Deluna

CHAPTER 7.

Berita pacarannya Luna dan Hyunjae baru diketahui teman-teman mereka setelah hubungan resmi mereka berjalan hampir 3 minggu. Sebetulnya baik Luna dan Hyunjae nggak bermaksud menyembunyikan hal ini sama sekali, hanya saja mereka masih ingin menikmati kebahagiaan ini berdua, tanpa diusik orang banyak.

Benar saja kan, Luna dan Hyunjae langsung ditodong banyak pertanyaan dari anak-anak ketika kabar pacarannya mereka mulai tersebar.

Ini semua berawal dari acara makan siang bareng antara geng anak-anak kantor Luna dan kantor Hyunjae. Sebetulnya saat makan siang berlangsung, tidak ada satupun yang mencurigai Luna dan Hyunjae karena memang mereka berdua bersikap normal seperti biasanya. Kecurigaan dimulai karena saat Luna sedang menyetir mobil kembali ke kantor ponselnya dihubungi oleh Hyunjae, dan Nara yang saat itu duduk di samping Luna langsung mengambil ponsel Luna dan menjawab telepon Hyunjae dengan pengeras suara. Hyunjae yang tidak tahu situasi ini di ujung sana, langsung berkata, “Sayang, aku nggak balik ke kantor. Barusan klien ngehubungin perlu ketemu aku di tempatnya.”

Tubuh Luna membeku. Nara menutup mulutnya kaget. Untungnya kala itu di mobil hanya ada mereka berdua jadi setidaknya Luna selamat dari ledekan anak-anak.

“Yang, ada Nara di sini,” jawab Luna lirih. “Aku lagi nyetir, telponnya diangkat pake loudspeaker sama Nara, bukan aku.”

Hyunjae terdiam, kaget juga dia di sana.

“SEJAK KAPAN WOY KALIAN BERDUA SAYANG-SAYANGAN GITU?!” Nara akhirnya menjerit tidak tahan. “GELI GUE SUMPAH!”

“Nara apa sih?! Kaget gue woy!” Luna balas teriak dengan sewot.

Hyunjae yang mendengar keributan disana hanya bisa terkekeh salah tingkah. “Gue tutup teleponnya. Nara, sabar ya jangan marah-marah. Itu Luna mau jelasin.”

“Heh! Kamu main kabur, jelasin juga kek.”

“Kamu aja, Sayang. Bye!”

Dan Hyunjae memutus telepon begitu saja.

“Na, sejak kapan? Tega banget lo nggak cerita ke gue anjir.”

Sorry yaa, nggak bermaksud nyembunyiin. Cuma emang gue dan Hyunjae pengen nikmatin ini berdua dulu. Udah mau 3 minggu, Ra.”

“Tiga minggu? Bener-bener lo, Na. Kesel gue sama lo, kaya nggak anggap gue temen. Besok-besok lo berantem sama Jaehyun nggak usah curhat ke gue.”

“Kok gitu sih ngomongnya. Maafin gue dong.”

“Bahkan tadi kita makan siang bareng aja sama sekali nggak ngeh kalian ternyata udah resmi pacaran. Gengnya Jaehyun tau?”

Luna menggeleng, “Belum.”

“Parah ih kalian.”

“Sebetulnya dari pas lo tiba-tiba aneh bikin panggilan nama sendiri buat dia juga gue udah curiga sih. Niat amat lo sampe pengen beda sendiri gitu manggilnya.”

“Yee, itu sih udah lama banget kali. Gara-gara udah ada dua Jaehyun di kontak gue. Bukan gue sengaja pengen beda manggilnya.”

“Sekarang sih udah jelas beda ya, manggilnya jadi “Sayang”.”

“Udah dong, Ra. Udah ya…please? Maafin gue.”

“Lo galau-galau karena Seokjin larinya ke gue, giliran lo lagi bahagia nggak ada ceritanya ke gue. Sakit hati banget gue, Na.”

“Terus gue mesti gimana biar lo mau maafin?”

“Ya udah, nggak papa. Gue maafin. Jangan gitu lagi ya, janji?”

“Iya, janji. Makasih udah maafin gue.”

I’m happy for you, Na. Beneran gue seneng banget sih sebetulnya denger kabar ini. Semoga lo dan Jaehyun bahagia terus ya, gue nggak pengen liat lo sakit lagi.”

“Makasih, Sayaaang. Lo juga mesti bahagia terus sama Younghoon ya. Kalau kalian kenapa-kenapa gue bakal ikut sakit.”

Detik itu juga Nara langsung membuat pengumuman ini di group chat yang sudah jelas ada Eric disitu, yang selain kaget Eric juga langsung sibuk ngomel-ngomel di grup sebelah yang berisikan geng Hyunjae. Atas berita ini, Nara dan Eric adalah yang paling merasa terkhianati karena tidak diberi tahu.

***

Malamnya, Luna sedang mengistirahatkan tubuh di atas kasur setelah selesai mandi. Lega sekali walaupun hari Jumat, dirinya bisa pulang tepat waktu karena tidak ada laporan penting yang harus diserahkan hari Senin. Jadilah ia jam 7 malam sudah bisa bersantai di apartemennya.

Sayangnya tidak begitu dengan Hyunjae. Kliennya yang tadi siang mendadak menelepon ingin bertemu, ternyata alasannya karena ada beberapa perubahan desain konstruksi yang diinginkan kliennya padahal denah yang dibuat Hyunjae sudah hampir 80% rampung. Akhirnya demi memenuhi permintaan klien, Hyunjae rela merombak habis dari mulai desain awal, termasuk harus bolak balik menemui para vendor material bangunan dan juga menghubungi pihak kontraktor terkait perubahan konstruksi ini.

Meeting terakhir dengan pihak kontraktor akhirnya selesai jam setengah delapan malam. Hyunjae yang terlanjur bete dan kepalang kesal memutuskan untuk tidak ingin sendirian di apartemennya. Dia butuh bertemu Luna untuk sekedar menenangkan suasana hatinya.

Jam setengah sembilan, Hyunjae akhirnya tiba di apartemen Luna dengan muka kusut dan cemberut.

“Udah capek banget, pake segala macet nggak karuan di jalan,” omel Hyunjae sambil duduk di sofa depan TV. Matanya terpejam, kepalanya mengadah ke atas saking lelah.

Luna menghampiri sambil mengocek secangkir teh chamomile hangat di tangannya. “Sabar sayang, namanya juga Jumat malam pasti macet. Yang penting kamu udah disini sekarang, dan besok kan libur. Ini tehnya diminum dulu biar nggak emosi terus.”

“Aku nggak habis pikir sama klienku, bisa-bisanya dia minta ganti setelah rancangan sebelumnya dia confirm oke. Bosku nggak mau nolak, dia bilang masih bisa diusahakan perubahannya. Iya sih bisa diusahakan, tapi kita bawahan nih yang babak belur.”

