Deluna

Chapter 4.

Video call bentar dong.”

Luna membaca chat singkat dari Sarah di aplikasi KakaoTalk-nya. Nggak lama, dia berjalan ke arah meja kerjanya yang terletak di sudut kamar. Setelah menyalakan laptop, Luna menghubungi Sarah.

“Hey, kenapa?” tanya Luna setelah video call-nya terhubung dengan Sarah.

“Gue tegang besok,” jawab Sarah di layar, sambil membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. “Nggak tau selalu tegang aja tiap mau ngurusin klien di luar kota.”

“Lah kenapa, kan sama aja?”

“Kali ini klien kita agak nggak main-main sih, Na. Posh et Beauté, gitu loh. Itu perusahaan gede banget nggak becanda, semoga tax record mereka rapi nggak jelimet ya… huhu deg-degan gue.”

Besok sore Luna, Sarah dan Nara ditugaskan ke Busan untuk mengurusi verifikasi audit pajak perusahaan kosmetik Prancis raksasa—Posh et Beauté—yang mempunyai ratusan gerai tersebar di seluruh dunia. Kebetulan kantor pusat Posh et Beauté yang ada di Korea berada di Busan, bukan Seoul. Perusahaan ini sudah dua tahun belakangan menjadi klien tetap kantornya Luna untuk urusan verifikasi audit pajak. Klien ini sebetulnya pegangannya Nara, Jieun dan Raeya. Tapi semenjak Jieun-Raeya ketambahan pegangan klien baru dan dipindahkan ke tim lain, akhirnya Sarah masuk di tim Nara dan Luna bergabung sebulan setelah Sarah. Nara, Sarah dan Luna berada di bawah tim managing director yang sama.

“Bukannya nggak bersyukur, tapi kadang gue kangen posisi gue sewaktu masih jadi junior auditor. Less pressure banget,” tambah Sarah.

“Hei jangan gitu. Makanya lo diangkat jadi senior auditor juga ya karena dianggap mampu. Jangan suka underestimate potensi diri sendiri gitu ah. Yuk, semangat! Udah sampe mana beberes bajunya? Inget ya kita bukan mau liburan, cuma 4 hari di Busan nggak usah heboh bawaannya.”

Sarah menanggapi Luna dengan decakan pelan, “I know, thanks for reminding, Darling. Dan hmmm.. udah sih gue rasa barang bawaan gue udah beres buat besok. Jadi, besok kita cabut jam berapa dari kantor? Siapa yang nganterin ke stasiun?”

“Jam 3 kita cabut dari kantor, katanya sih Pak Jeong yang ditugasin anter kita ke stasiun. Jangan lupa segala tiket kereta sama voucher hotel dibawa ya, ada di lo semua nih punya gue dan Nara.”

“Okeee. Yasud, ketemu besok ya. Gue mau tidur cepet ah, besok bakalan capek banget gue rasa. Untung dibeliinnya tiket KTX bukan yang intercity, jadi cepet nyampe Busan kita.”

“Ya, harusnya sih, semoga nggak delay.”

Bye, Na. Good night!

Selesai video call, Luna mematikan lagi laptopnya dan melanjutkan mempersiapkan segala berkas penting untuk dibawa besok. Luna tegang dan excited di saat yang bersamaan.

***

Besoknya, jam 6 sore tepat, kereta KTX yang ditumpangi Nara, Sarah dan Luna mulai bergerak meninggalkan Seoul Station.

“Sayang, aku baru jalan. Nanti dikabarin kalau udah nyampe ya.” Terdengar Nara mengabari kekasihnya, Younghoon, kalau keretanya sudah mulai berangkat.

“Ih gue kok sirik ya, udah lama nggak ngerasain ngabarin dan dikabarin pacar,” kata Sarah yang duduk di samping Nara. Luna duduk sendirian di seberang Nara, terpisah oleh lorong yang terhimpit jajaran kursi di kiri dan kanannya.

“Makanya ada yang deketin tuh ya ditanggepin, jangan dicuekin.”

