Deluna

Hop on.

Jaehyun yang sudah duduk duluan di sofa menepuk kedua pahanya sendiri dengan mata tertuju pada sepasang mata cokelat hazelnut milik Luna.

Detik berikutnya, Luna beranjak dari posisi berdirinya dan menuruti isyarat dari Jaehyun barusan. Ia kini duduk di pangkuan Jaehyun dengan kedua kaki tertekuk ke belakang. Kedua lengannya ia lingkarkan di sekeliling leher Jaehyun.

“Aku berat nggak? Jujur,” tanya Luna sembari menempelkan keningnya pada kening Jaehyun. Menyalurkan rindu yang sempat tertahan akibat dua minggu tidak bertemu.

“Agak,” jawab Jaehyun sambil terkekeh yang segera dibalas dengan pukulan pelan di bahunya oleh Luna.

“Ya udah, turunin aku kalau berat,” Luna merajuk.

“Nggak mau,” Jaehyun menggeleng. Kening keduanya masih menempel satu sama lain. “Aku kangen kamu.”

“Aku tadinya kangen, tapi sekarang nggak. Abisnya dikatain berat.”

“Aku bercanda ih.”

Gantian Luna yang terkekeh. Tentu saja ia tahu kekasihnya itu hanya bercanda. “I miss you baby,” ujar Luna lagi. “Pasangan yang LDR-an pasti ngeledekin kita, dua minggu aja udah nggak tahan. Tapi emang iya nggak tahan sih, aku tersiksa nggak ketemu kamu.”

“Duh, segitunya.”

“Emang kamu nggak?”

“Ya sama lah aku juga tersiksa rasanya nggak ketemu kamu.”

Stop talking then, and start kissing.”

Jaehyun tertawa tapi sebelum tawanya habis, Luna yang sudah kehilangan kesabaran keburu membungkam bibir Jaehyun dengan bibirnya. Semakin lama, keduanya semakin dalam melumat bibir satu sama lain. Ciuman yang mengandung sejuta afeksi dan juga makna yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.

Tiba-tiba, Jaehyun merasa ada sesuatu yang basah mengenai pipinya yang sedang beradu dengan pipi Luna. Sambil mengernyitkan dahi karena bingung, Jaehyun perlahan melepaskan bibirnya untuk melihat penyebab basah di pipinya dan ia menjadi semakin bingung ketika dilihatnya Luna ternyata sedang menangis tanpa suara.

Setengah panik, Jaehyun mengangkat dagu Luna supaya ia bisa melihat dengan jelas wajah Luna yang kini sudah semakin basah seiring dengan tetesan air mata yang mengalir dari ujung matanya.

“Na, kenapa sayang? Did I do something wrong? Kok tiba-tiba nangis gini…,” tanya Jaehyun sambil mengusapi air mata yang nampaknya masih enggan berhenti mengalir.

You know I love you so much, Hyunjae.”

I know, and I do love you too that much. Lalu kenapa—”

“Aku takut, Jae. I’m afraid of losing you.”

“Luna, you are not going to lose me, I promise. Kamu kenapa tiba-tiba ngomong gini sih, Na? Aku jadi ikutan takut nih.”

Luna menatap sepasang netra milik kekasihnya itu dalam-dalam. “Last time I loved someone this much, I ended up losing him. Aku… takut ngerasain kehilangan yang sebegitu nyakitinnya untuk kedua kali.”

Akhirnya, Jaehyun mulai paham ke mana pembicaraan ini akan mengarah. Sepertinya ada sesuatu yang memicu trauma masa lalu Luna kembali malam ini. Jaehyun tidak tahu apa, tapi ia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi.

“Sayang, hubungan kita nggak sama dengan hubungan kamu dan Seokjin dulu. Nothing stand between us—kecuali jarak yang sesekali harus mau nggak mau kita jalani karena tuntutan kerjaan.”

Luna tidak menjawab, ia hanya terdiam dengan wajah menunduk dan bahu yang sesekali naik turun karena ia masih belum berhenti mengisakkan air matanya.

“What happened today? Tell me,” tembak Jaehyun akhirnya. “Apa ada sesuatu yang terjadi di rumahku sebelum aku datang?”

Masih membisu, Luna menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sebuah ketidakjujuran yang ia berikan pada Jaehyun untuk pertama kalinya.

“Lalu kenapa kamu tiba-tiba insecure begini sampai nangis? Aku bingung, Na.”

Sorry… Can we just… forget it?”

“Kita lagi baik-baik aja dan bahkan lagi melepas kangen, tiba-tiba kamu nangis kejer kayak gini dan sekarang kamu bilang lupain aja? Aku beneran nggak paham.”

“Hyunjae, maaf. Jangan marah, please.”

You ruined the mood. Aku lagi capek banget baru pulang dari Busan, dan aku kangen kamu. Tapi kamu mendadak nangis dan nggak mau jelasin penyebabnya. Kok tega sih, Na, kamu begitu ke aku?”

