Deluna

CHAPTER 12.

Bro! Gimana Jepang? Kaget aja gue tiba-tiba liat postingan lo kemarin lagi di Jepang.”

Hari Selasa pagi, Hyunjae baru saja tiba di kantornya dan Sangyeon yang selang lima menit tiba lebih dulu, langsung menyambut Hyunjae dengan cengiran lebar di wajahnya. Sambil menunggu Hyunjae memberikan jawaban, Sangyeon mendekati meja Hyunjae dengan dua cup Americano panas di masing-masing tangan kanan dan kirinya.

“Nih, satu buat lo,” kata Sangyeon lagi, disimpannya satu cup Americano yang tadi sengaja ia beli untuk Hyunjae di coffee shop seberang kantor.

“Wah, thanks, Sang. Tau aja gue butuh yang rada kenceng pagi ini.”

“Udah kebayang sih. Capek pasti lo, balik dari Jepang pasti mondok dulu kan di tempat Luna?”

“Hehe iya. Tapi nggak nginep sih, nganter dia ke unitnya sambil gue istirahat bentar. Maleman gue pulang ke unit gue.”

“Seneng lo di Jepang? Kok nggak bilang-bilang mau kesana sih, Jae, tau gitu kan gue bisa titip ke lo.”

Sorry, dadakan banget soalnya. Jumat malam mendadak cari tiket, itu juga yang ngurusin anak-anak kantornya Luna.” Hyunjae berhenti sebentar. Dengan sebelah tangan bersandar pada meja kerjanya, tangan satunya mengambil cup Americano pemberian Sangyeon tadi sebelum menyesapnya. “It was fun. Liburan pertama gue bareng Luna. Ya itung-itung hiburan dulu buat Luna sebelum gue tinggal dua minggu ke Busan.”

“Ngomong-ngomong Busan, si Kevin denger dari anak Interior katanya kita berangkat hari Minggu. Belum official sih, kayaknya hari ini bakal dibicarain pas meeting sore sama Pak Choi.”

Hyunjae mengernyitkan dahinya. “Minggu? Minggu kapan? Tanggal berapa?”

“Minggu weekend ini, tanggal tujuh.”

Jawaban Sangyeon membuat Hyunjae yang tadinya akan menyesap Americano-nya lagi, terhenti. Tangannya buru-buru menyambar kalender di mejanya, berusaha mengkonfirmasi tanggal dan hari yang disebutkan Sangyeon. Hyunjae sungguh berharap Sangyeon membuat kesalahan perihal tanggal keberangkatannya ke Busan ini.

Ketika mata Hyunjae mendapati hari Minggu weekend ini jatuh di tanggal tujuh November seperti yang Sangyeon ucap, ia mendesah kecewa sambil menyimpan kembali kalender di mejanya tanpa semangat.

“Kenapa?” tanya Sangyeon bingung.

“Luna ulang tahun tanggal delapan,” jawab Hyunjae.

Oh shit. I’m sorry, Jae. Lo udah ngerencanain apa buat dia?”

“Birthday dinner doang sih, nggak yang heboh-heboh. Lo tau gue lah.”

Early birthday dinner aja, Jae, sebelum kita berangkat. Gimana?”

I’ll think about it. Gue berharap Kevin salah denger sih.”

“Salah denger apa hei? Pagi-pagi nama gue udah disebut.”

Hyunjae dan Sangyeon menoleh berbarengan ke arah Kevin yang baru memasuki ruangan. Mereka berdua tidak menyadari kedatangan Kevin karena sedang dalam posisi membelakangi pintu ruangan mereka.

“Oleh-oleh Jepang mana ya ngomong-ngomong?” lanjut Kevin lagi setelah menyimpan tasnya di kursi, sambil melepas coat abu-abunya.

Hyunjae terkekeh. “Sorry ya, nggak sempet belanja oleh-oleh. Dadakan dan mepet banget waktunya, Kev.”

“Tuh, tanyain ke Kevin bener nggak soal jadwal berangkat ke Busan,” kata Sangyeon. “Gue mau ke pantry dulu ya.”

“Kata anak Interior sih, tanggal tujuh minggu ini.”

“Kok mereka bisa tau ya? Kita aja belum dikonfirmasi sama Pak Choi kan tanggalnya?”

