuk. Luna dan Hyunjae memilih duduk di sofa tidak jauh dari pintu masuk. Mereka duduk berhadapan.

Hyunjae menautkan kesepuluh jari tangannya sambil menatap Luna. “Ngerti kan sekarang, alasan kenapa aku marah?”

“Iya, aku ngerti dan wajar kamu marah karena hal itu. Maafin aku ya, Jae? Aku menyepelekan trauma ini karena aku merasa udah bahagia sama kamu, aku cuma nggak ingin trauma ini ngerusak semua yang udah kita bangun. Aku minta maaf sekali lagi, aku salah, nggak seharusnya aku sembunyiin hal ini dari kamu.”

Hyunjae bangkit dari duduknya, tangannya terulur ke arah Luna, mengajaknya berdiri juga. “Yuk, aku anter kamu sampai depan unit.”

Luna menyambut uluran tangan Hyunjae dan mengikutinya berjalan mendekati lift.

“Jadi, aku dimaafin nggak?” tanya Luna lagi ketika mereka sudah berada di dalam lift. Hanya mereka berdua, tidak ada siapa-siapa lagi.

Hyunjae tidak menjawab.

Luna menatap pantulan dirinya dan Hyunjae yang sedang berpegangan tangan, dari pintu lift di depannya. Dari pantulan itu ia bisa melihat raut wajah Hyunjae yang kelelahan. Dialihkannya pandangan dari pintu lift, ke arah Hyunjae yang berdiri di samping kanannya.

“Hyunjae, I love you,” Luna berbisik. Tinggi badannya yang “hanya” 168 cm—lebih pendek 13 cm dari tinggi badan Hyunjae—membuat kepala Luna hanya sejajar dengan bahu Hyunjae dan ia tidak bisa menjangkau pipi Hyunjae yang tadinya ingin ia kecup. Akhirnya Luna hanya bisa mendaratkan kecupannya di tepi bahu Hyunjae.

Pintu lift terbuka. Mereka berdua berjalan menuju unit apartemen Luna masih dengan bergandengan tangan, namun Hyunjae masih belum juga berkata apa-apa.

Sesampainya di depan unit, Hyunjae melepaskan genggaman tangannya. Ia menyandarkan tubuh Luna hingga menempel pada pintu unit.

Tangan kirinya menangkup pipi kiri Luna, tangan kanannya mendekap pinggang Luna.

“Jangan diulangi lagi, ya? Jangan nggak cerita ke aku untuk hal sepenting itu. Aku menghargai privasi, nggak semua tentang hidup kamu harus diceritain ke aku. Tapi untuk segala sesuatu yang menyangkut hubungan kita, aku harap kamu terbuka untuk cerita ke aku. I’ll do the same.”

“Makasih udah maafin aku. Janji, aku nggak akan gitu lagi. I’ll share everything with you.”

Now, say it again.

Say… what?”

What you said to me in the elevator earlier.

Luna tersipu, wajahnya memerah tapi ia tidak begitu pedulikan. “Hyunjae, I love you.

Hyunjae mengeratkan dekapan tangannya di pinggang Luna. “I love you too.”

Mata Luna terpejam ketika Hyunjae mencium kening, hidung, dan kemudian bibirnya. Seperti biasanya, ciuman bibir Hyunjae selalu lembut dan penuh sayang. Bukan ciuman terburu-buru dan bernafsu.

“Tumben nggak ijin,” kata Luna setelah Hyunjae melepaskan bibirnya.

“Kan kata kamu waktu itu nggak usah ijin lagi. Ya udah aku nggak ijin.”

“Iya sayang iya…”

“Aku pamit ya?”

“Nggak mau nginep aja? Udah malam.”

“Nanti aja hari Sabtu aku nginep, ya. Setelah nganterin Mama sama Ayah ke bandara.”

“Kamu harus sering nginep, pasti bentar lagi kamu bakal sibuk sering ke Busan ngurusin proyek baru. Sebelum kamu sibuk dan susah diajak ketemu, sering-sering bareng aku ya?”

“Iya, kan nanti Sabtu nginep. Kita jalan-jalan habis dari bandara, ya? Mau kemana?”

“Main yuk, Lotte World. How? Kemarin-kemarin Nara sempet ngajakin kita main bareng, triple date gitu ceritanya. Kita, Nara sama Hoon, Sarah sama Juyeon. Kamu mau?”

“Boleh, yuk. Kabarin aja mereka bisa atau nggak.”

“Oke sayang. Kamu hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabarin aku kalau udah di rumah.”

“Kamu masuk dulu. Jangan main HP, langsung mandi, tidur. Nggak usah nungguin aku kalau kamu keburu ngantuk. Aku pulang ya?”

Setelah mengecup pucuk kepala Luna dan membiarkan Luna masuk, Hyunjae berjalan meninggalkan unit apartemen Luna.


Tok tok!

Luna mendongak ke arah pintu ruang kerjanya yang setengah dibiarkan terbuka. Jari-jarinya yang sedang mengetik di atas wireless keyboard terhenti sejenak. Senyum mengembang di wajahnya menyambut Yeonjun yang melangkah masuk ke ruangannya.

“Ya, Yeon?” tanya Luna.

“Tinggal kita berdua sekarang. Jake dan Eric barusan banget pulang. Lo mau sampe jam berapa?”

Luna menghela nafasnya saat melihat angka 18.30 tertera di bagian pojok kanan bawah layar komputernya.

“Lo udah beres? Kalau mau duluan pulang nggak papa. Gue juga sebetulnya udah beres tapi biarin deh sambilan nyiapin draft laporan buat lusa.”