Luna mengelusi punggung Hyunjae dengan sayang, “Tau nggak, Yang, kenapa bos kamu nggak mau nolak? Karena dia percaya sama kamu dan tim, dia yakin kalian mampu. Jalani aja mau diapain lagi, ya kan? Yang penting ikhlas kamunya ya. Nggak akan terasa berat kalau kamu ikhlas jalaninnya.”

Hyunjae manggut-manggut. Berusaha mencerna yang Luna ucapkan padanya. “Makasih, Yang. Doain aku kuat.”

“Doa buat kamu nggak pernah putus,” sahut Luna. “Ayo diminum dulu tehnya, nanti keburu dingin. Kamu mau nyemil apa? Aku bikinin.”

“Pengen ayam. Chicken wing pedes enak kayanya.”

“Yah maaf, belum beli lagi stok chicken wing.”

“Tadi nawarin bikinin, kamu gimana sih, Yang.”

“Ya kan ayamnya nggak ada, bapaaak. Bukannya nggak mau bikinin. Beli aja ya, mau?”

“Nggak, pengennya bikinan kamu.”

“Hadeh, nyesel nawarin.”

“Hahaha jangan gitu dong ih. Yaudah bikinin apa aja yang ada di kulkas kamu ya? Suprise me. Apapun itu pasti enak.”

“Ya udah, yang sabar tapi ya. Aku mikir dulu mau bikin apa. Kamu mandi dulu gih sambil nunggu.”

“Iya, ini juga mau mandi. Airnya?”

“Kenapa airnya? Itu air banyak di kamar mandi, tinggal pilih mau rendeman bathtub apa di shower. Kenapa sih kaya belum pernah mandi disini aja.”

“Mau rendeman. Biasanya kamu siapin airnya, sekarang kok nggak?”

“Jaehyun astaga! Tangan gue cuma dua woy, disuruh masak disuruh siapin air gimanaaa?”

“Haha galak amat sih. Pacar lagi kecapekan gini diambekin. Sini, peluk dulu.”

“Nggak! Kamu masih kotor. Aku udah bersih udah mandi, nanti aja peluknya kalau kamu udah bersih. Gih sana mandiiii,” Luna menjerit frustasi. Pacar tsundere-nya ini kalau lagi kumat manjanya memang suka bikin pusing. Tapi sebetulnya Luna menikmati juga masa-masa kalau Hyunjae sedang manja, saking langkanya momen ini.

Hampir setengah jam berlalu, akhirnya cemilan buatan Luna selesai berbarengan dengan Hyunjae yang sudah selesai mandi. Semangkuk casserole cauliflower yang baru keluar dari oven dan secangkir teh hangat sudah tersaji rapi di atas meja makan untuk Hyunjae.

Hyunjae yang keluar dari kamar Luna dengan rambut basah habis keramas, mengenakan setelan rumah kebangsaannya, t-shirt dan celana pendek merah. “Wangi banget, aku dibikinin apa jadinya?”

“Itu, casserole. Udah di meja makan.”

“Kok cuma satu? Ayo makan berdua, Yang. Temenin aku.”

“Aku kenyang, udah makan tadi. Kamu aja, habisin ya.”

Luna sedang duduk di sofa sambil memindah-mindah channel TV saat Hyunjae mendekatinya dari belakang. Menghadiahi ciuman dua kecup di kepala Luna. “Makasih udah dimasakin,” bisik Hyunjae.

“Sama-sama, selamat makan.”

***

Keesokan harinya, Luna terbangun oleh dering suara ponselnya. Ada panggilan masuk tapi Luna masih terlalu mengantuk untuk menjawabnya. Dengan mata terpejam dan menarik selimut sampai dagu, Luna berusaha mengabaikan dering ponselnya yang mengganggu.

Sang penelepon sepertinya tidak menyerah untuk menghubungi Luna sampai akhirnya Luna geram sendiri dan mengambil ponselnya geram. Dia tidak kenal nomor siapa yang meneleponnya.”

“Halo?” sapa Luna.

“Luna? Haiii, maaf ganggu pagi-pagi. Masih tidur ya?” sahut suara di seberang sana.

Wait… ini Frei? Freiya bukan?”

“Iyaaa! Nomer baru gue ini, save ya.”

“Astaga gue kira siapa pagi-pagi gini, udah mau ngomel aja tadinya hahaha. Kemana aja lo sombong banget. Curiga gue, tiba-tiba nelepon gini biasanya ada maunya.”

Ternyata penelepon adalah Freiya, sepupunya Luna. Anak kakaknya ayah Luna yang seumuran persis dengan Luna. Bedanya, Freiya sudah menikah dari usia 24 tahun dan sekarang sudah dikaruniai dua anak. Dulu sebelum Freiya menikah, dia dan Luna dekat sekali karena Freiya kuliah di Tokyo dan sering nebeng liburan di Seoul sambil menemani Luna.

Setelah menikah, keduanya sudah jarang sekali berkomunikasi apalagi bertemu karena kesibukan masing-masing. Freiya masih tinggal di Tokyo karena ia menikahi orang Jepang.

“Gue mau ke Jeju, Na. Ikut yuk!” aja Freiya tiba-tiba. “Sekalian temu kangen.”

“Lah kapan? Lo dimana sekarang?”

“Masih di Tokyo, nanti siangan jam 2 gue flight ke Seoul bareng suami sama anak-anak. Ketemuan dong ya.. please?”

“Lama nggak di Seoul?”

“Nggak lama, dua hari doang. Senin gue berangkat ke Jeju. Ayolah ikut yuk.”

“Yah nggak bisa lah gue, kan kerja. Nggak bisa cuti dadakan. Lo sih enak ngurus anak di rumah nggak mesti mikirin cuti, mau liburan tinggal cus.”

“Hehehe iya nih, laki gue masih tetep nggak bolehin gue kerja. Sia-sia deh ijazah gue. Bener lo nggak mau ikut? Sebenernya ini dalam rangka gathering kantornya suami, tapi gue agak-agak males mesti basa-basi sama Japanese.”

“Lo gimana sih, kawin sama Japanese ya resiko lah mesti ngadepin relasi laki lo.”

“Kawin beda kultur ribet juga ternyata loh, Na. Lo kalau bisa dapetin orang Indo lagi aja deh biar nggak pusing adaptasi.”

Deg.

Dada Luna serasa dihantam palu godam.

“Na? Kok diem?”

“Nggak papa hahaha. Kaget gue lo tiba-tiba ngomong gitu. Cowok gue Korean tulen soalnya.”

“Kyaaa sejak kapan? Eh ini bukan Seokjin kan?”

“Bukanlah. Seokjin udah kemana kali. Cowok baru, masih anget belum lama ini jadinya hehe. Ya udah ketemuan yuk, besok aja kalau hari ini lo capek.”

“Syukurlah, gue lega lo akhirnya mau membuka hati untuk yang baru. Yuk, nanti ketemuan ya. Eh Na, apa lo jemput gue gitu di Gimpo bisa nggak? Dari bandara kita langsung makan malam bareng aja. Nanti gue bilang ke Kei.”

“Boleh-boleh, gue juga bilang dulu ke cowok gue. Biar sekalian dikenalin ke lo ya haha. Kangen juga gue sama ponakan gue, apalagi sama si kecil belum pernah ketemu.”