“Beberapa dari mereka ada yang ikut ke Busan ternyata, dan udah di-announce di group chat Interior soal jadwal perginya. Sore nanti kita meeting kan sama Pak Choi? Sekalian bahas jadwal sih pastinya.”

Hyunjae menarik kursinya, meninggalkan Americano yang isinya tinggal setengah di atas meja di samping monitornya.

“Gue mau susul Sangyeon ke pantry, ada mau titip sesuatu dari pantry?” tanya Kevin yang sudah berada di ambang pintu.

“Nggak, Kev. Thanks.” Jawaban singkat Hyunjae dibalas anggukan oleh Kevin sebelum ia meninggalkan ruangan.

Sambil menunggu komputernya menyala sempurna, Hyunjae mengeluarkan ponselnya. Hatinya gundah seketika, mengetahui bahwa ia tidak akan bisa melancarkan rencana birthday dinner untuk Luna. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia majukan acaranya menjadi early birthday dinner seperti masukan Sangyeon tadi? Hyunjae meremat kepalan tangannya, kesal. Ia merasa tidak punya pilihan yang baik untuk menggantikan rencana birthday dinner-nya untuk Luna.

Na, lembur nggak nanti?

Ketemu yuk pulang kantor.

Selesai mengetik pesan untuk Luna, Hyunjae meraih map folder yang ia simpan rapi di sisi kanan mejanya, dan mulai mempelajari ulang rincian data mengenai konsep tahap perencanaan proyek barunya. Sesekali fokusnya terbagi dua dengan aplikasi arsitektur yang ia buka di komputernya.

Ponsel Hyunjae bergetar. Balasan dari Luna masuk.

Belum tau, tapi kayaknya nggak lembur.

Ada apa kok ngajak ketemu malam ini? Rencana kita ketemu lagi kan besok, Yang?

Ke tempat ahjusshi yuk, mau nggak? Pengen es krim mintchoc, udah lama nggak makan itu.

Mobil kamu tinggal di kantor aja malam ini, aku jemput kamu nanti.

Ngidam banget kamu, Yang? Tiba-tiba ajak makan es krim.

Aku nyetir aja sendiri biar kamu nggak bolak-balik. Kita ketemu di sana aja ya.

Hehe iya. Sekalian pengen ngobrol.

Ya udah nanti sore aku kabarin lagi ya, Na. Love you.

Ya sayang. Love you too.

“Hai, Kak Jaehyun. Selamat pagi.”

Hyunjae mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, menuju arah suara yang ternyata bersumber dari Jisoo yang baru datang—diikuti dengan Sunwoo di belakangnya.

“Pagi, Bang Jae.” Sapaan kali ini berasal dari Sunwoo.

Hyunjae menatap Jisoo dan Sunwoo bergantian. “Kalian dateng barengan?” selidik Hyunjae. Kecurigaannya bertambah ketika Jisoo menghindari tatapannya dengan menyibukkan diri merapikan meja kerjanya—sementara Sunwoo hanya memberikan cengiran lebar di wajahnya sambil menyalakan komputer.

Hello, nanya loh gue ini. Butuh dijawab,” ucap Hyunjae lagi. Gemas ketika tidak satu pun dari mereka menjawab pertanyaannya. Ini aneh, pikir Hyunjae.

“Aku ke pantry dulu,” alih-alih menjawab pertanyaan Hyunjae, Sunwoo malah berkata pada Jisoo sebelum menghilang keluar dari ruangan.

“Ji?” tanya Hyunjae yang masih penasaran, sambil mendekati meja Jisoo yang berada di seberang mejanya. “Sejak kapan Sunwoo nyebut dirinya ‘aku’ ke kamu?”

“Jangan kasih tau yang lain ya, Kak? Nanti aku diledekin.”

“Eh? Maksudnya?”

“I-iya… tadi kesini bareng Kak Sunwoo,” jelas Jisoo. Hyunjae menangkap rona merah di pipi Jisoo. “Dijemput.”

Hyunjae membulatkan matanya dengan mulut setengah ternganga. “Kamu sama Sunwoo—”

“Nggak, Kak, nggak ada apa-apa. Baru mulai deket aja,” sergah Jisoo buru-buru.

Senyum tersungging di wajah Hyunjae. Ia harus segera memberitahukan ini pada Luna. Benar kan dugaannya—Jisoo sama sekali bukan naksir Hyunjae, tapi Sunwoo!

“Kak? Kenapa?”