“Abisnya yang deketin bukan selera gue semua. Giliran selera gue, eh dianya lempeng aja. Situ kulkas apa manusia? Dingin amat.”

“Hahaha kok sewot sih. Masih dendam lo ya sama Jaehyun?”

“Cih!”

“Lo tau kan ceritanya Jaehyun yang minta nomor Luna waktu kita dinner bareng malem itu? Lo nggak papa?”

“Iya, gue tau dan gue nggak papa sama sekali. Udah nggak berharap apa-apa juga ke cowok itu, sumpah gue nggak tahan sama dinginnya dia. Kayanya cowok tsundere nggak cocok sama gue.”

“Luna sih aneh-aneh, pake syarat segala sebelum ngasih nomornya ke Jaehyun. Nah kan, sekarang udah mau sebulan dari dinner kemarin mereka masih belum ketemu lagi. Jaehyun juga aneh, nurut aja. Eric padahal nawarin ngasih nomor Luna tapi dia tolak.”

“Ra, Jaehyun itu cowok berprinsip. Apapun yang menurut dia bertentangan sama prinsip nggak bakal dia lakuin. Itulah kenapa dia nggak cocok sama gue. Dia berprinsip sementara gue nyeleneh banget kan orangnya hehehe.”

Nara tertawa mendengar gurauan Sarah. “Yah, semoga lo dan Luna cepetan diketemuin sama jodoh kalian ya. Lo berdua itu cantik banget tau nggak. Lo turunan Prancis-Korea, si Luna Indonesia sedikit Italia. Maut banget kombinasi kalian tuh.”

“Oh, Luna ada turunan Italia-nya? Sumpah gue baru tau. Pantesan hidung dia rasanya kelewat mancung banget untuk ukuran south-east asian, ya.”

“Yelah kemana aja lo baru tau? Iya, kakek dari ayahnya kalau nggak salah, Italian. Makanya bagus ya si Luna jadinya, produk unggul banget.”

“Hahaha dasar. Lo juga cantik, Nara. Itu si Younghoon seganteng itu sampe bucinnya nggak becanda banget ke lo. Lucky you.”

“Hehe, thank you. Ngomong-ngomong, Juyeon gimana? Denger dari Hoon, lagi berusaha deketin lo ya dia?”

“Yaaa gitu sih, guenya belum ngerasa dideketin banget. Cuma sebatas dia ajak makan bareng, anter gue pulang. Chat juga belum terlalu intens.”

“Tapi ada harapan nggak buat Juyeon, seandainya dia beneran ngejar lo?”

“Boleh lah dicoba. Juyeon baik anaknya, sabar banget, cocok buat gue yang yang sumbu emosinya pendek banget ini hehe.”

“Dasar. Jangan galak-galak ke Juyo ya, nanti kabur dia. Cocok juga sih dilihat-lihat lo sama dia.”

“Iya, don’t worry. Kita berdua jalanin dulu aja sih ini, nyantai aja nggak buru-buru. Soalnya basic-nya gue sama Juyeon kan temenan, kalau nggak hati-hati takutnya ujungnya malah nggak enak dan jadi ngerusak friendship.”

Obrolan Nara dan Sarah pun terus berlanjut sampai setengah jam berikutnya, sebelum akhirnya Sarah memutuskan untuk tidur dan Nara kembali menghubungi Younghoon di ponselnya. Luna, sudah sejak tadi tertidur dengan bluetooth earphone terpasang di kedua telinganya.

***

Sudah hampir jam 11 malam ketika akhirnya Luna keluar dari kamar mandi hotel dengan rambut basah terbungkus handuk. Lelahnya luar biasa, setelah tadi jam setengah sembilan tiba di Busan Station, untungnya sopir dan mobil sewaan yang disiapkan kantor sudah tiba duluan di stasiun sehingga mereka bertiga nggak perlu menunggu lama langsung meluncur ke hotel. Sampai hotel jam sembilan lewat, setelah akhirnya urusan check in selesai, mereka langsung ngebut mandi supaya bisa cepat istirahat.