“Lagi lucu-lucunya, Na. Sabar yaa, nanti sorean kita ketemu. Berkabar ya, Na. Gue jam 5an nyampe Gimpo, semoga nggak ada acara *delay flight-*nya.”

“Oke, can’t wait! See you, Sis.

Rasa kantuk Luna mendadak hilang. Sekarang masih jam 8 pagi, masih banyak waktu sebelum menjemput Freiya. Ah, kebetulan sekali Hyunjae menginap di apartemen hari ini. Dia bisa meminta Hyunjae menemaninya ke airport sekaligus mengenalkan pada Freiya. Dan lagi, Luna nggak sabar ingin ketemu Freiya dan anak-anaknya. Kangen sekali.

Setelah membereskan ranjangnya, Luna beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Tadinya mau sekalian mandi tapi akhirnya diurungkan niatnya. Luna memilih untuk mengecek keadaan Hyunjae dulu yang tidur di sofa ruang TV.

Luna keluar kamar dan menutup pintunya pelan-pelan. Dihampirinya Hyunjae yang masih terlelap di sofanya, dengan tubuh terbalut selimut. Setelah menaikkan suhu AC ruang TV karena dirasa terlalu dingin baginya, Luna menghampiri Hyunjae lalu duduk bersila di karpet dengan menghadap Hyunjae.

Jarinya bergerak menyisiri helai rambut Hyunjae dengan lembut, tidak ingin membangunkannya. Dielusnya kening Hyunjae sebentar, sebelum jarinya turun dan menyentuh ujung hidung Hyunjae.

Gemes, hidungnya dia sempurna banget sih.

Hyunjae tiba-tiba mengerang, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya matanya terbuka perlahan.

“Eh maaf, jadi bangun deh kamunya,” kata Luna sembari mengeluskan jarinya lagi di rambut Hyunjae. “Masih ngantuk, Yang? Tidur lagi kalau masih ngantuk.”

Hyunjae tidak menjawab. Matanya yang sayu karena baru bangun tidur menatap mata Luna lekat-lekat. Dengan sekali gerakan, tangannya meraih dagu Luna dan menariknya supaya mendekati wajahnya.

Morning kiss dulu,” sahutnya kalem.

Tubuh Luna menegang. Dia nggak siap.

Masih sambil satu tangan memegang dagu Luna, Hyunjae setengah bangun dari posisi tidurnya dan berusaha mendekatkan wajahnya ke wajah Luna.

Bibirnya mengecup pipi kanan Luna, lama.

Mata Luna otomatis terpejam. Tubuhnya tegang bukan main,.

“Good morning,” kata Hyunjae lagi. Setelah melepaskan bibirnya dari pipi Luna, Hyunjae kembali merebahkan dirinya di sofa.

Morning,” jawab Luna masih sambil mengatur jantungnya yang berdegup kelewat kencang akibat perlakuan Hyunjae barusan. “Mau sarapan apa? Aku siapin buah dulu mau? Minumnya teh apa susu anget?”

“Yang, kamu lagi latihan jadi istri ya?”

Wajah Luna memerah. “Nggak. Ada tamu ya ditawarin makan minum dong masa dicuekin.”

“Oh, jadi aku cuma tamu.”

“Hehe, bercanda,” kata Luna. Tangannya mencubit ujung hidung Hyunjae dan menariknya gemas. Yang punya hidung langsung memekik kesakitan.

“Yang, tadi Freiya sepupuku telpon. Dia kan tinggal di Tokyo, nanti siang mau ke Seoul flight jam dua. Mau nemenin jemput ke bandara nggak? Habis dari bandara, mau dinner sekalian ngobrol-ngobrol, aku udah lama nggak ketemu dia. Sekalian mau ngenalin kamu ke dia.”

“Nanti kalian ngobrol, aku ngapain?”

“Dia sama suami dan anak-anaknya kok. Suaminya orang Jepang, kamu bisa ngobrol sama dia. Kamu kan bisa bahasa Jepang dikit-dikit.”

“Ya udah aku temenin. Mau jam berapa kita jalan ke bandara?”

“Setengah empat dari sini cukup kali ya?”

“Boleh.”

Senyum mengembang di wajah Luna, senang karena Hyunjae mau menemaninya bertemu Freiya. “Makasih ya.”

Setelah mengelus sebelah pipi Hyunjae sekilas, Luna bangkit dari duduknya di karpet dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dalam hati Luna memikirkan juga kata-kata Hyunjae tadi soal latihan jadi istri. Tapi kemudian buru-buru dihilangkannya soal itu dari pikirannya. Dirinya belum ada kesiapan sama sekali.

Selagi Luna sibuk menyiapkan sarapan, Hyunjae akhirnya memutuskan untuk sepenuhnya bangun dari rebahannya karena aroma wangi masakan Luna mulai merasuk hidungnya. Setelah selesai merapikan selimut dan bantal-bantal sofa, Hyunjae mendekati Luna yang lagi membolak-balik daging bacon di atas pan.

“Masih lama nggak, Yang?” tanya Hyunjae sambil mengintip ke arah kompor dari balik bahu Luna. “Hmm wangi banget baconnya. Laper.”

“Masih, kentangnya juga masih dikukus tuh,” jawab Luna sambil mengangkat tutup panci tempat mengukus kentang. “Makan buah dulu gih, udah dipotongin ada di kulkas. Tupperware biru rak tengah.”

Hyunjae mendekati kulkas, membuka pintunya dan celingukan mencari wadah buah yang Luna maksud. Setelah ketemu, ditariknya keluar wadah itu dan dibawanya ke meja makan. Nggak perlu waktu lama bagi Hyunjae untuk menyantap potongan anggur black autumn tanpa biji, stroberi, kiwi dan jeruk yang sudah tersusun rapi di dalam wadah.

Daging bacon Luna sudah matang, kini tinggal menyiapkan sayuran mentah yang sudah dicuci bersih semalam. Sambil menunggu kentangnya matang untuk dibuat cheesy mashed potato, Luna menghampiri Hyunjae yang masih asyik mengunyah cemilan buahnya dan duduk di kursi samping Hyunjae.

“Tadi malam nggak lama sebelum kamu dateng, aku sama mama video call,” Luna mulai bercerita sembari mencomot sepotong anggur. “Sama ayah juga.”

“Oh ya? Sehat-sehat kan mama ayah?”

“Sehat. Pengen ketemu kamu katanya. Aneh, sama aku aja udah lama nggak ketemu tapi yang ditanyain malah kamu.”

“Kita samperin ke Singapore yuk? Aku juga pengen ketemu mama ayah, nggak enak anak cantiknya udah hampir sebulan dipacarin padahal aku belum izin.”

Bibir Luna yang kini lagi mengunyah potongan stroberi, mengulum senyum. “Tenang, kamu udah dapet restu kok. Mama kaya yang seneng dan sreg banget begitu aku lihatin foto kamu dan aku ceritain tentang kamu. Ayah juga.”