“Eh, nggak apa-apa. Kaget aja saya, tiba-tiba kamu sama Sunwoo. Semoga lancar PDKT-nya ya.”

“Beneran nggak apa-apa kan, Kak?”

Of course. Saya tinggal dulu ya.”

Hyunjae melangkahkan tungkai kakinya secepat yang ia bisa ke arah pantry—ingin menemui Sunwoo. Sekaligus memberitahukan hal ini pada Sangyeon dan Kevin juga.

Ketiga teman satu timnya itu sedang mengobrol sambil ngemil biskuit yang memang disediakan untuk staff di pantry, ketika Hyunjae membuka pintu pantry dan menyerbu masuk ke dalamnya. Beruntung, tidak ada siapa-siapa lagi di sana selain mereka berempat.

“Bocah dasar, tiba-tiba udah ngegebet Jisoo aja. Dari kapan, Woo?” tanya Hyunjae tanpa basa-basi sambil meninju pelan bahu Sunwoo.

Sangyeon dan Kevin bertukar tatap, bingung.

Sunwoo menggaruk belakang kepalanya, salah tingkah. “Hehe, Bang. Malu ah, diumumin begini. Belum apa-apa, kok, baru coba ajak jalan aja hari Minggu kemarin iseng. Eh, taunya dia mau. Terus gue ajak pergi bareng juga pagi ini dan dianya masih mau.”

“Wiiih, semangat, Woo! Pepet terus jangan dilepas. Tapi awas lho ya, mesti tetep profesional sama urusan kerjaan,” kata Sangyeon.

“Iya siap. Doain lancar ya. Soalnya.. ngg, sebenernya…,” Sunwoo berhenti. Matanya menatap Hyunjae ragu-ragu.

“Apaan? Bikin penasaran aja,” ujar Kevin. “Sebenernya kenapa?”

“Bang Jae, sorry ya gue ngomongin ini. Tapi lo nggak usah jadi beda ke Jisoo, ya. Janji dulu.”

“Hah apa sih gue nggak paham?”

“Janji dulu, Bang.”

“Iya, janji. Whatever.”

“Jisoo tuh jujur banget anaknya, polos sih menurut gue. Dia bilang maaf karena sebelumnya nggak pernah ngeh sama gue yang emang udah suka dia dari awal-awal dia masuk sini. Soalnya… dia naksir lo, Bang.”

Jika Hyunjae sedang minum, ia yakin dirinya akan tersedak saat ini. Untunglah Hyunjae hanya sedang bersandar pada meja konter sambil melipat tangannya di dada. “Bercanda lo,” ujarnya pendek.

“Yeee, orang Jisoo sendiri yang bilang, ngapain gue bercanda. Dia bilang dia naksir lo banget, Bang. Ganteng katanya, terus baik. Tapi dia tau udah ada hati yang lo jaga, Kak Luna. Makanya dia pendem aja tuh perasaannya ke lo. Sampai weekend kemarin dia lihat postingan lo yang lagi di Jepang sama Kak Luna, disitu dia akhirnya bertekad mau move on dari lo.”

“WOW!”

Yang paling pertama bereaksi adalah Sangyeon. “WOW!” ucap Sangyeon sekali lagi. “Beneran magnetnya cewek-cewek lo ini, Jae.”

“Gue… antara kaget nggak kaget sih. Udah pernah bahas ini sama Jacob sebenernya, kita berdua udah curiga,” kata Kevin.

“Terus lo dijadiin alat bantu biar Jisoo bisa move on dari Jaehyun, gitu Woo?” tanya Sangyeon lagi.

“Ya… bisa dibilang gitu sih. Nggak apa-apa gue sih, nyantai aja. Itung-itung bantuin dia biar lupain Bang Jae, biar hubungan Bang Jae sama Kak Luna juga aman dari gangguan. Hehe.”

Hyunjae masih belum berkomentar. Ia bingung, tidak menyangka ada cerita seperti ini di balik PDKT-nya Sunwoo dan Jisoo. Di satu sisi ia jadi merasa tidak enak pada Sunwoo, di sisi lain ia mengagumi insting Luna yang ternyata benar adanya soal Jisoo yang menyimpan rasa pada dirinya.

“Woo, sorry… Gue nggak tau. Bener-bener nggak tau,” kata Hyunjae akhirnya.