“Ya udah sih besok lagi aja kalau nggak urgent. Pulang yuk? Kayak yang berani aja lo sendirian di kantor.”

“Jaehyun baru bisa jemput jam delapanan soalnya. Ada late meeting dadakan dia, penting nggak bisa ditinggal. Nggak papa gue sendiri, nyalain lagu aja paling.”

“Minta izin aja ke Jaehyun lo pulang bareng gue. Jam delapan masih lama lho, Na. Belum lagi di jalan dari kantor dia kesini. Inget ini Jumat malem, jalanan macet.”

Luna meraih ponselnya sambil memikirkan usulan Yeonjun. Sebetulnya takut juga dia kalau harus sendirian di kantornya terlalu larut.

Hari ini memang sudah direncanakan Luna akan dijemput Hyunjae sepulang kantor karena Hyunjae akan menginap di tempat Luna. Besok pagi mereka sudah harus berangkat ke hotel menjemput orangtua Luna untuk diantarkan ke bandara.

Memang manusia hanya bisa berencana, tiba-tiba menjelang jam 5 sore tadi mendadak banyak hal urgent di kantor Hyunjae sehubungan dengan proyek barunya di Busan. Hal ini membuat Hyunjae dan timnya harus lembur demi mengurusi proyeknya itu. Bahkan sampai CEO kantornya Hyunjae pun ikut lembur.

Sayang, aku udah beres.

Boleh kalau aku pulang duluan dianter Yeonjun?

Aku takut sendirian di kantor kalau terlalu malam.

Di ujung sana, Hyunjae yang sedang berdiskusi dengan atasannya merasakan ponselnya yang disimpan di saku celananya bergetar, tapi ia tidak mungkin mengecek ponselnya dalam posisi itu. Akhirnya Hyunjae memilih untuk mengabaikan dulu ponselnya.

Hampir sepuluh menit tidak ada balasan, Luna memutuskan untuk mematikan komputernya dan merapikan mejanya. Ia tidak enak membuat Yeonjun menunggu lebih lama lagi. Ia juga jelas-jelas tidak ingin di kantor sendirian selarut ini. Luna pernah pulang kantor jauh lebih malam dari ini tapi ia tidak sendirian kala itu. Luna tidak pernah lembur terlalu malam sendirian.

“Jaehyunnya nggak balas-balas.”

“Jadi gimana? Nggak papa lo bareng gue?”

“Justru gue yang nggak enak sama lo jadi mesti nganterin gue dulu. Beneran nggak papa, Yeon? Maaf ya ngerepotin.”

“Dih, repot apanya. Nggak apa-apa lah. Eh, mampir makan dulu yuk. Lagi pengen makan burger nih gue. Zorka, how?”

“Yuuuk! Laper gue juga.”

Sambil menunggu pintu lift terbuka, Luna mengecek ponselnya sekali lagi dan memasukkannya kembali ke dalam tas ketika dilihatnya masih belum ada balasan dari Hyunjae.

***

Setelah menghabiskan empat puluh lima menit menerjang kemacetan Ibu Kota di hari Jumat malam, akhirnya Luna dan Yeonjun tiba di Zorka—burger diner bergaya food truck dengan meja dan kursi minimalis berjajaran di lahan terbuka—yang menyediakan hand-crafted burger dengan beragam isian. Awalnya Eric yang merekomendasikan burger diner ini setelah sebelumnya ia diajak kesini oleh sepupunya yang memang doyan berburu makanan enak.

Jadilah Zorka ini salah satu tempat makan andalan anak-anak kantor Luna kalau sedang lapar tapi malas makan makanan berat.

“Lo mau apa?” tanya Yeonjun ketika antrian di depan mereka semakin menipis, hanya menyisakan tiga orang lagi.

“Hmm apa ya.. Pengen burger tapi gue pengen ngemil ayam juga. Berdua yuk ayamnya, mau nggak?”

Buttermilk chicken drumsticks?”

“Iya… berdua yuk? Burgernya gue mau lamb kofta burger.”

“Oke, yukberdua. Buat Jaehyun nggak sekalian dibungkusin?”

“Nanti aja, takutnya dia udah makan. Biasanya kalau lembur sampe malam gini dia suka pesen delivery ke kantornya.”

Akhirnya, tiba giliran Luna dan Yeonjun.

Lamb kofta burger, buttermilk chicken drumsticks medium, sama sloppy burger. Minumnya coke dua kaleng.” Yeonjun menyebutkan pesanan mereka sambil mengeluarkan dompetnya. Setelah membayar semuanya, Yeonjun dan Luna meninggalkan konter dan berkeliling mencari tempat duduk yang masih kosong.

Akhirnya mereka menemukan satu meja dan dua kursi kosong dengan posisi saling berhadapan—agak di sudut.

“Yang gue berapa jadinya?” Luna bertanya sambil merogoh tasnya, mencari dompet.

“Apaan sih, Na. Udah nggak usah, dinner’s on me tonight.”

“Jangan gitu dong, Yeon, nggak enak nih gue.”

“Ih gue marah nih ya. Lo kayak ke siapa aja.”

“Hehe, ya udah iya, makasih ya traktirannya. Nanti lagi gantian gue yang traktir. Harus mau.”

“Iya, gampang.”

Angin malam yang berhembus malam itu tidak kencang, tapi cukup untuk membuat helaian rambut Yeonjun tersibak, mengekspos keningnya sesaat. Tangan Yeonjun menyisiri rambutnya ke belakang dengan asal, membuat helaian rambut miliknya menjadi sedikit teracak—namun terlihat natural, tidak berantakan.