Gantian Hyunjae yang mengulum senyum sambil memandangi wajah cantik pacarnya. “Aku nggak bercanda ngomong-ngomong, ayo kita rencanain ke Singapore berdua. Soon.”

“Yang, aku belum cerita ke kamu lagian ini masih belum fix jadi juga sih. Tapi kemarin si Juyo nyebar gosip katanya timnya Yeonjun lagi ngajuin gathering kantor ke Singapore akhir tahun nanti. Kan tahun kemarin ke Bangkok, yang sekarang pengen Singapore katanya. Sekalian aja kali ya?”

Hyunjae terlihat tidak begitu senang mendengarnya, “Masih lama dong. Lagian bukan berdua namanya kalau bareng kantor kamu. Kita duluan aja yuk kesana, aku pengennya berdua dan quality time sama keluarga kamu di sana. Kalau dibarengin sama gathering kantor, nanti konsen kamu kepecah antara harus ngikut jadwal gathering atau family time sama mama ayah.”

“Iya deh nanti aku pikirin lagi.”

“Jangan kelamaan mikirnya, cepet tentuin mau kapan kesana. Kita kan harus urus cuti nggak bisa dadakan.”

“Iyaaa oke. Ngomong-ngomong kamu juga udah lama tuh nggak nemuin orangtua. Kamu lebih parah, tinggal sekota juga, wleee. Aku sih jelas tinggal beda negara, wajar jarang ketemu.”

“Mama papa lagi sibuk juga ngurusin rencana nikahnya nuna. Kalau kesana aku dianggurin, fokusnya ke nuna terus. Tapi besok aku ada rencana mau kesana sih mampir bentar. Ikut yuk? Kalau aku bawa kamu, aku nggak akan dianggurin sama mama papa. Eh atau malam ini aja ya? Kita nginep di rumah mama, besok sore pulang.”

Tubuh Luna menegang mendengar ajakan Hyunjae. Tenggorokannya mendadak kering. Luna sejujurnya masih trauma dengan pengalaman tidak mengenakkan yang dialaminya saat pertama kali bertemu dengan ibunya Seokjin dulu. Raut wajah dingin dan perlakuan tidak ramah yang selalu diterima Luna setiap bertemu ibunya Seokjin membuat Luna kini takut akan bertemu dengan orang tua Hyunjae.

“Yang…,” panggil Luna pelan. “Kalau aku bilang aku belum siap, kamu marah nggak?”

“Nggak siapnya kenapa?”

“Takut…”

“Takut apa? Takut nggak diterima karena kamu non Korean?”

Luna skakmat. Bagaimana Hyunjae bisa tahu, dia nggak pernah cerita apapun pada Hyunjae soal masa lalunya dengan Seokjin.

“Mereka udah tau kamu non Korean, nggak ada darah Korea sama sekali dan mereka nggak mempersalahkan itu. Kamu nggak usah takut.”

Luna mengangguk ragu-ragu, “Yakin kamu? Aku takut…”

“Aku udah bicara ke orangtuaku tentang kamu dari semenjak kita ketemu pertama kali di rooftop beli eskrim bareng. Percaya sama aku, Yang, kamu akan baik-baik aja setelah ketemu orangtuaku. Mau ya?”

Luna sungguh nggak tega menolak permintaan mendadak ini dari Hyunjae. Diam-diam dirinya agak menyesal telah membuka pembicaraan soal orangtua ini—Antusiasme Hyunjae sungguh di luar dugaan Luna. Pada akhirnya Luna berpikir, saling bertemu dengan orangtua masing-masing secepatnya mungkin bukan sesuatu yang salah. Umur hubungannya dengan Hyunjae masih cukup dini dan mungkin tidak akan mengakibatkan rasa sakit mendalam seperti saat dengan Seokjin dulu, jika saja rencana bertemu orangtua ini tidak berhasil baik.

Luna akhirnya mengiyakan ajakan Hyunjae dengan senyuman lebar di wajahnya. “Ayo, aku mau ketemu orangtua kamu, Yang. Nanti beres ketemuan Freiya, malamnya kita ke Songdo ya. Jangan lupa dikabarin dulu mamanya kalau kita mau kesana malam ini.”

Senyuman di wajah Hyunjae nggak kalah lebar, dia lega sekali Luna setuju untuk menemaninya pulang ke rumah orangtuanya malam ini. “Makasih ya, aku seneng.”

Luna berdiri lalu mendekati Hyunjae yang masih terduduk di sampingnya dan mendekap kepala Hyunjae sambil mengusapinya lembut. Hyunjae membalas dekapan Luna dengan melingkarkan tangan di pinggang ramping Luna, dia membenamkan wajahnya dalam-dalam ke perut Luna.

“Perut kamu rata banget,” Hyunjae berkomentar setelah Luna melepaskan dekapannya.

“Ya rata dong, kan nggak ada isinya baru buah doang.”

“Nanti ada saatnya perut kamu ada isi adek bayi,” kata Hyunjae sambil menutup wadah buah yang isinya sudah kosong. “Buatan aku.”

Luna yang sedang meneguk air putih dari gelas langsung tersedak dan terbatuk, sementara Hyunjae dengan lempengnya berjalan ke arah dapur menuju bak cuci piring dan mulai mencuci wadah buah serta gelas kotor bekasnya. Luna yang kesal menghampiri Hyunjae di dapur dan mencubit keras pinggangnya.

“Aduh! Sakit astaga, kenapa sih?” Hyunjae mengaduh sambil refleks berbalik menghadap Luna.

“Kamu sadar nggak barusan ngomong apa?” tanya Luna kesal.

“Soal adek bayi? Emang apanya yang salah? Lah bener kan suatu saat kamu bakal hamil, emangnya nggak pengen hamil?”

Luna memandangi Hyunjae sambil menggelengkan kepalanya. Tidak percaya pacarnya bisa sedatar itu seolah tidak ada apa-apa setelah membuat Luna tersedak karena omongannya. Hyunjae yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Luna akhirnya memutuskan untuk meninggalkan dapur menuju kamar Luna.

“Aku mau main game dulu ya, panggil aku kalau sarapannya udah jadi, Yang.”

Hyunjae ih bener-bener… udah bikin gue malu sendiri gara-gara omongan dia soal hamil, tapi dianya lempeng aja gitu malah mau main game. Luna mengomel ke dirinya sendiri sambil memeriksa kentangnya yang ternyata sudah matang. Sambil masih merasakan wajahnya yang panas karena malu, Luna memutuskan melupakan omongan Hyunjae tadi dan melanjutkan masaknya.

***

Sore hari akhirnya tiba.

Luna sudah lebih dulu siap. Dia mengenakan dress warna putih motif bunga-bunga kecil sedikit di atas lutut, dengan bagian bahu terbuka yang memperlihatkan tulang selangkanya. Rambutnya panjangnya yang tak berponi dibiarkan tergerai cantik, dengan dihiasi jepitan rambut hitam simpel di sisi kanan, menyisakan beberapa helai rambut terjuntai menutupi telinganya. Tak lupa dia menyiapkan cardigan berwarna senada dengan dress-nya, untuk dipakai ketika bertemu orangtua Hyunjae nanti.