“Ya nggak apa-apa, Bang. Kenapa juga lo jadi minta maaf. Lagian nggak aneh juga sih lo nggak sadar, mata dan hati lo beneran udah kekunci buat Kak Luna doang soalnya.”

“Iya… Lo semangat ya, Woo? Pelan-pelan aja jangan rusuh, takutnya Jisoo kabur kalau lo rusuh. Kita dukung biar lo jadi.”

Thank you, abang-abang semuanya. Balik ke ruangan, yuk. Oh ya Bang Jae, janji ya lo jangan jadi beda ke Jisoo. Tetep kayak biasanya aja.”

“Iya, don’t worry.”

***

Tangan Luna bergerak memutar setir ke arah kiri, memasuki area parkir salah satu kafe favoritnya ini. Dari jumlah mobil yang lumayan banyak mengisi area parkir, sepertinya kafe ahjusshi sedang agak ramai pengunjung malam ini. Walau begitu, Luna masih berhasil mendapat satu spot parkir kosong tepat di sebelah mobil SUV hitam yang sangat dikenalnya. Ya, Luna memarkirkan sedan putihnya tepat di samping SUV hitam milik Hyunjae.

Setelah memastikan mobilnya aman terkunci, Luna melangkah masuk ke dalam kafe, dan seperti biasa langsung menerima sambutan hangat dari ahjusshi yang sedang berdiri di etalase es krim.

Mint choco?” tawar Ahjusshi sambil tersenyum.

“Iya, Ahjusshi. Satu cup ya,” jawab Luna.

“Oke, siap.” Dengan cekatan, Ahjusshi langsung mengambil cup es krim berukuran sedang dan mengisinya dengan es krim mint choco sampai penuh. “Silakan, Jaehyun ada di teras ya seperti biasa.”

“Wah, dikasih banyak banget ini es krimnya. Nanti customer yang lain bingung loh kenapa mereka nggak dapet sebanyak ini.”

“Hehe nggak apa-apa, khusus buat pelanggan favorit aja bonus es krimnya banyak.”

“Makasih banyak, Ahjusshi. Luna ke teras dulu ya.”

Benar saja dugaan Luna, situasi kafe malam itu memang agak ramai dan kebanyakan pengunjungnya adalah pegawai kantoran seumuran Luna dengan pakaian kerja masih melekat. Ada yang rombongan, ada yang hanya berduaan, ada juga yang sendiri dan masih berkutat dengan laptopnya.

Sampai di teras, Luna langsung mendekati spot favoritnya saat dilihatnya siluet tubuh jangkung kekasihnya yang sedang duduk sambil memainkan ponsel di tangannya.

“Hai, Sayang,” sapa Luna sambil mengusap pundak Hyunjae dan mengecup pipinya dari belakang. Luna lalu berjalan memutari meja, duduk di hadapan Hyunjae.

“Sayang, kaget aku dikirain siapa main cium pipi aku. Susah parkir nggak? Agak penuh soalnya parkiran.”

“Dapet dong, pas di sebelah mobil kamu.”

“Oh ya? Syukurlah. Yang, duduknya sini dong sebelah aku.”

“Enakan gini nggak sih depan-depanan daripada sebelahan?”

“Maunya sebelahan, biar bisa sambil peluk dikit.”

Begitu Luna menduduki kursi di sampingnya, Hyunjae langsung memberinya pelukan erat. Sambil menyibak rambut panjang Luna ke belakang, diciumnya pipi Luna. Agak lama sampai Luna bisa merasakan wajahnya memanas karena malu.

“Sayang, malu banyak orang. Kamu lagi kenapa sih?”

“Kangen sama pacar sendiri nggak boleh?”

“Bukan gitu ih, malu lagi banyak orang.”

“Yang, aku ada yang mau diomongin.”

Luna mulai menyendokkan es krim ke mulutnya, lalu ganti menyuapkan es krimnya ke Hyunjae. “Ngomong aja, aku dengerin.”

“Minggu depan kamu ulang tahun… Tapi aku minta maaf ya, Sayang, nggak bisa rayain ulang tahun kamu. Tanggal tujuh aku berangkat ke Busan.”

Es krim mint chocolate yang tadinya terasa enak di lidah mendadak menjadi hambar segera setelah Luna mendengar apa yang dikatakan Hyunaje. Sebetulnya, dari awal saat Hyunjae berkata awal November ia akan berangkat ke Busan, Luna sudah mempersiapkan mental untuk kemungkinan tidak bertemu Hyunjae di hari ulang tahunnya. Luna benar-benar tidak menyangka ketakutannya menjadi kenyataan.