Tanpa sadar Luna tersenyum sendiri melihat Yeonjun. Mati-matian ia berusaha menghentikan eksplorasinya terhadap wajah Yeonjun yang duduk berhadapan dengannya.

“Kenapa ngeliatin?” Ternyata Yeonjun sadar sedang diperhatikan Luna.

“Nggak, nggak papa,” Luna menyahuti dan langsung membuka ponselnya demi menyembunyikan raut wajahnya yang memerah karena malu ketahuan sedang memperhatikan Yeonjun.

Kebetulan, ternyata ada pesan masuk dari Hyunjae beberapa menit lalu.

“Aku sebentar lagi pulang, kalau nggak jadi nginep nggak papa? Capek banget.”

Begitu isi pesan Hyunjae yang diterima Luna.

Luna mencelos, ia sungguh ingin Hyunjae jadi menginap di apartemennya tapi ia juga tidak mau memaksa jika Hyunjae tidak mau. Diketikkannya balasan untuk Hyunjae.

Ya udah nggak papa.

Hati-hati di jalan pulang, kabarin kalau udah di rumah.

Ketika Luna akan melanjutkan obrolan dengan Yeonjun, ponselnya berdering. Menampilkan foto Jaehyun di layarnya.

“Ya sayang?” jawab Luna setelah menekan tombol hijau ponselnya.

“Beneran nggak papa? Maaf ya, Na,” sahut Hyunjae disana. Luna bisa mendengar suara debam pintu mobil yang ditutup yang disusul suara starter mesin mobil.

“Nggak papa. Besok aja ketemunya ya, sekalian di hotel? Atau kamu mau jemput aku dulu?”

“Jemput kamu dulu lah, baru ke hotel bareng.”

“Oke, Yang.”

“Kamu lagi apa? Udah mandi?”

“Mandi? Nyampe apartemen juga belum. Lagi mau makan, di Zorka.”

“Zorka?”

“Iya, dijajanin Yeonjun disini.”

Lalu hening.

Hyunjae disana, tanpa sadar meremas setir mobilnya kuat-kuat. Geram dengan jawaban yang meluncur ringan dari mulut kekasihnya. Seingat Hyunjae, Luna hanya meminta izin untuk diantar pulang oleh Yeonjun. Kenapa sekarang jadi acara makan berdua?

“Dikirain kamu udah di apartemen dari tadi, taunya masih di luar. Tadi izinnya apa? Dianter pulang kan? Kenapa jadi di Zorka sekarang?”

“Aku laper, Yang. Dan kenapa masih disini soalnya tadi macet, jadinya telat nyampe sininya juga. Aku makan dulu sebentar ya, habis itu langsung pulang.”

“Ya udah, cepetan jangan lama-lama.”

“Iyaaa. Udah dulu, ya? Mau makan, biar cepet pulang.”

“Oke. Selamat makan.”

Bye!”

“Eh—Yang. Aku jadi deh.”

“Ha? Jadi apa?”

“Nginep. Aku jadi nginep.”

“Loh katanya capek?”

“Ih, kok kamu kayak yang nggak suka aku jadi nginep?”

“Bukan gitu, Sayang. Boleh banget ayo kalau jadi mau nginep. Mau aku bungkusin burger?”

“Nggak usah, aku udah makan.”

“Ya udah, hati-hati nyetirnya. Tungguin aku kalau kamu nyampe duluan.”

“Oke.”

Pesanan dua porsi burger dan satu porsi ayam buttermilk ukuran medium sudah tersaji di meja mereka sekarang. Yeonjun mulai membuka kertas pembungkus burgernya pelan-pelan. Aroma daging sapi burger segar dan juicy seketika memanjakan hidung Yeonjun dan Luna.

“Jaehyun marah lo makan sama gue?” Setelah gigitan pertamanya pada burger, Yeonjun bertanya pada Luna.

“Nggak sih, cuma protes aja dia karena dikiranya gue udah di apartemen padahal masih makan disini.”

“Tumben protes dia, dulu waktu kita makan berdua di Gwangju nyantei aja perasaan.”

“Iya, nggak tau tuh lagi sensitif kayaknya.” Tangan Luna mencomot ayam drumstick yang diidamkannya dari tadi. “Lucu deh pacaran sama Jaehyun tuh. Baru kali ini gue pacaran sama cowok tsundere. Rasanya kayak pacaran tapi nggak pacaran.”

And you okay with that? Pacar-pacar lo sebelumnya pasti kebanyakan tipe-tipe romantis gitu ya?”

I’m perfectly okay with that. Dari awal Jaehyun udah bilang dia nggak bisa romantis sama sekali. Awal-awal gue juga agak kaget sih, bener kata lo, pacar-pacar gue sebelumnya pada romantis banget. Jadi pas jadian sama Jaehyun gue kaget gitu. Tapi lama-lama gue sadar, Jae itu tipe penyayang banget sebetulnya, cuma caranya beda. Dia sayangin gue dengan caranya sendiri.”

“Gimana sih emangnya, tipe pacarannya orang tsundere?”

“Pacaran sama tsundere, lo jangan harap dihujani kata-kata manis. Cara Jaehyun ngomong ke temennya, sama ngomong ke gue itu sama. Cuma yaa occasionally suka manggil ‘sayang’ ke gue. They don’t talk much, their action speaks louder.”

“Misalnya?”