Handbag berukuran sedang berisi baju dan segala perlengkapan menginapnya pun sudah disiapkan di atas sofa, bersebelahan dengan ransel hitam milik Hyunjae.

Luna sedang mengetikkan pesan di KakaoTalk-nya untuk Freiya, mengabarinya kalau dia dan Hyunjae sebentar lagi akan menuju bandara, ketika Hyunjae yang baru selesai bersiap keluar dari kamar Luna dan menutup pintunya. Luna menutup ponsel flip-nya dan menghampiri Hyunjae.

“Itu kasian banget kancing baju kamu jobless. Ada tapi nggak dipergunakan dengan semestinya,”

Hyunjae balik menatap Luna, bingung. “Ngomong apa sih, Yang?”

“Kamu nggak ada baju lain?”

“Emang kenapa bajuku yang ini? Jelek?”

Luna mendengus. Dia mendekatkan tubuhnya ke tubuh Hyunjae, tangannya menggapai kerah baju Hyunjae dengan dua kancing terbuka di bawahnya.

Sore itu Hyunjae memang terlihat ganteng—kelewat ganteng kalau menurut Luna—dengan atasan model kemeja informal dan bagian lengan digulung sampai siku, warna putih pula senada dengan dress Luna walaupun mereka nggak janjian pakai baju putih-putih. Bawahannya, Hyunjae mengenakan celana jeans biru gelap dengan belt hitam melingkar di pinggangnya. Baik kemeja dan celana jeans Hyunjae terlihat begitu pas—tidak kebesaran dan tidak kesempitan—sehingga badan atletis Hyunjae tercetak dengan jelas.

“Kancing satu ya? Jangan dua-duanya gini nggak dikancing,” tanya Luna. tangannya bergerak hendak mengancingkan kemeja Hyunjae.

No, jangan. Emang harus gini makenya, kalau dikancing jadi nggak bagus.” Tangan Hyunjae menghentikan gerakan tangan Luna tiba-tiba.

“Kamu ganti baju deh. Pake sweater kek apa kek gitu hoodie,” kata Luna sambil berbalik memunggungi Hyunjae, mengambil handbag dan kardigannya dan berjalan menuju rak sepatu. “Kamu terlalu ganteng pakai baju itu. Nanti digenitin cewek-cewek.”

Luna berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Dia sudah dua kali merasa terganggu saat sedang jalan dengan Hyunjae dan berpapasan dengan segerombol cewek-cewek kuliahan yang menatapi Hyunjae dengan ganas. Bahkan sekali waktu pernah ada yang berani berkata “Oppa ganteng sekali!” ke arah Hyunjae tanpa peduli ada Luna di sampingnya yang sedang menggandeng tangan Hyunjae.

Hyunjae berdecak mendengar penuturan Luna, “Biarin aja mereka yang genit, yang penting bukan aku yang genit.” Setelah mengambil ransel hitam dan menyampirkan di bahu kirinya, Hyunjae menyusul Luna mendekati rak sepatu dan mengambil sepasang sepatu kets Nike miliknya. “Nggak usah cemburu gitu.”

Luna akhirnya mengalah. Jam sudah menunjukkan hampir setengah 4 sore dan dia tidak ingin terlambat sampai di bandara. “Iya iya. Aku tau ini resiko punya pacar ganteng.”

Hyunjae terkekeh sambil mengacak pelan pucuk rambut Luna. “Ganteng apa sih, biasa aja kok. Yuk, pergi sekarang.”

Setelah memastikan pintu apartemen terkunci dengan benar, Luna dan Hyunjae berjalan berdampingan di lorong menuju lift. Jari-jari mereka saling bertautan erat.

***

“Frei, Freiyaaa!” Luna berseru menyebut nama sepupunya saat melihatnya dari kejauhan. Freiya dengan satu tangan mendorong stroller bayi, satu tangannya lagi menggandeng anak pertamanya yang masih toddler, berjalan berdampingan dengan suaminya yang juga sibuk mendorong troli berisi dua koper besar dan satu handbag milik mereka.

Luna melambaikan tangannya dan berjalan mendekati pintu kedatangan ketika sadar bahwa Freiya tidak mendengar seruannya tadi. Setelah jaraknya dengan Freiya semakin dekat, barulah Freiya menyadari kehadiran Luna.

“Naaa, astaga! Soriii nunggu lama ya?”

“Ih, gue panggil-panggil dari tadi, lo nggak denger juga? Apa kabar sayang? Kangeeen,” Luna langsung memeluk Freiya erat. “Hai, Kei. Sehat? Udah lama nggak ketemu.” Dari Freiya, Luna beralih menyapa Tanaka Kei, suami Freiya. Kei memeluk Luna sambil mengatakan kabarnya baik-baik saja.

“Anakkuuu, udah gede banget. Inget auntie nggak, Sayang? Lupa ya kayanya.” Luna berjongkok hingga tingginya sejajar dengan anak pertama Freiya yang bernama Kannika, yang kini berusia tiga tahun. Kannika tersenyum sambil menggeleng dan melepas pegangan tangan Freiya. Lalu tiba-tiba Kannika menyandarkan tubuhnya di tangan Luna—otomatis, Luna langsung menggendongnya.

“Frei, kenalin ini Jaehyun—Lee Jaehyun lengkapnya—pacar gue.” Dengan Kannika dalam gendongan, Luna mengenalkan Hyunjae pada Freiya. “Yang, ini Freiya sepupuku, sama ini Kei suaminya.”

Setelah Hyunjae saling berjabat tangan dan kenalan dengan Freiya dan Kei, mereka berempat berjalan menuju parkiran tempat Hyunjae memarkir mobilnya. Dengan Hyunjae membantu membawakan troli berisi koper, Kei bisa mengambil alih stroller dari tangan Freiya.

“Anak lo udah dua aja, Frei. Gimana rasanya?” tanya Luna sambil memandangi Kanaya, anak kedua Freiya yang masih berusia satu tahun tertidur di stroller.

“Repooot. Ini si Kana kan nggak sengaja dapetnya. Kebobolan. Padahal gue berencana anak kedua kalau Kannika udah di atas 5 tahun. Lo gimana, kapan nikah? Jae, kapan mau nikahin Luna?”

Luna kaget mendengar ocehan Freiya. Bisa-bisa sepupu slengeannya ini bertanya hal sensitif seperti itu dengan santai. “Heh apaan sih lo, pacaran aja baru—”

“Doain aja bisa secepetnya ya, Frei.” Omelan Luna disela kalem oleh Hyunjae. Luna yang masih menggendong Kannika, blushing.

“Jangan lama-lama, Jae. Kalian seumuran, kan? Lo-nya sih nggak masalah Jae, tapi Luna kasian kalau ketuaan pas lahiran nanti.”

“Iya, siap. Semoga Luna-nya mau gue nikahin.”