Melihat ekspresi gusar di wajah Jaehyun, Luna semakin merasa gelisah. Ia tahu, kekesalan Jaehyun akan hilang hanya jika ia menjelaskan dengan jujur penyebab tangisnya yang tiba-tiba malam ini.

Sambil menghela nafas, Luna memutuskan untuk merubah posisi duduknya—yang tadinya berada di pangkuan Jaehyun menjadi duduk bersebelahan di sofa.

“Tadi sebelum kamu pulang, aku sempat ngobrol sama Nenek.” Akhirnya, Luna mulai berbicara. Jaehyun langsung merubah arah duduknya menjadi berhadapan dengan Luna.

“Sambil nunggu giliranku fitting baju, Nenek ajak aku ngobrol berdua di teras atas. Nenek cerita soal keluarga Lee, keluargamu, yang semuanya… pure Korean. Apalagi papa kamu anak pertamanya Nenek, dan kamu cucu laki-laki pertama, paling besar. Nenek bilang besar harapannya untuk kamu bisa dapetin pasangan sesama Korean supaya keturunanmu juga nantinya pure Korean. Tapi karena kamu udah memilih aku dan mama papa kamu juga udah menerima, Nenek bilang beliau nggak bisa apa-apa selain merestui.”

“Lalu masalahnya apa, Na?”

“Nenek terdengar terpaksa waktu bilang merestui hubungan kamu dan aku. Nggak tau… aku ngerasa Nenek kurang sreg sama aku. Jae, aku takut hubungan kita tanpa disadari nyakitin keluargamu, terutama Nenek. I can see it clearly that you are your granny’s favorite.

“Na, aku paham ketakutanmu. Tapi please, kamu tau betul orangtua dan kakakku semuanya menerima kamu. Mama itu sampe bilang ke aku, dia sayang sama kamu, Na. Papa juga bilang kalau hubungan kita kenapa-kenapa, berarti yang salah aku, aku yang nggak bener jagain kamu.”

“Tapi Jae—”

“Nggak ada tapi. Kalau perlu, besok aku izin nggak masuk kantor, aku mau ajak ngobrol Nenek baik-baik soal ini.”

“Jangan, Jae. Aku nggak mau ya, kamu omongin lagi masalah ini ke Nenek. Aku nggak mau disangka ngaduin Nenek ke kamu. Nggak gitu maksudku, Hyunjae.”

“Ya terus gimana? Kecuali kamu mau hilangin perasaan insecure kamu itu dan percaya kalau Nenek ikhlas merestui hubungan kita, aku rasa nggak ada solusi selain aku harus ngobrol sama Nenek secepatnya.”

“Ya udah lupain aja, nggak usah dibahas lagi—”

“Lagi-lagi dengan gampangnya kamu bilang lupain aja. Kamu nggak bisa kayak gitu dong, Na, apa-apa dilupain bukannya diselesaiin.”

“Ya udah kita selesaiin lain waktu aja bisa nggak? Tunda dulu, please. Aku capek dari pagi udah keluar rumah, kamu juga pasti lebih capek lagi habis perjalanan dari Busan. Kita bicarain lagi dengan kepala dingin nanti.”

“Terserah kamu deh.”

“Aku mandi dulu ya? Beneran capek banget, pengen cepet tidur.”

“Oke, aku pamit pulang kalau gitu. Kamu istirahat, jangan banyak mikir aneh-aneh nanti kamu sakit.”

“Aku anter kamu ke depan.”

“Nggak usah, kamu mandi aja sana biar cepet istirahat. Aku pulang dulu, Na.”

“Hati-hati di jalan, sayang. Kabarin kalau udah di rumah.”

“Ya.”

Begitu Luna mendengar pintu utama unitnya tertutup disusul dengan suara tanda pintunya sudah terkunci, Luna menyandarkan tubuhnya di sisi sofa tempat Jaehyun duduk tadi, alih-alih pergi ke kamar mandi. Luna menikmati menghirup wangi khas Jaehyun yang masih tertinggal di sofanya—ia masih sangat merindukan Jaehyun dan menyesali malamnya berakhir dengan tidak baik. Sedikit banyak Luna menyesali dirinya yang tidak bisa menahan tangis ketika sedang melepas kangen dengan Jaehyun tadi. Karena pada dasarnya Luna memang ekspresif, apapun yang ia rasakan harus diutarakan saat itu juga dan itu yang terjadi malam ini.

Dibalik rasa rindu yang menggebu, rasa cinta yang semakin melekat kuat, terselip perasaan takut akan kehilangan yang begitu besar. Dan ketiga perasaan itu beradu dan menyatu di waktu yang tidak tepat. Membentuk sebuah emosi yang membuat Luna pada akhirnya mengalirkan air mata di saat yang bersamaan dengan dirinya yang sedang berbahagia karena akhirnya bisa beradu afeksi lagi secara langsung dengan Jaehyun, setelah dua minggu terhalang jarak.

Dengan mata terpejam, Luna menghirup dalam-dalam sekali lagi wangi khas Jaehyun yang samar-samar memanjakan indera penciumnya. Hanya doa yang bisa ia mohonkan agar hubungannya dengan Jaehyun segera membaik.