“Hmm.. Dia bukan tipe yang selalu ngecek gue udah makan apa belum, tapi kalau kita lagi nggak bisa ketemu, suka tiba-tiba dia pesenin food delivery buat gue, sering banget. Pernah juga tuh gue malem-malem lagi kesakitan banget karena haid hari pertama, gue chat dia cuma bilang nggak bisa tidur karena terlalu sakit perutnya. Chat gue nggak dia bales, tapi tiba-tiba dia nongol di apartemen gue, bawain obat dan bantal listrik buat kompresin perut gue. Lucu banget dia sampe sibuk cek Naver sama YouTube nyari cara-cara buat hilangin sakit haid. Terus yang waktu kita pulang dari Gwangju, dia belain izin pulang setengah hari dari kantornya cuma buat jemput gue di stasiun.”

“Wow, salut sih gue sama Jaehyun. Kebanyakan cowok kalau tau ceweknya lagi haid yang ada malah pada kabur takut kena omel. Dan belain izin setengah hari dari kantor buat jemput lo, that sounds romantic.”

“Iya, romantisnya Jaehyun itu beda dari cowok lain. Lo sendiri tipe yang gimana? Dari tadi bahas Jae mulu perasaan.”

“Gue penasaran abisnya, lo bisa singkat banget gitu proses kenal sampai akhirnya jadian. Jadi pengen tau, emangnya Jaehyun gimana ke lo sampai lo-nya bucin banget gini hahaha.”

“Dianya duluan yang bucin ke gue, please note. Sekarang gue yang pengen tau, lo tipe gimana? Dari tadi nanya nggak dijawab ih.”

“Hehehe sorry. Agak canggung gue bahas diri gue sendiri ke orang lain.”

“Jadi gue orang lain buat lo?”

“Nggak gitu, Na. Maksudnya, yaa lo kan jauh lebih deket sama Hoon, Juyeon, Eric ketimbang sama gue.”

“Ya makanya sekarang kita ngobrol biar bisa lebih deket juga. Gue seneng punya banyak temen deket. Ayo dong, cerita soal lo juga. Sambil makan nih gue dengerin.”

“Umm.. yang jelas gue bukan tipe tsundere sih, tapi romantis banget juga nggak. Biasa aja sih gue rasa. Yang pasti, gue tipe pengalah, males ribut sama pasangan. Jadi hampir selalu gue yang maju duluan buat minta maaf kalau lagi ada masalah sama cewek gue dulu. Nggak peduli siapa yang sebetulnya salah, gue pasti minta maaf duluan.”

“Lo nggak capek selalu yang minta maaf duluan? It doesn’t sound fair to me. Positifnya, lo sama cewek lo akan jarang ribut. Minusnya, cewek lo keenakan nantinya, nggak terlatih untuk tanggung jawab sama kesalahan karena tau pasti lo yang bakal minta maaf duluan. Jangan kayak gitu kalau kata gue sih.”

“Abisnya gue males berantem, Na. Buang waktu.”

“Namanya juga dua insan, dua perasaan, dua logika, dua pemikiran. Nggak mungkin kalian sejalan terus, pasti ada beda pendapat, ada berantemnya. Nikmatin aja proses itu, dengan begitu lo jadi bisa paham sifat asli pasangan lo kayak gimana. Kalau terus-terusan lo yang ngalah, capek sendiri nggak sih? Nggak sehat buat hubungan lo.”

“Ya sih, lo ada benernya. Akibatnya gue jadi gampang hilang spark sama cewek gue, cepet banget hambarnya tiap pacaran. Makanya gue nggak pernah pacaran lama.”

“Berapa lama paling tahan?”

“Delapan bulan, mantan yang kemarin.”

“Putus karena?”

“Ya itu, hilang spark guenya ke dia. Bosen. Dianya ninggalin gue deh.”

“Tuh kan, makanya jangan selalu ngalah gitu, nggak baik. Lo tuh kayanya tipe yang males berantem, tapi sekalinya berantem langsung putus.”

Kind of, hahaha. Abisnya malesin gue ngadepin cewek moody kalau lagi berantem. Nggak paham harus digimanain.”

“Dasar. Nanti lagi jangan gitu ya, yang namanya berantem selama tanpa kekerasan verbal dan fisik itu masih wajar kok. Lo belajar gih sama Hoon atau Juyeon, jagonya urusan cewek tuh mereka. Cewek itu unik. Kadang gue juga suka heran sama diri gue sendiri, bisa-bisanya mood berubah secepet itu. Untung aja Jaehyun sabar banget ngadepin gue.”

“Hehehe iya. Thank you ya, Na, udah mau dengerin cerita gue. Hebat lo, bisa bikin gue mau cerita, jarang-jarang gue bisa gini ke orang bahkan ke temen sendiri.”

“Salah satu kelebihan gue kayaknya. Gue itu ekstrovert sejati, tapi hidup gue selalu dikelilingi orang-orang introvert. Ayah gue introvert, sepupu deket gue Freiya namanya, introvert juga. Juyeon, Sarah, Nara, Younghoon, semua introvert. Jadi gue udah semacam terbiasa ngatasin orang-orang introvert, sekarang ditambahin lo juga.”

“Gue tuh suka takut deket sama orang ekstrovert. Kayak si Eric tuh, ekstrovert super berisik dia kan. Gue suka kehabisan energi kalau lagi deket-deket Eric. Tapi gue anehnya nggak gitu ke lo, Na. Lo ekstrovert yang bisa bikin introvert nyaman di dekat lo.”

As I said, it’s my specialty.”

Agree.

“Oh ya, Na. Bahas Jaehyun lagi boleh, ya? Pengen tau aja sih, lo sayang banget sama dia ya?”

“Lo suka sama cowok gue apa gimana sih? Nanya-nanya Jae mulu.”

“Hahaha sialan, gue normal ya doyan cewek. Dibilangin cuma pengen tau aja.”