Luna tidak ingin terlibat pembicaraan ini lebih jauh lagi. Dia buru-buru mengajak Kannika bercanda dengan menggelitiki perutnya, yang disambut dengan gelak tawa Kannika yang kegelian. Percobaan pengalihan pembicaraan ini berhasil karena kini semuanya fokus memperhatikan Kannika sambil tertawa gemas.

Di mobil, Hyunjae menyetir dengan Kei duduk di sebelahnya. Mereka berdua terlihat sudah mulai nyaman saling berbicara satu sama lain. Sesekali dalam bahasa Jepang yang juga diselingi dengan bahasa Inggris. Di kursi tengah, Luna masih memangku Kannika dan Freiya menimang Kanaya yang masih juga tertidur lelap. Untung saja mobil SUV Hyunjae cukup besar dan lega untuk menampung semua barang bawaan Freiya dan Kei.

Rencana mereka untuk makan malam di salah satu restauran di mall mendadak buyar karena Kana tiba-tiba terbangun dan menangis rewel. Diubah dalam posisi apapun tangisnya nggak mereda malah semakin kencang. Akhirnya mereka memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat Freiya dan Kei menginap, dan makan malam di restauran hotel saja.

Begitu tiba di hotel, Kei langsung menuju resepsionis untuk check in diikuti Freiya dan Kana. Ternyata Kana menangis karena setelah dicek, popoknya sudah penuh dengan poop dan dia merasa tidak nyaman. Jadi Freiya harus segera ke kamar dan membersihkan Kana dulu. Sementara itu, Hyunjae dan Luna menunggu di restauran dengan Kannika yang masih anteng dalam gendongan Luna.

“Hasil gen Jepang-Indonesia ternyata bagus juga ya. Kannika Kanaya lucu-lucu banget.” Hyunjae berkomentar sambil memperhatikan Kannika yang sedang tertawa. “Aku penasaran hasil gen Korea-Indonesia dengan sedikit turunan Italia jadinya bakal gimana ya?”

“Heh!”

“Kok heh sih? Ya kan aku lagi ngebayangin—”

“Nggak usah dibayangin dari sekarang.”

“Hahaha lucu kamu tuh.”

“Nggak ada yang lucu, Yang.”

“Kamu lucu, jadi galak banget kalau salting.”

Sebelum Luna sempat membalas ledekan Hyunjae, tiba-tiba Kannika mencondongkan tubuhnya ke arah Hyunjae dan mengangkat tangannya minta digendong. Luna cukup kaget ketika Hyunjae mendekatinya dan mengambil Kannika pelan-pelan dari gendongannya. Setelah Kannika berpindah dalam gendongannya, Hyunjae langsung sibuk berceloteh riang ke Kannika dalam bahasa Jepang yang Luna nggak mengerti.

Diam-diam Luna memperhatikan Hyunjae yang sedang bermain-main bersama Kannika. Ada perasaan hangat yang mendadak menyentuh hatinya melihat pemandangan di hadapannya itu. Hyunjae telaten sekali dengan anak kecil, ketika Kannika haus dan menunjuk botol susunya, Hyunjae langsung memegangi botolnya sementara Kannika meminum susunya. Nggak lupa sebelumnya Hyunjae merogoh ransel kecil Kannika, mencari sesuatu yang ternyata slabber dan memasangkan di dada Kannika supaya tetesan susu dari botol tidak mengotori bajunya.

Selesai minum susu, Kannika meminta diturunkan dari gendongan dan mulai berlarian kesana kemari. Hyunjae dengan sabar mengikuti langkah kaki Kannika, memastikan anak kecil itu aman tidak terjatuh karena larinya yang kencang. Luna juga menyadari Hyunjae yang selalu merunduk atau berjongkok setiap Kannika berbicara, demi mensejajarkan kepalanya dengan kepala Kannika. Setelah puas dan lelah berlarian ke tiap sudut restauran, Kannika akhirnya minta digendong lagi ke Hyunjae.

Dari jauh, Luna bisa melihat bulir keringat di pelipis Hyunjae karena mengikuti Kannika yang berlarian. Ketika akhirnya Hyunjae sudah berada di sisinya lagi, Luna langsung merogoh tasnya dan mengambil tisu dari pouch kecil andalannya. Dilapnya bulir keringat di pelipis Hyunjae.

“Capek ya? Baru berapa menit doang padahal loh ini,” kata Luna.

Hyunjae mengiyakan, “Capek tapi aku seneng sih. Anak ini aktif banget, walaupun lari-larian tapi dia nurut kalau aku bilang nggak boleh ngoprek ini itu.”

Luna dan Hyunjae duduk berhadapan dengan posisi Kannika masih di pangkuan Hyunjae dan bersandar di dadanya. Luna mengambil tisu lagi dan melap keringat di dahi Kannika juga. “Haus nggak, Nak? Mau susu lagi?”

Kannika menggeleng, dia memutar tubuhnya menatap Hyunjae. Lalu tangannya menunjuk ke arah balkon restauran. Minta diajak kesana.

Luna yang nggak tega kalau Hyunjae harus berdiri lagi membawa Kannika ke balkon, mencoba membujuk Kannika, “Disini aja ya, Sayang? Di luar dingin, nanti masuk angin.”

Kannika merengut.

Hyunjae langsung bangkit lagi dari duduknya sambil mengeratkan tangannya yang menggendong Kannika. “Nggak papa, Yang. Aku kesana bentar ya? Kamu tunggu sini.”

Lima menit setelah Hyunjae membawa Kannika ke balkon, Freiya dan Kei menghampiri Luna di meja dengan Kanaya yang sudah terlelap lagi di stroller.

“Maaf lama ya, Na. Tadi abis bersihin Kana dia minta nyusu. Baru sebentar nyusu eh dimuntahin nggak tau kenapa, udahnya minta nyusu lagi. Beres nyusu gue tinggal di stroller tau-tau tidur lagi. Eh ya ampun, anak gue satu laginya kemana ya?”

“Hehe gapapa, Frei. Kasian Kana kecapean kayanya habis perjalanan jauh. Itu Kannika lagi digendong Hyunjae di balkon.”

Kei memanggil pelayan minta dibawakan menu restauran. Setelah semua pesanan tercatat, obrolan dilanjutkan.

“Na, gue sreg sama Hyunjae. Gue saranin lo jaga baik-baik ya hubungan lo sama Hyunjae, paket komplit sih gue liat. Kalau dia ngajak nikah, lo jangan sok jual mahal, langsung iyain aja.”

“Yelah, pacaran juga baru mau sebulanan, Frei. Belum ada kepikiran nikah gue. Masih takut.”

“Ya tujuan akhir lo pacaran apa sih kalau bukan untuk nikah, ya nggak? Inget umur heh. Lagian takut apa?”

“Takut nggak jadi lagi. Makanya sekarang gue nggak mau dulu bahas-bahas nikah deh, nanti aja sambil jalan. Ini gue mikirin mau ketemu orangtua Hyunjae aja mules banget rasanya, takut ditolak lagi.”

“Gue kasih tau ya, Kannika itu anaknya sensitif kaya gue. Nggak bisa sembarangan deket sama orang asing. Ini gue kaget banget liat anak gue nempel banget sama Hyunja—eh, Jaehyun? Siapa sih namanya?”