“Maaf ya? Jangan marah ya, Na.”

“Nggak mungkin aku marah, Yang. Udah, jangan jadi beban pikiran kamu ya, Jae. Kita masih bisa video call atau teleponan nanti. I’ll be okay, kan aku udah janji nggak akan rewel selama ditinggal kamu.” Berbanding terbalik dengan yang ia rasakan sesungguhnya, Luna memutuskan untuk tidak mengutarakan kesedihannya pada Hyunjae. Luna tidak ingin membuat Hyunjae berat meninggalkannya untuk urusan di Busan. Luna tahu betul, mereka sudah bukan di usianya lagi untuk ribut masalah ketidakhadiran saat ulang tahun.

“Harusnya aku tenang dengar jawaban kamu, tapi malah semakin bersalah rasanya, Na. I’m so sorry, aku nggak bisa apa-apa soal ini.”

“Kamu nggak perlu ngerasa bersalah. Kamu kan ke Busan untuk kerja, bukan untuk main-main. Aku udah gede, masa mau ngambek cuma gara-gara ulang tahun nggak ditemenin?”

“Iya, kamu udah gede bukan bocil lagi ya?” kata Hyunjae gemas sambil memencet hidung Luna.

“Sakit ih, kenapa sih cubit-cubit hidung.”

“Sakit ya? Maaf yaa.”

Dan dikecupnya pucuk hidung mancung Luna.

“Stop cium aku di tempat ramai. Maluuu,” Luna berbisik di telinga Hyunjae sambil meremat telapak tangan Hyunjae.

“Biarin, biar semesta tau kamu itu punyaku.”

Luna blushing.

Sungguh ia masih tidak terbiasa dengan sikap Hyunjae akhir-akhir ini. Sepertinya sifat tsundere-nya mulai menguap entah kemana.

“Satu lagi yang mau aku omongin, yang ini agak lebih berat kayaknya buat kamu, Na…”

Luna menatap Hyunjae was-was.

Hah ada lagi?

“Aku pulang dari Busan tanggal 22 siang baru jalan dari sana, sementara kata nuna-ku jadwal fitting bajunya dimulai dari pagi jam 10. Jadi… nggak apa-apa ya kamu ke rumahku sendiri? Pulang dari Busan aku langsung ke Songdo, kita ketemuan di rumah.”

“Yang… serius aku mesti sendirian ke rumah kamu? Bakal ada siapa aja nanti di sana? Aku mules nih bayanginnya.”

“Tenang aja, aku udah titipin kamu ke Nuna dan Mama buat dikenalin ke keluargaku yang nanti datang. Paling ada sepupu-sepupu sama temennya Nuna sesama bridesmaid.”

Tangan Luna memainkan sendok es krimnya. Gugup. Tidak menyangka permintaan Hyunjae agak sedikit berat kali ini.

“Na? Nggak apa-apa kan?”

“Berita apa lagi yang mau kamu sampein malam ini? Aku mules, Yang, beneran.”

“Ada satu lagi, tapi jawab dulu yang ini. Nggak apa-apa kan kamu sendirian ke rumahku?”

Ya mau gimana lagi, Hyunjae? Memangnya aku ada pilihan?

“Iya, nggak apa-apa, Jae. I can handle it.”

Good. Makasih, Sayang.”

“Minta nomor Kak Jaesung jangan lupa, kamu masih belum kasih nomornya ke aku. Lalu, berita selanjutnya apa? Udah ya please ini yang terakhir kan?”

“Ah ya, nomornya Nunawait.” Hyunjae meraih ponselnya dan mengirimkan kontak kakaknya untuk Luna simpan. “Lalu, ini yang terakhir. Soal Jisoo. Tadinya aku pikir nggak penting tapi rasanya kamu perlu tau juga.”

“Jadi, dugaan kamu bener. She has feelings for me.”

“NAH KAN! Apa kubilang—”

But—jangan emosi dulu dong, Yang. Ada tapinya.”

“Apaan tapinya?”

“Sekarang udah nggak. Well, at least mencoba untuk move on—lupain aku. Ya karena dia tau aku udah punya kamu. Dia sekarang lagi PDKT sama Sunwoo. Jadi please ya, mulai sekarang udah nggak usah cemburu-cemburu lagi sama Jisoo.”