“Iya, Yeon, jelaslah gue sayang banget sama Jae. Doain gue langgeng sama dia ya. Lo juga, gue doain banget biar cepet dapet gebetan baru, pacar baru. Buat dibawa ke nikahan Sarah-Juyeon nanti. Lo tuh ya, kalau suka sama cewek mesti ditunjukkin dong. Kalau lo ga nunjukkin gimana bisa sadar itu ceweknya kalau lo suka. Lo tuh nggak jelek lagi, Yeon. Lo oke kok. Cuma perlu lebih pede lagi aja urusan deketin cewek. Jangan sampe kecolongan lagi kayak gebetan lo kemarin ini.”

“Gue nggak jelek, tapi tetep bukan kategori ganteng sih ya? Nggak kayak Jaehyun yang gue aja cowok tapi mengakui dia ganteng.”

“Hahaha apa sih, Yeon. Ganteng kok lo tuh, seriusan deh nggak bohong. Lo tuh ganteng. Lo harus percaya diri, kalau lo aja nggak percaya diri, gimana caranya orang lain bisa percaya sama lo?”

“Na, nanya nih ya gue ke lo sebagai cewek. Misalnya lo belum sama Jaehyun, kira-kira lo bakal mau nggak sama gue?”

“Eh—gimana?”

Obrolan panjang mereka terinterupsi oleh notifikasi KakaoTalk ponsel Luna.

Aku udah di apt kamu.

Pulang, cepet.

Nggak pulang dalam setengah jam, aku pergi lagi nggak jadi nginep.

“Duh, Jaehyun udah di tempat gue. Kok cepet banget ya dia? Yeon, makannya cepetan, yuk. Eh atau gue pulang duluan deh ya pake taksi, kalau lo masih mau nyantai disini.”

“Yaah, lagi asyik ngobrol padahal nih. Nggak, nggak—pake taksi apaan. Ya udah habisin dulu itu ayamnya, baru kita cabut ke apartemen lo. Oke? Makannya jangan buru-buru banget, nanti malah keselek.”

“Hehe, oke. Maaf ya jadi ngeburu-buru. Lain kali kita ceritaan lagi.”

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, makanan di meja mereka berdua sudah habis, hanya menyisakan tulang belulang ayam yang sudah tak berdaging. Setelah menghabiskan coke-nya, Luna dan Yeonjun membersihkan meja, membuang sisa sampah ke tempat pembuangan sampah yang tersedia di sudut seberang meja mereka.

Dengan perasaan senang karena perut sudah kenyang dan puas bertukar cerita, Luna dan Yeonjun melangkahkan kaki menjauhi area food truck.

***

Sesampainya di apartemen, Luna tersenyum melihat sepasang sepatu formal hitam mengkilat milik Hyunjae tersimpan rapi di deretan paling atas rak sepatunya. Luna melepas sepasang heels lima senti-nya, dan menyimpannya di sebelah sepatu Hyunjae.

Dilihatnya ruang TV dan dapurnya sepi. Berarti Hyunjae ada di kamar Luna.

Setelah cuci tangan dan meminum secangkir teh chamomile hangat favoritnya, Luna berjalan mendekati pintu kamarnya yang tertutup.

Benar saja, Luna mendapati Hyunjae sedang menonton tayangan dari Netflix di sofa dusty pink miliknya—masih lengkap dengan setelan kerjanya.

“Hai, Cintaku.”

Luna menyapa sambil berjalan mendekati Jaehyun. Setelah Hyunjae berada dalam jangkauannya, Luna melungsurkan tas laptop yang tersampir di bahunya, begitu saja ke lantai yang beralaskan karpet bulu halus berwarna senada dengan sofanya.

Yang disapa masih diam, matanya menatap lurus ke arah layar TV.

Luna mendudukkan diri di samping Jaehyun, menciumi pucuk kepala dan pipinya. “Disapa kok diem aja? Gimana kerjaan hari ini? Capek ya?”

“Seneng kamu, ditraktir makan sama Yeonjun?” Hyunjae membalas sapaan lembut Luna dengan dingin.

Luna tahu pacarnya ini lagi ngambek. Alih-alih menghiburnya, Luna memutuskan untuk menggoda Jaehyun sedikit.

“Yang, kamu nyium bau sesuatu nggak, sih?”

“Bau apa? Nggak.”

“Bau api. Kentara banget.”

“Api? Apa sih, Na, ngaco banget. Nggak kecium apa-apa.”

“Kentara banget nih bau apinya.”

“Na—”

“Api cemburu.”

Hyunjae terdiam, bibirnya semakin mencebik. Luna tertawa terbahak-bahak melihat raut kesal Hyunjae.

“Sayang tsundere-ku bisa cemburu juga ternyata.”

I’m not jealous. Why would I?”

Luna akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Hyunjae. Ia paham, kekasihnya ini selain sedang cemburu, mood-nya juga sepertinya sedang tidak bagus. Mungkin karena terlalu lelah dengan ritme kerjanya hari ini.

Luna mengusap rambut halus Hyunjae. Ia lalu memindahkan tubuhnya, menaiki Hyunjae dan duduk di pangkuannya dengan posisi saling berhadapan. Kedua kaki Luna terlipat di sisi kanan dan kirinya, membuat rok span-nya menjadi sedikit terangkat.

Ditatapnya wajah Hyunjae lekat-lekat, tangannya mengusapi helaian rambut yang menutupi kening Hyunjae. Disibakkannya helaian rambut yang menutupi keningnya, dan Luna memberikan ciuman-ciuman kecil di kening Hyunjae.