Kantornya memang tidak pernah pelit untuk urusan fasilitas saat business trip. Dapat kamar president suit dengan dua kamar mandi, jadinya tidak perlu saling tunggu lama untuk urusan kamar mandi. Dan ya, berhubung ketiganya penakut jadi memang atas permintaan mereka sendiri untuk ditempatkan satu kamar bertiga.

Dengan dua ranjang queen size, Nara dan Sarah seranjang—Nara dengan setelan piyama terusan sudah menarik selimut sampai dagu, siap tidur—dan Luna sendiri.

“Jangan lupa set alarm ya, jam 6 paling telat setengah tujuh harus udah pada bangun. Jam 8 kita cabut,” kata Luna mengingatkan, sambil memainkan ponselnya. “Sarah, lo ditanyain Juyeon nih. Dia chat gue katanya lo nggak bales chat dia.”

“Hehe biarin, sengaja tarik ulur,” sahut Sarah sambil tersenyum jahil.

“Yelah, tarik ulur segala. Nanti Juyeon kabur lo nyesel lagi. Jangan gitu ih, dia sobat baik gue awas kalau lo macem-macem,” ancam Luna.

“Dih galak amat. Iya iyaaa bentaran lagi gue bales.”

“Gitu dong.”

“Btw Na,”

“Hmm?”

“Jaehyun gimana?”

“Gimana apanya? Nggak gimana-gimana.”

“Nyesel nggak lo pake acara aneh-aneh ngandelin takdir buat ketemu lagi sama Jaehyun? Sampe sekarang belum ketemu lagi, kan. Udah mau sebulan.”

“Baru juga sebulan, nyantei aja sih. Gue nggak in a rush buat membuka hati juga lagian. Kalau ketemu dia lagi ya syukur, nggak ketemu lagi juga nggak papa.”

“Jangan gitu, jangan sok ngerasa nggak butuh pasangan. Nanti sekalinya demen, bucin lo sampe ke akar-akar ke si Jaehyun—kayak lo ke si Seokjin mantan lo.”

“Hahaha sialan. Juyeon pasti ya yang cerita. Dia sama Hoon soalnya yang nemenin gue jatuh bangun pas lagi sama Seokjin.”

“Iya Juyeon cerita, dia lebih ke ngerasa bersalah juga sih lagian, karena dia katanya yang ngenalin lo sama mantan lo itu ya.”

“Duh, masih juga ya dia ngerasa bersalah. Padahal udah puluhan kali deh gue bilang ke Juyeon semuanya bukan salah dia. Toh mantan guenya pun cowok baik kok bukan nggak bener. Sayang aja mamanya nggak bisa terima kalau calon istri anaknya bukan Korean. Maklum, dia anak laki pertama di keluarganya dan adeknya dua cewek semua. Jadi mamanya kaya nggak rela gitu anak laki satu-satunya nikah sama non Korean.”

“Sakit banget pasti ya pas putus? Berapa lama lo bareng dia?”

“Dua tahun. Ini udah mau jalan setahun gue putus tapi yaaa gitu, masih nyesek kadang kalau nggak sengaja inget dia.”

“Duh Na, sedih banget gue dengernya. Lo yang kuat ya, sabar, Tuhan akan menggantikan dengan yang terbaik dan paling pas buat lo. Sabar sayang yaa.”

Thank you, Sarah. It means a lot.”

“Yuk tidur, sebelum ngantuk gue keburu lewat nih. Besok bangunin please, kali aja gue nggak kebangun sama alarm.”

“Hahaha siap! Gue siram air kalau lo atau Nara nggak bangun.”


“Tuhaaan, akhirnya selesaiii!”

Setengah berteriak, Nara menghempaskan tubuhnya ke ranjang hotel tanpa repot-repot membersihkan badannya dulu. Sarah langsung membuka botol red wine yang disediakan di mini bar kamar mereka, dan menuangkannya ke dua gelas tinggi. Saat tangannya bergerak untuk menuangkan ke gelas ketiga, Luna buru-buru menyetopnya.