Luna merotasikan bola matanya. “Ya udah, bagus deh kalau gitu.”

“Terus, aku mau tanya. Kamu mau kado ulang tahun apa dari aku? Kita cari bareng ya, sebelum aku pergi ke Busan.”

Luna menggelengkan kepalanya cepat. “Aku cuma pengen kamu pulang selamat dari Busan, udah itu aja.”

Hyunjae tertawa mendengarnya. “Yang, aku ini arsitek bukan tentara. Aku mau ketemu vendor-vendor konstruksi disana, bukan mau ke medan perang.”

“Tetap aja, aku khawatir. Ini pertama kalinya jauhan dari kamu untuk waktu yang lama.”

“Makanya… cepat-cepat dihilangin ya trauma soal nikahnya? Biar aku bisa cepet nikahin kamu. Jadi kalau aku ada kerjaan di luar kota, kamu bisa ikut aku.”

“Ya kan aku juga kerja? Tetep aja nggak bisa ngikut kamu walaupun kita udah nikah.”

“Kamu berhenti kerja lah. Atau cari kerjaan yang bisa dari rumah, nggak mesti ke kantor apalagi dinas ke luar kota. Aku pengen kamu nanti full time di rumah. Ngurus aku, ngurus anak-anak kita.”

“Na, aku nggak bercanda soal ingin nikahin kamu. Kamu tau? Aku ini lagi giat banget nabung karena aku nggak ingin kamu ngelewatin masa susah setelah kita nikah nanti. Satu hal yang jadi impianku setelah kita nikah, aku mau pindah ke apartemen—atau rumah—yang lebih besar dan nyaman dari yang aku tempatin sekarang.”

“Sayang…”

“Papaku yang bikin aku jadi ambisius gini. Maksudnya, aku pengen kelak seperti Papa yang bisa kasih kehidupan yang baik dan nyaman untuk keluarganya. Aku harus jadi suami dan ayah yang bertanggung jawab nantinya.”

“Hyunjae, kita baru kenal tiga bulan? Empat bulan? Tapi kamu udah memikirkan sampai sejauh itu untuk kita. You’re just… too good to be true.”

“Karena kamu seberharga itu buatku, Na.”

“Jadi, udah kepikiran mau kado apa dari aku?”

“Hmm, aku mau…” Luna berhenti untuk meraih tangan Hyunjae dan menyematkannya dalam genggaman tangannya. Ia juga mencondongkan wajahnya mendekati wajah Hyunjae, dan berbisik di telinganya, “Kamu tetap sayangi aku seperti ini. Jangan menyerah kalau ada ujian apapun itu di hubungan kita. Aku mau kamu tetap sehat, tetap jadi Lee Jaehyun yang bahagia, penyayang, dan bijaksana. Kasih itu untuk kado ulang tahunku ya?”

Sebelum Hyunjae sempat menjawab, Luna mengunci bibir Hyunjae dengan bibirnya. Ciuman malam ini, adalah ciuman paling penuh cinta yang Luna rasakan.

“Tadi katanya malu dicium karena banyak orang?” Hyunjae berkata sambil mengusap bibir bawah Luna dengan ibu jarinya, membersihkan sisa ciumannya.

“Biarin, udah nggak malu. Biar semesta dan seisinya tau kamu punyaku.”

Hyunjae tertawa mendengar Luna meniru ucapannya. “Kamu itu lucu. Kadang lucu gemesin, kadang ngeselin.”

“Loh kok ada ngeselinnya? Kapan aku ngeselin?”

“Kamu ngeselin kalau aku lagi kangen pengen ketemu, pengen anter jemput kamu ke kantor tapi kamunya maksa mau nyetir sendiri aja. Kayak hari ini nih.”

“Ya kan aku kasian kamu jadi repot mesti berangkat lebih pagi buat jemput aku, dan pulang lebih malam karena nganter aku pulang dulu. Padahal aku bisa pulang pergi sendiri. Lagian nanti aku dicap manja sama orang-orang.”

“Manja sama cowok kamu sendiri emangnya kenapa? Lagian aku tuh nggak repot, Na, kantor kita kan nggak begitu jauh.”