“Maaf ya, aku nggak izin dulu mau makan sama Yeonjun. Kukira kamu bakal santai aja kayak biasa.”

“Nggak bisa santai kalau sama Yeonjun. Beda ya, kalau kamu sama Hoon atau Juyeon atau Eric, aku santai.”

“Yeonjun sama aja kayak mereka, nggak beda.”

Hyunjae menggeleng. “Nggak, Na. Yeonjun beda, I can feel it. Insting sesama cowok.”

“Waktu aku makan berdua Yeonjun di Gwangju, kamu nggak papa tuh.”

“Instingku belum jalan waktu itu. Lama-lama, kerasa.”

“Ngaku dulu coba, aku pengen denger.”

“Ngaku apa?”

“Kamu cemburu sama Yeonjun?”

“Iya, aku cemburu sama Yeonjun.”

Wow.

Luna terkejut dalam hati. Nggak disangka Hyunjae melisankan pengakuannya dengan gamblang.

“Kenapa kok diem? Kaget aku bilang cemburu?”

“Iya, aku nggak sangka. Aku pikir kamu akan selalu santai mau aku jalan sama siapa pun juga. Karena yang udah-udah, kamu santai, nggak pernah protes. Aku yang sering ngeluh cemburuin kamu.”

“Dibilangin, kalau sama Hoon, Juyeon, Eric, aku nggak akan pernah cemburu. Kukira ke Yeonjun juga bakal sama, tapi pas aku lihat dia nyuapin kamu roti di stasiun waktu itu, aku sadar, Yeonjun beda dari Hoon, Juyeon dan Eric. Aku nggak bisa lengah dan santai ke Yeonjun. Maaf.”

Perasaan bersalah menjalari tiap sel dalam tubuh Luna. Sungguh ia tidak sadar Hyunjae ada perasaan seperti itu pada Yeonjun.

“Maaf ya sayang. Nggak maksud bikin kamu cemburu dengan sengaja.”

I know, it’s OK. Now that you know, would you please stay a bit away from him? Bukan menjauhi gimana, dia teman kamu, aku nggak mau bikin kamu nggak berteman lagi sama dia. Cuma.. hindari berduaan sama dia di luar urusan kantor dan formal ya, Yang? Bisa?”

Luna mengangguk. “Nggak ada alasan untuk nggak bisa. Maaf sekali lagi, Sayang.”

“Nggak apa-apa, aku tau kamu nggak sengaja.”

Luna tidak menjawab lagi. Dia memajukan duduknya, merapatkan tubuhnya pada tubuh Hyunjae. Dengan kedua tangan melingkari leher Hyunjae, Luna memagutkan bibirnya pada bibir Hyunjae. Duluan. Baru kali ini Luna yang memulai ciumannya.

Detik yang berjalan Luna habiskan untuk memandangi wajah Hyunjae, ketika ia melepaskan bibirnya sesaat. Lalu, dipagutnya kembali bibir Hyunjae, kali ini lebih dalam dari yang sebelumnya. Luna memutuskan untuk melakukan hal yang belum pernah dicobanya dengan Hyunjae; memainkan lidahnya di langit-langit mulut Hyunjae.

Terasa seperti ada yang menggelitiki perut Luna ketika Hyunjae membalas permainan lidahnya. Luna menyukai perasaan ini.

Kali ini Hyunjae yang menghentikan ciumannya.

Tangannya menyibak rambut panjang Luna ke belakang bahu Luna, sambil menyisipkan sejumput helai di belakang telinga. Lalu Hyunjae menangkup tubuh Luna, diangkatnya perlahan dari pangkuannya dan ia menidurkan kepala Luna di tangan sofa.

Posisi Luna kini berada di bawah kungkungan tubuh Hyunjae yang atletis, dan jelas berukuran lebih besar dari tubuh Luna. Dengan lengan kiri dipakai untuk menumpu tubuhnya, tangan kanan Hyunjae mengelusi wajah Luna.

“Nggh, Yang..”

Luna mengeluarkan erangan kecil ketika bibir Hyunjae kembali menyentuhi bibirnya. Entah Luna sadar atau tidak, yang pasti erangan kedua yang kini terlontar dari mulutnya terdengar agak lebih keras dari yang pertama, karena Hyunjae sedang melanjutkan permainan lidahnya setelah tadi sempat terhenti karena Hyunjae ingin berganti posisi.

Hyunjae tahu ia menginginkan lebih dari yang sedang mereka lakukan sekarang—mereka berdua menginginkan lebih—tapi tidak ada yang berani untuk memulai lebih jauh dari yang sudah terjadi kini. Sudah menuju sepuluh menit, keduanya masih dalam posisi seperti tadi. Lengan kiri Hyunjae sudah terlalu pegal dan nyaris mati rasa karena terlalu lama menopang beban tubuhnya pada posisi konstan seperti itu untuk waktu yang cukup lama.

Akhirnya Hyunjae melepaskan ciumannya lagi, perlahan, dan berganti menciumi kening dan hidung Luna. Setelahnya, Hyunjae bangkit dari posisinya sambil mengibaskan lengan kirinya yang ternyata benar-benar mati rasa. Engselnya serasa kaku.

Melihat kekasihnya berjalan mondar mandir sambil mengibaskan tangan, kini Luna yang bangkit dari posisi tidurannya.

“Pegel ya?” tanya Luna iba. Wajah Hyunjae merautkan ekspresi tidak nyaman sambil memijiti lengan kirinya.

Luna berdiri, ia menciumi sepanjang lengan kiri Hyunjae. “Mandi ya, rendeman aja biar berkurang pegelnya. Aku siapin air hangatnya dulu sambil aku mandi duluan ya. Sebentar kok, aku nggak akan rendeman.”