“Heiii, gue nggak ya.”

“Masih aja lo nggak mau? Ayolah kali ini, ngerayain kesuksesan kita ngeberesin kerjaan di Busan.”

“Beres apanya, inget itu utang laporan menanti buat dikasih ke Mr. Kim hari Senin. Jangan kesenengan dulu lo berdua ih.”

Nara dan Sarah melengos kesal. Baru juga beberapa menit merasakan kelegaan karena akhirnya beban tugas berat selesai, eh langsung diingatkan ke tugas berikutnya.

“Buat Senin ini, masih lama. Besok kan kita dikasih jatah libur nggak usah ngantor. Bisa dikerjain besok lah di rumah sambil nyantei. Sekarang, rayain kecil-kecilan dulu kenapa sih, Na? Having fun dikit woy!” Nara berseru sambil bangun dari kasur dan berjalan ke arah mini bar. Gelas wine-nya mengeluarkan bunyi ting saat beradu pelan dengan gelas Sarah.

Luna membuka kulkas hotel dan mencari minuman non alkohol yang bisa dinikmatinya, dan mendapati sebotol orange juice nyempil di antara bir kaleng.

“Oke, I’m having fun now, cheers sekali lagi. Untuk proyek Busan kita yang hampir kelar.” Sambil mengangkat botol orange juice-nya, Luna menunggu Sarah menuangkan lagi wine ke gelasnya dan gelas Nara.

Cheers!” sahut ketiganya berbarengan sambil tertawa.

Di tengah tawa mereka, tiba-tiba ponsel Sarah berbunyi.

“Yaa, Ju?” jawab Sarah. Juyeon yang menelepon di ujung sana.

“Iyaa ini udah selesai, udah book tiket pulang KTX jam 5 sore dari sini, masih dapet kok. Kita ini lagi di hotel, istirahat dulu sebentar terus beres-beres. Nyampe Seoul lagi sekitaran jam delapan,” lanjut Sarah. “Oh gitu, oke nanti gue bilang ke Nara. Thanks, Ju. See you, nanti gue kabarin lagi.”

“Cieee, Juyeon,” goda Nara. “Ngegas juga itu anak PDKT-nya ternyata ya,” kata Nara jahil sambil menoyor pelan bahu Sarah. “Juyo ngomong apa tadi?”

“Heee, itu… Diakatanya mau jemput gue di stasiun nanti, sekalian ngajak makan malem sebelum anter gue pulang ke apartemen. Ra, gue nggak jadi nebeng lo dan Hoon berarti, hehehe.”

“Dih, gaya bener sekarang ada yang jemputin. Ya udah nggak papa kalau nggak jadi nebeng. Ikut seneng gue denger lo sama Juy mulai deket,” kata Nara, lalu pandangannya beralih dari Sarah ke Luna yang sedang menghabiskan isi botol orange juice-nya. “Na, lo tetep ikut gue sama Hoon aja pulangnya ya. Jangan ikut Sarah sama Juyeon yang lagi PDKT, daripada lo jadi nyamuk.”

Luna tersenyum kalem menanggapi, “Nyantei aja, gue pulang pake taksi juga bisa kok lagian belum terlalu malem. Gue masih berani pulang sendiri.”

“Apaan sih heh nggak ada ya lo pulang sendirian pake taksi. Gue yakin Hoon juga pasti bakal ngelarang. Udah, ikut gue seperti rencana awal, oke?”

“Gampang, liat nanti aja. Gue nggak mau reportin. Lagian lo sama Hoon pasti kan mau kangen-kangenan, nggak enak gue ganggu.”

“Apaan si, Na—”

“Eh mulai beres-beres yuk, udah mau jam tiga. Sebelum jam 4 kita udah harus cabut ke stasiun loh,” Luna menyela, enggan meneruskan percakapan soal pulang bareng tadi.

Nara menghela napas, menyadari ada yang nggak beres dengan Luna. “Ya udah yuk beres-beres. Nggak usah mandi lagi lah ya? Nanti aja mandinya di Seoul.”