Luna terkekeh, “Jaehyun. Gue aja iseng manggil dia Hyunjae.”

“Ya, Jaehyun. Ini langka banget dia mau senempel itu sama orang baru. Berarti Kannika nyaman sama Jaehyun, Na. Udah nilai plus banget itu cowok lo bisa ditempelin sama anak kecil. Jadi, lo mesti kuat ya apapun itu cobaan dalam hubungan kalian, harus sama-sama mau berjuang. Jaehyun cowok baik, Na. Jangan disia-siain.”

“Frei, selama lo tau kisah cinta gue, kapan gue pernah sia-siain mantan-mantan gue? Yang ada juga gue selalu jadi pihak yang dicampakkan, ya kan?”

“Tapi lihat sekarang, Tuhan ngegantinya dengan cowok baik kaya Jaehyun. Lo jangan jadiin masa lalu lo trauma ya. Jangan banyak takutnya, lo nggak sendirian di hubungan ini. Lo berdua Jaehyun yang menjalani. Kasian Jaehyun kalau lo banyak takut dan ragu, takutnya dia bingung gimana mau melangkah maju kalau lo-nya meragu terus.”

Obrolan mereka berlanjut sampai akhirnya Hyunjae masuk kembali dari balkon dengan Kannika yang sudah terlelap tidur di pangkuannya. Dengan hati-hati Hyunjae menyerahkan Kannika kembali ke Freiya, yang masih tetap takjub melihat anaknya yang terkenal susah dekat ke orang baru bisa senempel ini dengan Hyunjae. Dari mulai lari-larian sampai ketiduran.

Nggak berapa lama dari situ, makanan mulai tersaji dan mereka berempat yang sudah kelaparan langsung menikmati makanannya. Masih sambil diselingi obrolan dan candaan, kali ini lebih leluasa karena kedua anak Freiya sudah tertidur pulas.

Ketika akhirnya makan malam selesai, Freiya dan Kei pamit untuk beristirahat di kamar. Perjalanan udara selama hampir 3 jam dari Tokyo ke Seoul terasa dua kali lipat lebih melelahkan ketika bepergian dengan satu bayi dan satu balita.

Sudah hampir jam setengah sembilan malam ketika mobil Hyunjae berhenti di perempatan lampu merah, sekitar tujuh kilometer lagi mereka akan sampai di rumah orangtua Hyunjae.

“Capek sayang?” tanya Luna saat Hyunjae meregangkan otot tangan dengan menariknya ke atas. “Pegel ya berjam-jam gendongin Kannika?”

Hyunjae mengangguk pelan, kepalanya bersandar pada headrest kursi dengan mata terpejam.

“Sayang, hei jangan merem. Sepuluh detik lagi hijau lampunya,” kata Luna sambil menepuk pelan pipi Hyunjae. Hyunjae refleks membuka matanya lagi tepat saat lampu berganti dari kuning ke hijau. Mobilnya melaju lagi meninggalkan perempatan.

Lima belas menit kemudian, mobil Hyunjae memasuki kawasan kompleks perumahan pribadi di daerah Songdo, rumah orangtuanya. Dalam hati Luna mendecak kagum, tadinya dia pikir orangtua Hyunjae tinggal di apartemen juga mengingat ini hal yang lumrah sekali di sini, tapi ternyata dugaan Luna salah. Kompleks perumahan ini tidak begitu besar tapi Luna tahu hunian ini termasuk hunian cukup elit dan terpandang melihat dari jajaran rumah-rumah besar di pinggir-pinggir jalan utamanya.

Satu belokan terakhir, dan mobil Hyunjae berhenti di depan sebuah rumah dua lantai berpagar cokelat.

“Sampai akhirnya. Yuk, turun.”

Luna mengatur napasnya yang sedari tadi menderu nggak karuan karena tegang. Setelah dirasa siap, Luna turun dari mobil sambil menyambut gandengan tangan Hyunjae. Berdampingan, mereka berjalan memasuki halaman depan.

***

Alarm ponsel Luna berbunyi.

Sambil membuka matanya perlahan, Luna meraih ponselnya, mematikan alarm dan melihat jam. Masih jam setengah enam pagi. Kalau ini di rumahnya sendiri, sudah pasti Luna akan melanjutkan tidurnya dan bangun agak siangan mengingat ini hari Minggu. Tapi karena dia sedang berada di rumah orang tua Hyunjae, tidak mungkin Luna kembali tidur dan bangun siang. Tidak sopan rasanya.

Luna mengerjapkan matanya sambil menatapi langit-langit kamar yang masih terasa asing baginya tapi sudah mulai familiar karena kamar ini sudah ia tempati selama beberapa jam. Senyum kecil terbentuk di bibirnya mengingat kejadian semalam ketika orang tua Hyunjae menyambutnya dengan sangat ramah—terlebih mamanya Hyunjae yang terlihat begitu antusias dan senang dengan kedatangan Luna. Kakak perempuan Hyunjae dan calon suaminya pun memperlakukan Luna dengan ramah, bahkan Luna masih tidak percaya dengan perkataan kakaknya Hyunjae semalam, “Akhirnya aku punya saudara perempuan beneran. Langgeng ya sama Jaehyun.”

Ketegangan Luna langsung sirna seketika. Respon yang ia terima dari mamanya Hyunjae sungguh berbeda 180 derajat dari respon yang ia terima dari mamanya Seokjin dulu ketika pertama kali bertemu. Ironisnya, seingat Luna ia rasanya tidak pernah menerima senyuman hangat dari mamanya Seokjin selama ia berhubungan dengan Seokjin. Berbeda dengan mamanya Hyunjae yang memperlakukan Luna dengan sayang, membuat Luna jadi teringat akan mamanya sendiri.

Drrrt drrrt.

Luna membuka ponselnya yang bergetar. Keningnya berkerut melihat pesan masuk dari Hyunjae.

“Udah bangun?”

Udah sayang.

Ngapain chat? Tinggal jalan kesini.

“Takut kamu belum bangun.”

“Aku kesana ya.”

Tidak sampai semenit, pintu kamar diketuk dari luar dan Hyunjae menghambur masuk ke dalam. Dibiarkannya pintu kamar agak terbuka.

“Ih kok cepet banget? Aku belum rapiin rambut,” kata Luna yang masih terduduk di kasur. Panik karena sadar dirinya belum enak dilihat karena baru banget bangun tidur.

Hyunjae duduk di tepi kasur. Tangannya meraih tangan Luna yang masih sibuk merapikan rambutnya, lalu dikecupnya punggung tangan Luna sekilas. “Morning. Gimana rasanya tidur di kamarku? Aku nempatin kamar ini dari jaman masih bocil sampai lulus kuliah, cuma kamu satu-satunya perempuan selain keluargaku yang pernah tidur di kasur ini. Tidurnya nyenyak?”