“Luna,” panggil Hyunjae, sebelum Luna menghilang di balik pintu kamar mandi. “How was itthe kiss?”

Luna terlalu malu rasanya untuk menjawab.

Tapi dari kerlingan mata Luna yang berbinar dan semburat rona merah di pipinya, Hyunjae tahu Luna menyukainya.

***

Hyunjae dan Luna baru saja selesai video call dengan Mama dan Ayah, membicarakan soal besok pagi dimana mereka berencana menjemput Mama dan Ayah di hotel jam tujuh untuk mengejar jadwal keberangkatan pesawat jam sepuluh pagi. Tidak terasa, delapan harinya Mama dan Ayah di Seoul sudah selesai dan kini harus kembali ke Singapore.

“Yah, jauhan lagi deh sama Mama Ayah. Delapan hari bener-bener nggak kerasa,” keluh Luna sambil menutup layar laptopnya. Ia dan Hyunjae sedang di ruang TV, duduk selonjoran di karpet dengan laptop terletak di atas coffee table, dan TV menyala—seperti biasa, menayangkan tontonan Netflix yang berujung diabaikan karena Luna dan Hyunjae memilih untuk saling mengobrol ketimbang menonton TV.

“Nanti kita ke Singapore, gantian kita yang kesana ya,” hibur Hyunjae. Dia masih tetap ingin mewujudkan keinginannya menemui orang tua Luna di Singapore.

“Yang, kamu pulang Senin aja, ya? Kan Senin libur, tanggal merah. Temenin aku disini sampai Senin mau ya?”

Hyunjae baru akan menjawab ketika notifikasi KakaoTalk Luna mendadak berbunyi terus-terusan, menandakan banyak pesan yang masuk sekaligus.

Luna melihat ponselnya dan ternyata group chat dengan gengnya di kantor yang menimbulkan rentetan notifikasi itu.

Younghoon: Pasti kalian nggak ada yang cek web Lotte World besok, kan? Temporarily closed ternyata, tiga hari. Under regular maintenance.

Juyeon: Hah? Nggak jadi dong kita besok kesana?

Eric: Sukurin. Itulah akibatnya nggak ngajak-ngajak kaum jomblo alias gue dan Kak Yeonjun. Pake acara triple date segala.

Younghoon: Yee, Ric. Kan udah dibilang, kalau lo berdua mau ikut ya ikut aja, ajakin Hyuna juga nggak papa. Lo-nya nggak mau.

Eric: Serba salah gue, ajakin Hyuna, gimana ya kita belum resmi pacaran nggak kayak lo pada. Nggak ajak Hyuna, masa gue sama Kak Yeon pasangannya disana?”

Yeonjun: Ogah gue juga sama lo, Ric. Dikira gue demen laki ntar.

Kini giliran Luna yang mengetikkan pesan.

Lah jadi gimana? Besok kita kemana? Ini Nara Sarah kemana sih oy.

Sarah: Hadir.

Nara: Abis video call gue sama Sarah. Kita ada ide, tapi agak gila sih. Tapi seru kayaknya. Yang dadakan emang suka seru, ya nggak?

Ngapain lo? Jangan aneh-aneh please.

Sarah: Kita ke Jepang, yuk? Main ke Disneyland aja gimana?

SARAH JANGAN GILA.

Juyeon: Nggak mau, Yang. Disneyland buat bocah, aku tidur nanti disana.

Younghoon: Nggak mau gue juga.

Nara: Ya udah, Disneysea?

Luna mengerutkan keningnya melihat pembicaraan di group chat-nya. Sudah semakin ngawur akibat ide gila Sarah dan Nara. Mentang-mentang Senin libur, mereka dadakan mau liburan singkat ke Jepang.

“Kenapa, Yang?” Hyunjae yang menyadari perubahan ekspresi wajah Luna, bertanya.

“Lotte World tutup kata Hoon, lagi maintenance tiga hari.”

“Besok nggak jadi dong? Atau diganti pergi ke tempat lain?”

“Sarah sama Nara masa kasih ide ke Jepang, coba? Ke Disneyland katanya. Tapi nggak tau sih, ini Hoon sama Juyeon pada nggak mau.”

“Hah ke Jepang? Ngapain jauh-jauh amat astaga. Lagian dadakan cari tiket pesawat emangnya dapet?”

Luna melirik group chat-nya lagi.

Younghoon: Ya udah oke kalau jadinya Universal Studios sih.

Juyeon: Iya, ayo. Pergi besok pagi, pulang Senin sore?

Eric: Ikuuut. Kalau jadinya ke Osaka gue ikut, please. Kak Yeon, ayo ikut ajalah yuk ke Osaka. Biarin aja mereka pada bawa pacar.

Yeonjun: Let’s go!

Nara: Eh, beneran lo berdua ikut? Ya udah, gue coba cek tiket pesawat ya, Sarah lo cek hotel coba. Atau apartemen deh biar nggak misah-misah. Luna, lo sama Jae tetep ikut kan?

Bentar, gue tanya Jae. Tapi kalau pagi-pagi banget gue nggak bisa ya, mau nganter Mama Ayah ke Incheon.

Nara: Kebeneran dong lo sekalian ke Incheon. Kita berangkat dari Incheon kok.

Oh, bukan dari Gimpo?

Nara: Nope, Incheon.

“Yang, mereka jadinya ke Osaka, mau ke Universal Studios katanya. Nara lagi coba cek tiket pesawat. Mau berangkat dari Incheon jadi bisa sekalian sih nganter Mama Ayah. Kita jadi mau ikut?”