Luna dan Sarah mengangguk berbarengan.

***

Di kereta, kali ini Luna yang duduk berdampingan dengan Nara. Sarah kebagian duduk di belakang kursi Luna—dengan neck pillow menggantung nyaman di lehernya, Sarah sudah tertidur pulas.

Selesai mengabari Younghoon di ponselnya, Nara menjawil pipi Luna yang lagi menatap ke luar jendela dengan pandangan sendu.

“Na, kenapa? Lo… bukan jealous kan, Juyeon tiba-tiba ngegas deketin Sarah?” tanya Nara hati-hati.

Luna memalingkan wajahnya dari jendela dan menatap Nara dengan mata membulat. “Jealous? Na, nggak salah pertanyaan lo? Duh, gue geli nih ngebayangin gue mesti cemburu ke si Juyeon.” Pipi Luna refleks menggembung menahan tawa. “Sumpah ini skenario paling lucu banget. Lo kesambet apa sih bisa-bisanya mikir gitu?”

“Ih! Lo yang kesambet apa? Tiba-tiba abis Juy nelepon Sarah, lo sendu banget gue lihat. Mendadak nggak mau pulang bareng juga, padahal kan emang udah perjanjian kita pulang bareng dijemput Hoon di stasiun.”

“Bukan karena cemburu sama Juyeon, kok.”

“Ya terus kenapa?”

“Gue… sedih aja hehehe. Eh tapi maksudnya, gue ikut seneng lihat Juy akhirnya ada kemajuan deketin Sarah. Tapi di sisi lain gue jadi ngerasa apa ya… lonely? Kalian udah ada gandengan semua,” Luna menjawab pelan sambil memainkan ujung kardigannya. “Gue masih sendiri, dan masih belum sepenuhnya sembuh sih bahkan.”

“Na…,” Nara mengelus rambut Luna lembut. Hatinya ikut berjengit sakit mendengar penuturan Luna.

“Udah ih gue nggak papa. Feeling blue aja sedikit, tapi gue nggak papa beneran. I’m truly happy for you two!

“Nggak usah sok ceria gitu. It’s okay to not be okay. Tapi jangan kelamaan ya sayang? Yuk, belajar membuka hati pelan-pelan. Kalau lo nggak mau buka hati buat orang baru, selamanya lo akan susah sembuh, Na. Mau sampai kapan?” kata Nara lembut. “Kita memang baru mulai deket beberapa bulan ini semenjak lo pindah ke Gangnam, tapi gue berasa kayak udah kenal lama sama lo karena Hoon sering banget share ke gue soal lo. Hoon dan Juyeon itu khawatir banget Na, sama keadaan lo yang sepertinya nggak kunjung baik setelah ditinggal Seokjin.”

“Makasih ya Nara, lo baik banget mau terima gue sebagai sahabatnya Hoon. Jarang-jarang ada perempuan yang rela cowoknya sahabatan sama lawan jenis. Gue terima saran lo untuk mulai membuka hati lagi. Pelan-pelan.”

“Iya, pelan-pelan aja dan semampunya lo, Na. Jangan dipaksa. Kita semua tau segala sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan berakhir baik.”

“Nara, boleh nggak gue tetep pulang sendirian aja dari stasiun nanti? Ya? Lagi pengen sendiri.”

“Duh, ngeyel banget ini anak. Gue nggak berani iyain ah. Lo bilang sendiri ke Hoon ya, kalau dia bolehin yaudah gue oke lo pulang sendiri.”

Luna menyeringai lebar sambil memperlihatkan chat room-nya dengan Younghoon ke Nara. “Kata Younghoon boleh, asal gue janji nggak skip makan malem dan ngabarin kalau udah di rumah.”

“Aaah rese lo, diem-diem udah ngomong duluan ke Younghoon ternyata ya. Dasar! Yasud deh kalau lo tetep mau pulang sendiri.”