Luna mengangguk. Dia menyingkap selimut dan menggeser tubuhnya agar menjadi bersebelahan dengan tubuh Hyunjae di tepi kasur. “Nyenyak banget tidurnya, ditemenin robot-robot dan pajangan Iron Man kamu.” Luna menyandarkan kepalanya di bahu Hyunjae, membuat Hyunjae terdorong untuk mengecup pucuk kepala Luna yang wangi.

“Udah nggak tegang lagi kan? Sekarang percaya kan sama aku, kalau papa dan mama menerima kamu dengan baik.”

“Iya, aku bersyukur sekali rasanya. Nggak nyangka diterima dengan sebaik ini sama keluargamu, Jae. Makasih ya?” Mata Luna menyendu ketika bertemu dengan mata Hyunjae. Lama, mereka berkomunikasi tanpa bicara, saling mengungkapkan perasaan sayangnya satu sama lain melalui tatapan.

Luna selalu menyukai wajah tampan Hyunjae dalam kondisi apapun, tapi kini ia menyadari favoritnya adalah wajah baru bangun tidur Hyunjae dengan rambut tebal hitamnya yang sedikit teracak. Luna menyadari keberuntungan dirinya bisa mendapatkan Hyunjae sebagai kekasihnya. Benar kata Freiya semalam, Tuhan begitu baik memberikan Hyunjae sebagai pengganti Seokjin.

“Na,”

“Ya?”

“Cintai aku selamanya seperti ini ya? Will you?”

Mata Luna membulat mendengar permintaan Hyunjae yang tiba-tiba. Ini masih pagi dan Hyunjae sudah membuatnya terkejut dengan permintaannya ini.

“Aku tau segalanya yang terjadi di antara kita terhitung cepat, dari mulai kita pertama kali ketemu dan kenalan, sampai sekarang ini. Maaf ya, aku terbiasa ungkapin segala hal straight to the point. Walaupun kita baru resmi jalan sebulan, tapi aku ingin kamu tau bahwa tujuan akhirku adalah hidup bersama kamu. Dari awal kita ketemu pas dinner bareng anak-anak, aku sadar aku suka sama kamu.”

Luna bisa merasakan matanya tiba-tiba memanas, seperti ada yang ingin menyeruak berhamburan keluar dari matanya. Ditahannya mati-matian. Tidak, dia tidak ingin menangis di depan Hyunjae.

“Aku tadinya punya target untuk deketin kamu minimal tiga minggu sebelum akhirnya ajak jadian. Tapi aku sadar, kamu dikelilingi banyak laki-laki baik di sekitarmu dan ya, mereka semua mostly good looking. Aku ajak kamu jadian pas aku ulang tahun, itu sama sekali di luar rencana. Nggak tau kenapa tiba-tiba aja aku ngerasa malam itu tepat untuk ajak kamu jadian. Aku cuma takut terlambat kalau ditunda lagi.”

Dada Luna sudah terlalu sesak untuk menahan tangisnya. Dengan tergesa Luna menundukkan kepalanya tepat ketika bulir pertama airmatanya jatuh tidak tertahan, menetes menuruni pipinya, melewati dagu dan akhirnya membasahi selimut Hyunjae.

“Yah, kok nangis? Aku nggak niat bikin kamu nangis padahal. Yang, jangan nangis dong nanti aku dimarahin mama,” Hyunjae berkata lucu sambil mengangkat wajah Luna yang kini sudah memerah.

“Abisnya kamu gitu omongannya. Ini masih pagi, tapi omongan kamu manis banget begitu, gimana aku nggak terharu. Ternyata cowok tsundere bisa juga bikin terharu ya,” jawab Luna dengan tawa tertahan. “Aku malu nangis depan kamu. Pertama kalinya nih.”

“Maaf ya, aku tiba-tiba ngomong gini. Sebenernya udah dari kemarin-kemarin pengen ngomong ini ke kamu tapi waktunya nggak pas terus. Aku takut kamu bingung dengan hubungan kita yang prosesnya serba cepat. Sekalian pengen mastiin aja, perasaanku ini berbalas kan?”

“Aku nggak akan ada di sini kalau nggak suka sama kamu. Nggak akan juga aku iyain waktu kamu ajak jadian. Ya, Lee Jaehyun, aku akan mencintai kamu selamanya seperti ini. Kita berjuang sama-sama ya?”

Hyunjae mengangguk dan menghela nafas lega. Selama ini seperti ada yang mengganjal hatinya karena hal ini belum ia ungkapkan ke Luna. Keinginan hatinya untuk menjalani hidup bersama Luna. Dan kini setelah tahu Luna menginginkan hal yang sama, Hyunjae merasakan kelegaan dan ketenangan dalam hati. Demi Tuhan ia bersumpah untuk menjaga baik-baik hubungannya dengan Luna, satu-satunya perempuan yang ia sayangi selain mama dan kakaknya.

Selagi Luna dan Hyunjae melanjutkan mengobrol ringan, tiba-tiba pintu kamar diketuk dan wajah mamanya Hyunjae menyembul dari balik pintu. “Selamat pagi, anak-anak. Udah pada bangun rupanya. Tumben banget kamu, Jae, bangun pagi.”

“Selamat pagi, Tante,” Luna buru-buru berdiri dan menyapa mamanya Hyunjae sambil membungkukkan badannya.

“Pagi, Ma,” kata Hyunjae, mengikuti Luna berdiri. Menghampiri mamanya dan mencium pipi kiri mamanya. “Sarapan apa kita?”

“Luna mau sarapan apa? Mau dibikinin apa?” mamanya Hyunjae bertanya sambil menatapi Luna.

“Kok Luna doang yang ditanyain? Anaknya sendiri nggak ditanya mau apa?” Hyunjae protes.

“Jadi, anak cantik ini mau makan apa? Bilang aja, tante bikinin,” tanpa menghiraukan protes anaknya, mamanya Hyunjae berjalan mendekati Luna dan mengusapi punggungnya.

“Apa aja, Tante. Aku pemakan segala kok hehe,” jawab Luna sambil tertunduk malu. “Luna boleh bantu masaknya ya?”

“Eh beneran mau bantu masaknya? Tante sih seneng-seneng aja dibantuin. Luna terbiasa dengan alat dapur kan?”

“Ma, Luna pinter masak. Sering masakin buat aku, enak-enak lagi masakannya,” Hyunjae menyela sebelum Luna sempat menjawab.

“Halah kamu tuh, ngerepotin aja bisanya.”

“Ih, Mama. Kenapa aku jadi dianaktirikan gini sih?”

“Abisnya kamu sombong, jarang banget pulang. Marahin nih, Na, anak ini padahal tinggal sekota tapi nggak ada inget-ingetnya ke orang tua.”

Luna tertawa melihat Hyunjae yang cemberut dimarahin mamanya karena jarang pulang. Baru kali ini dia melihat aura tsundere Hyunjae luntur lenyap tak berbekas.

“Jangan khawatir, Tante. Luna bakal ingetin Jaehyun biar sering pulang ya.”

Mamanya Hyunjae mengangguk sambil tersenyum senang. “Yuk, kita ke dapur? Makasih mau bantu tante masak ya, Nak.”

“Yuk, Tante. Sama-sama.”