“Terserah kamu, Yang. Kalau kamu mau ikut, aku temenin. Tapi kalau kamu nggak mau ya nggak usah berangkat.”

“Aku bingung. Pengen sih.”

“Tapi?”

“Takut kamunya nggak pengen. Takut kamu kecapekan soalnya mereka berencana mau pulang Senin sore.”

“Ya udah ayo berangkat kalau kamu mau. Deket ini ke Osaka, nggak nyampe dua jam terbangnya juga.”

“Beneran nggak papa?”

“Iya, lumayan juga kita liburan singkat.”

Cup. Luna mengecup pipi Hyunjae, senang. “Makasih sayang.”

Luna beralih pada layar ponselnya lagi yang ternyata sudah ramai karena menurut Nara, mereka masih bisa dapat tiket pesawat dari Incheon ke Kansai, Osaka besok jam 11 siang. Tinggal menunggu konfirmasi dari masing-masing yang mau ikut, Nara akan membeli tiketnya.

Gue sama Jae oke ya, jadi ikut.

Sarah: YES! Nggak asik kalau pasangan fenomenal ini nggak ikutan. Akhirnyaaa.

Fenomenal apaan coba. Berlebihan lo, Sar.

Nara: Emailin ke gue sekarang ya data-data lengkap lo semua termasuk nomor paspor. Gue talangin dulu ini tiket pesawat, tiket masuk USJ sama apartemennya. Nanti kalau udah beres semua kalian transfer aja ke m-banking gue.

Younghoon: Apartemen nih jadinya? Nggak hotel aja sekamar berdua-berdua gitu?

Eric: Kak, tega lo gue sekamar sama Kak Yeon. Lo semua nanti sibuk pada enak-enakan di kamar sama pacar. Udah, apartemen aja paling bener.

Nara: Penthouse sih lebih tepatnya bukan apartemen, kita sewa satu penthouse buat kita sendiri, kok. Gue nemu nih ada 3 kamar, dapur, ruang TV, kamar mandi di masing-masing kamar.

Nara: Pembagian kamarnya, kita cewek-cewek bertiga sekamar. Kamar satu lagi Younghoon Juyeon, kamar terakhir Yeonjun, Eric, Jaehyun. Gimana?

Eric: Boleh, yang penting gue pengen sama Kak Jae.

Yeonjun: Duh, gue sekamar sama orang-orang ekstrovert. Keong nanti gue. Boleh bareng sama Younghoon Juyeon aja nggak?

Juyeon: Wkwk dasar. Yaudah lo bareng gue sama Younghoon aja. Biar si Eric sama abang kesayangannya tuh.

Setelah masing-masing mengumpulkan data diri untuk kepentingan book tiket pesawat dan apartemen, Nara menyembutkan nominal yang harus dibayarkan per orangnya sambil memberikan nomor rekeningnya.

“Bayar dari m-banking aku aja, Na,” kata Hyunjae setelah Luna menyebutkan angka yang harus ditransfer ke Nara. “Bacain nomor rekeningnya Nara.”

“Iya, yang kamu bayar dari m-banking kamu aja. Aku bayar punyaku sendiri,” kata Luna. Layar ponselnya sudah menampilkan aplikasi m-banking miliknya.

“Ih apaan. Udah, sekalian aja punya kamu juga bayar dari aku. Ngapain dipisah-pisah gitu bayarnya,” protes Hyunjae. Diambilnya ponsel Luna dari tangannya dan buru-buru diselipkan di bawah bantal sofa.

“Hei, HP-ku siniin. Nomor rekeningnya Nara kan ada di HP-ku, gimana sih kamu.”

Hyunjae terkekeh. Iya juga, batinnya.

Diambilnya lagi ponsel Luna dari bawah bantal sofa, dibukanya, dan Hyunjae mencari nomor rekening Nara yang disebutkan di group chat room barusan.

Setelah transfernya berhasil, Hyunjae mengirimkan bukti transfernya ke ponsel Luna supaya diteruskan ke Nara.

“Udah aku transfer ya, sekalian sama yang punya kamu juga,” kata Hyunjae lagi sambil mengembalikan ponsel Luna pada yang punya.

“Jae, kok gitu sih? Aku jadi nggak enak nih, kenapa kamu bayarin yang aku juga? Aku transfer balik ya ke kamu.”

“Kalau kamu transfer balik, aku marah nih. Udah sih, nggak apa-apa. Sekali-kalinya aku bayarin kita liburan, nggak pernah kan?”

“Ya tapi kan itu nominalnya gede, Sayang.”

I know, but I can afford it. Don’t worry.”

“Nyebelin ya kamu tuh.”

“Na, it’s the least I can do. Pengen aja sih aku bayarin pacarku liburan, kenapa nggak boleh? Nominal segitu nggak sebanding sama apa yang udah kamu kasih ke aku selama ini, paham?”

“Aku nggak pernah kasih kamu apa-apa deh perasaan.”

“Waktu, tenaga, dan cinta kamu buat aku. Kamu pikir itu bukan apa-apa?”

“Ya tapi kan aku nggak pamrih, aku tulus dan ikhlas ngasih itu semua buat kamu. Aku nggak ngarepin balasan apa-apa dari kamu.”

“Duh kesel deh. Ngeyel banget sih ini pacar satu. Iya aku tau kamu tulus dan nggak pamrih, aku bayarin kamu liburan memang aku yang pengen aja. Udah ya, jangan dibahas lagi? I love you, Sayang.”

“Geli dengernya.”

“Biarin, emang aku cinta kok sama kamu.”

I love you too, Cintaku.”