***

Luna mengeluarkan beberapa lembaran uang sepuluh ribu dan lima ribuan won dari dompetnya, dan menyerahkannya ke supir taksi sebelum turun. Dengan menarik koper cabin size di tangan kiri dan tote bag merk Tods warna hitam tersampir di bahu kanannya, Luna berjalan memasuki kafe langganannya yang terletak nggak jauh dari stasiun, tapi masih cukup jauh dari apartemen Luna.

Pemilik kafenya sampai hafal dengan Luna saking seringnya dia kesini demi memburu es krim mint choco kesukaannya. Sebetulnya es krim merk apapun Luna suka, tapi mint choco di kafe ini punya rasa terbaik menurut Luna karena tekstur es krim home-made nya yang sungguh terasa lembut. Beda rasanya dengan es krim keluaran pabrikan.

“Selamat malam, Ahjusshi,” Luna menyapa pemilik kafe yang sedang berada di balik counter es krim. “Aku udah lama nggak kesini ya?”

“Luna!” sahut ahjusshi itu dengan ramah sekaligus kaget. “Kemana aja? Iya udah lama nggak lihat kamu kesini. Sehat? Kamu darimana kok malam-malam gini bawa koper?”

“Habis dinas ke Busan, ini baru banget pulang dari stasiun. Aku lapar, pengen pesen makan take away ya, Ahjusshi. Biasa, sambil nunggu mau mint choco juga satu cup.

Setelah memesan makanannya, Luna berjalan ke teras kafe dan duduk di spot favoritnya. Udara malam yang tidak terlalu dingin tapi berangin cukup kencang membuat Luna merapatkan kardigannya. Setelah menyamankan posisi duduknya, Luna mulai melahap mint choco kecintaannya dengan sebelah tangan memainkan ponselnya. Nggak perlu waktu lama, cup es krimnya langsung kosong sekejap.

Duh, kok masih pengen ya? Beli lagi aah, Luna bermonolog dengan dirinya sendiri, dan memutuskan untuk kembali ke counter es krim yang terletak di dekat pintu masuk kafe.

Begitu jarak counter dan dirinya semakin dekat, Luna melihat sosok yang dirasa tidak asing sedang berdiri menghadap counter dan menerima satu cup es krim dari ahjusshi. Kelihatannya cukup dekat dengan ahjusshi karena sekarang sosok itu sedang mengobrol sambil sesekali tertawa menanggapi ahjusshi.

Luna mengerjapkan matanya sambil melambatkan langkah mendekati counter es krim. Ketika hanya tinggal beberapa meter saja, tiba-tiba sosok itu menoleh ke arah Luna, memicingkan matanya sambil mengerutkan keningnya dan—

“Luna?” tanyanya.

Luna terkesiap. Masih dengan tatapan kaget dan mengerjapkan matanya sekali lagi. “Jaehyun?”

***

Keduanya kini tengah duduk berhadapan di teras kafe, di meja yang sama, sambil menikmati hidangan masing-masing. Jaehyun dan Luna akhirnya memutuskan untuk membatalkan orderan take away mereka dan memilih untuk menyantapnya di kafe sambil mengobrol.

“Ini kafe favorit gue, sering banget gue kesini bahkan capek pulang kerja pun kalau lagi ngidam banget gue belain kesini walaupun jauh dari kantor,” Luna membuka percakapan.

“Gue udah sering kesini dari jaman kuliah, ahjusshi-nya udah berasa om gue sendiri. Tapi kenapa rasanya gue nggak pernah sekalipun lihat lo disini ya?” balas Jaehyun. “Mint choco di sini nggak ada dua banget rasanya. Terbaik se-Korea Selatan, setuju nggak sih lo?”

“Hahaha iya bener setuju banget. By the way, iya sama gue juga rasanya nggak pernah lihat lo. Apa mungkin kita sebenernya pernah ketemu disini tapi nggak saling peduli ya? Cuma mint choco yang ada di otak gue begitu masuk sini soalnya.”

“Hahaha bisa jadi.”

Lalu hening.

Hanya dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang terdengar di sekitar mereka. Entah karena terlalu lapar, atau agak kehabisan bahan obrolan. Luna dan Jaehyun sama-sama terdiam sesaat.