“Iya sayang aku tau kamu nggak ngerasa kerepotan. Tapi apa ya… Mungkin karena aku anak tunggal jadi Mama sama Ayah didik aku untuk mandiri dari kecil. Dulu waktu TK, Mama pas hari pertama masuk aja nungguin aku seharian di sekolah. Hari kedua dan seterusnya Mama cuma drop aku dan jemput pas jam pulang—di saat anak-anak lain pada nangis nggak mau ditinggal mamanya. Pas SD, dari kelas satu sampai kelas enam aku ikut jemputan sekolah bareng temen-temen yang lain. Padahal Ayah ada sopir pribadi waktu itu, tapi nggak dikasih buat aku, khusus buat anter jemput Ayah ke kantor aja.”

Hyunjae tersenyum mendengar cerita Luna. Pantas saja, Luna tumbuh menjadi pribadi yang benar-benar dewasa, mandiri dan cekatan. Masih kuat dalam ingatan Hyunjae ketika Luna merawatnya dengan telaten saat ia sakit sepulang dari acara gathering kantor. Kala itu Luna selain sibuk harus membagi waktu antara kantornya, mengurus Hyunjae yang sakit, menemani orangtuanya yang sedang berkunjung ke Seoul, ditambah lagi membantu mengurusi apartemen Hyunjae. Bagi Hyunjae, Luna benar-benar paket lengkap dan ia sampai detik ini sungguh merasa bersyukur memiliki Luna di hidupnya.

“Kamu itu perempuan hebat, Na. Didikan Mama dan Ayah juga hebat. Bisa-bisanya kamu, anak perempuan satu-satunya dari keluarga berada, hidup semandiri ini di negara orang. Kamu cantik, pinter, mandiri, baik. Kurang apalagi, ya?”

“Hehe udah dong jangan dipuji berlebihan gitu ah. Aku tetap manusia yang punya banyak kekurangan. Semoga kamu menerima aku nggak hanya dengan kelebihanku, tapi juga kekuranganku.”

“Aku menerima kamu—mencintai kamu—dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, Na. Sayang banget sama kamu, Annastasia Fideluna Diyose.”

“Hyunjae.”

“Ya?”

“Kamu itu akhir-akhir ini kenapa berubah? Kamu yang tadinya jarang muji aku, sekarang sering banget bikin kupingku geli karena denger pujian dari kamu. Kamu juga jadi afeksionis banget. Kenapa Jae?”

Don’t you like it? Kamu nggak suka aku kayak gitu?”

“Bukan, aneh aja dan aku pengen tau kenapa.”

“Eric kasih aku masukan untuk lebih ekspresif ke kamu, dan menurutku masukan dia ada benarnya juga.”

“Eric si bocah tengil itu? Gaya banget dia sok-sokan kasih kamu masukan.”

“Tega banget adek sendiri dikatain tengil kamu tuh, Na,” kata Hyunjae sambil tertawa. “Gitu-gitu juga Eric sebetulnya dewasa lho. Terbukti kan, dia bisa kasih aku masukan yang baik.”

“Hmm, ya sih, aku setuju. Anyway sayang, kamu udah order makanannya kan? Kok masih belum datang ya? Aku lapeeer.”

Bola mata Hyunjae kontan membulat besar mendengar perkataan Luna. Ia baru ingat, tadi sesaat setelah ia mengabari Luna kalau ia sudah tiba lebih dulu di tempat ini, Luna langsung memintanya untuk memesankan makan malam mereka. Tapi setelah Hyunjae bertemu dan mengobrol dengan ahjusshi sambil menyantap es krim mint choc yang diidamkannya, mendadak Hyunjae lupa memesankan makan malamnya.

“Yang aku—”

“—lupa kan pasti?”

Hyunjae mengangguk. “Iya, maaf aku lupa.”

Luna hanya bisa memandangi tingkah kekasihnya ini sambil menggelengkan kepala ketika Hyunjae dengan panik langsung berdiri dari duduknya dan mencari-cari waiter yang sedang tidak melayani meja lain.

Akibat pelupanya Hyunjae ini, Luna yang sebetulnya sudah lapar merasa harus menyabarkan diri menunggu makanan yang jangankan dibuat, dipesan saja bahkan belum.

Dasar Lee Jaehyun! ucap Luna dalam hati. Untung sayang!

***

“Hei, jadi gimana? Bisa nggak kasih permintaan tadi jadi kado ulang tahun buat aku?”

“Iya, bisa Sayang. Aku sayang kamu banget, Annastasia Fideluna Diyose.”