“Lo… baru pulang kerja jam segini? Malem banget, Jae.” Akhirnya Luna buka suara lagi setelah menghabiskan makanannya, dan meneguk air mineral dari botolnya.

“Bukan dari kantor sih. Hari ini gue habis survei ke tempat klien, terus lanjut survei ke vendor-vendor material bangunan. Begitu beres, udah lewat dari jam kantor jadinya gue lanjut ngedesain di luar aja, males balik ke kantor kalau udah sepi. Begitulah, kerjaan arsitek.”

“Seru ya kerjaan arsitek. Kapan-kapan boleh ikut lihat lo ngedesain? Gue suka kagum sama orang yang pinter gambar, karena tangan gue adalah tangan paling nggak kreatif sedunia,” kata Luna terkekeh.

Jaehyun menganggapinya dengan tertawa. “Boleh, yuk kapan-kapan temenin gue kerja. Gue yakin sih baru sebentar aja lo pasti udah enek liatnya. Ngelihat gambaran arsitektur nggak seindah yang lo bayangkan.”

“Tetep aja, gue penasaran. Bener ya, nanti boleh lihat lo ngegambar.”

“Iya, boleh kok. Oh ya, lo sering business trip kayak gini?”

“Lumayan, tergantung kantor kliennya ada dimana. Kadang gue yang nyamperin, kadang kliennya yang kirimin semua berkas ke kantor gue. Jadi gue ngerjainnya remote gitu.”

“Kerjaan lo juga hebat, Na. Bener-bener mapan dan mandiri banget ya hidup lo.”

“Iya dong, harus. Pilihan gue tinggal jauh dari orang tua dari masuk kuliah. Jadi gue harus mendisiplinkan diri dan mandiri, supaya orang tua gue nggak khawatir.”

“Sampe belain tinggal jauh dari orang tua, sesuka itu lo tinggal di Korea?”

“Iyaaa, sesuka itu banget gue, Jae. Awalnya sempet ragu sih antara Seoul atau Tokyo. Kalau di Tokyo sebetulnya gue nggak sendirian banget karena ada sepupu seumuran yang tinggal di sana. Tapi sepertinya gue lebih cinta Seoul. Tokyo kota yang terlalu sibuk dan terlalu serius buat gue.”

Jaehyun tersenyum mendengarkan Luna yang masih berceloteh soal kehidupannya. Jujur, jarang ada orang baru yang bisa langsung bersikap terbuka pada Jaehyun karena aura dingin yang kata orang-orang terpancar kuat di diri Jaehyun. Tapi sepertinya hal itu nggak berlaku buat Luna. Buktinya Luna masih saja terus bercerita sampai dia sadar bahwa dia tidak memberikan Jaehyun kesempatan untuk berkomentar.

“Maaf, gue cerewet banget ya? Maaf ya, lo lagi capek pulang kerja malah harus dengerin gue cerita ini itu.”

“Loh kok maaf sih? Cerita lagi aja, gue seneng kok dengernya. Hidup lo seru. Hidup gue ya gini datar-datar aja hahaha.”

“Hehe apapun itu hidup lo, yang penting jangan lupa bersyukur aja sih, Jae.”

“Setuju,” sahut Jaehyun sambil menghabiskan minumannya. “Udah malem, yuk pulang. Gue boleh anterin lo pulang, kan? Please, gue maksa. Nggak mungkin gue ngebiarin lo pulang sendiri malam-malam gini, ditambah dengan bawaan lo yang banyak.”

“Ngg.. Gue nggak mau ngerepotin, Jae. Nggak enak, baru juga kenal.”

“Repot apaan, nggak kok. Justru karena baru kenal, perlu ngobrol lebih lanjut biar tambah kenal. Yes or yes?”

“Hehe, ya udah kalau bener nggak ngerepotin. Yes deh. Makasih ya sebelumnya.”

“Sama-sama.”

Mereka lalu berjalan berdampingan meninggalkan teras kafe dengan Jaehyun membantu membawakan koper Luna. Tidak lupa dia membukakan pintu kafe, menahannya untuk Luna dan membiarkan Luna keluar duluan sebelum dirinya.

***

Mobil SUV hitam Jaehyun berhenti saat traffic light yang tadinya hijau, berganti warna ke kuning dan lalu merah. Jaehyun yang hafal dengan lampu merah di daerah ini yang suka agak lama, memutuskan untuk menekan rem tangan.

“Kedinginan nggak suhu AC-nya?” tanya Jaehyun pada Luna yang lagi mengetikkan balasan pesan di ponselnya.

“Nggak kok. Gue suka dingin, nggak tahan udara panas,” jawab Luna. “Sebentar ya, mau balas chat temen dulu.” Luna lalu mengetikkan balasan cepat ke Nara yang menanyakan dimana posisinya saat ini. Setelah selesai, Luna menyimpan ponselnya di pangkuan, takut Nara masih akan membalas pesannya dan tidak terdengar jika ponselnya disimpan di dalam tas.

“Jadi, ini 2nd meet kita ya,” sahut Luna.

“Iya,” jawab Jaehyun sambil menatap jalanan di depannya dengan tangan di atas setir. “Akhirnya. Tanpa disengaja seperti yang lo mau.”

Diam-diam Luna memperhatikan siluet Jaehyun dalam gelap, hanya disinari sedikit cahaya dari lampu jalanan yang menembus jendela mobil.

Karena Jaehyun sedang menatap lurus ke depan, Luna yang duduk di kursi penumpang di samping Jaehyun jadi bisa melihat side profile wajah Jaehyun dengan jelas. Garis rahangnya yang tajam, nose bridge-nya yang tinggi dan dihiasi setitik mole kecil sebagai pemanis. Alisnya yang tidak terlalu tebal tapi juga tidak tipis, matanya yang tidak besar tapi sungguh terlihat indah dengan lipatan eyelid yang tegas, dan bulu mata yang agak panjang. Terakhir, bibirnya yang tidak tebal tapi tetap terlihat berisi terutama bibir bagian bawahnya.

Dari wajah Jaehyun, mata Luna beralih ke tangan kanan Jaehyun yang bertumpu pada setir. Karena kemeja kerjanya digulung sampai siku, semburat urat-urat halus jadi terlihat jelas di tangannya. Sepanjang lengan Jaehyun terlihat kuat dan kokoh namun jari-jarinya sungguh ramping dan halus.

“Ngeliatin apa hei?” Jaehyun menjentikkan jarinya saat sadar Luna sedang menatapnya tanpa berkata apa-apa.

Kalau ini siang hari, sudah pasti semburat merah di wajah Luna karena malu bisa terlihat jelas. “Eh, nggak papa. Sorry.”

“Kamu capek ya?” tanya Jaehyun lagi sambil mulai menginjak gas perlahan karena lampu sudah berubah hijau kembali.

Luna tersenyum simpul. Dia nggak salah dengar kan? Jaehyun menyebutnya dengan “kamu” bukannya “lo” seperti beberapa jam lalu.

“Eh iya… Kelihatan banget emangnya?”

“Nggak sih, gelap ini aku nggak bisa lihat jelas. Tapi kebayang aja pasti capek udah jam segini dan kamu masih belum istirahat setelah nempuh perjalanan jauh.”

“Iya, aku agak ngantuk. Ngg, maaf kalau nggak sopan, tapi boleh nggak kalau aku merem sebentar? Matanya lelah.”

“Ya nggak apa-apa. Tidur dulu aja, menurut GPS lumayan ini masih 20 menit lagi ke tempat kamu. Nanti aku bangunin kalau udah sampai.”

“Jae…,” panggil Luna pelan dengan mata sayu karena lelah.

“Hmm?” sahut Jaehyun, menoleh sekilas ke arah Luna sebelum memfokuskan pandangan lagi ke jalanan.

“Makasih ya.”

Dan tidak lama dari itu, Luna tertidur.