Abang


Langit sedang biru birunya ketika kamu menapaki jalan setapak yang memisahkan berbagai nisan di kiri dan kananmu. Bersama seseorang yang beberapa bulan terakhir terlibat dalam ceritamu.

Dari sekian banyak pilihan, kamu memilih percaya. Percaya pada seseorang yang mungkin saja telah sukses mengetuk lalu masuk kedalam hatimu, hanya saja kamu masih tak sadar–atau hanya berusaha mengelak dari perasaanmu sendiri.

Suna berjongkok kemudian mencabuti rumput dan tanaman liar yang tumbuh di sekitar makam kakakmu, begitupun denganmu. Beruntung makamnya tidak terlalu kotor karena dua bulan lalu orang tuamu baru berkunjung kemari.

“Kita Shinsuke.” Suna membaca nama yang terukir di batu nisan.

Kamu mengangguk. “Abang gue namanya Kita Shinsuke, biasa dipanggil Bang Shin. Orangnya berprestasi, kalo di rumah rajin bantuin mama sama papa, suaranya lembut, sorot matanya tajem tapi hangat disaat yang sama, nyaris sempurna. Kekurangannya cuma gak sayang nyawa.”

Suna menyentuh pundakmu, ia mengulas senyum tipis. “Kita kirim doa dulu yuk buat Bang Shin?”

Sebelum berdoa kalian menaburkan bunga terlebih dahulu, dan juga menyiramkan air sebagaimana yang sering orang-orang lakukan ketika berziarah ke makam.

Ketika memanjatkan doa, perasaan yang selama ini kamu kubur rapat-rapat, kembali ke permukaan. Rindu. Kamu merindukan sosok kakakmu yang satu ini. Semua memori usang yang selama ini tertimbun, mulai terputar ulang bagai kaset lama di dalam kepalamu.

Kamu dulu sangat dekat dengan Shinsuke, namun ketika ia menginjak bangku sekolah menengah atas, kalian mendadak asing, tidak seperti dua orang yang lahir dari rahim yang sama.

Puncaknya adalah ketika Shinsuke meregang nyawa akibat tawuran antar sekolah. Kamu benar-benar menutup segala sesuatu tentang dirinya hingga saat ini.

Tapi rindu yang menguasai ruang hatimu seakan meruntuhkan segala yang menghalanginya, termasuk egomu.

Suna memegang pundakmu dengan sigap. Tidak, kamu tidak menangis sedikitpun. Hanya saja kedua tangan dan kakimu bergetar hebat. Suna takut kamu jatuh.

“Gue benci Sun sama Bang Shin.”

Suna merespon dengan senyum tipis yang terulas di wajah eloknya. “Benci sama sayang beda tipis. Bang Shin pasti udah lama nungguin lo ngaku kalo rasa benci lo itu sebenernya bentuk rasa sayang lo yang terlalu besar buat dia.”

Kamu membisu, entah karena tak memiliki respon yang cocok atau karena ucapan Suna tepat sasaran.

Suna menyapukan jarinya tepat pada ukiran nama Shinsuke. “Halo Bang Shin, gue Suna Rintarou. Beberapa bulan belakangan, gue nemenin adik lo di berbagai cerita kesehariannya. Gue boleh request gak bang? Tolong doain dari atas sana supaya gue bisa jadian sama adik lo dan bikin adik lo seneng.”

Tawamu mengudara melihat Suna melakukan dialog dengan angin dan gundukan tanah, berlagak seperti bicara pada Shinsuke.

“Orang gila ngomong sama tanah.”

“Ngga gila lah, gue lagi minta doa ini. Lo juga kalo mau ngobrol atau minta doa boleh kok, gue yakin Bang Shin denger. I'll give you space

Kamu menahan tangan Suna yang bersiap untuk berdiri. “Gak usah, lo denger aja apa yang mau gue sampein.”

Dengan tanganmu yang masih sedikit bergetar, kamu mengelus kepala nisan milik kakakmu. “Dah puas ya lo bikin gue kangen gini? Coba dulu lo nurutin gue yang ngajak lo ke gramedia pas balik sekolah, pasti sekarang gue masih bisa denger omelan lo. Bang, lo udah ngerepotin banyak orang pas masih hidup, pas meninggal juga, dan sekarang gue harap lo gak ngerepotin malaikat ya diatas sana, dosa tau bang.”

“Gue cuma mau bilang, kalo kangen gak berarti benci gue ilang. Tapi benci juga gak berarti gue gak sayang sama lo. Bang, gue udah buat sebuah kemajuan dengan nyeritain tentang lo ke Suna. Gue harap lo gak iri ya sama Suna soalnya dia bisa deket sama gue walaupun anak geng, gak kayak dulu lo gue cuekin. Udah gitu aja bang, gue pegel banget soalnya.”

Kamu mengajak Suna untuk berdiri, kamu tahu kalau dia juga sama pegalnya denganmu. “Kuat berdiri?” Tanyanya.

Kamu mengangguk, tangan dan kakimu sudah tak bergetar seperti tadi, detak jantungmu juga sudah jauh lebih tenang. Kamu rasa kamu mulai berdamai dengan dirimu sendiri menyangkut masalah Shinsuke.

“Gue balik ya Bang Shin, inget pesen gue buat gak ngerepotin malaikat. Kalo lo kangen gue juga, bisa kali mampir mimpi gue sesekali? Sombong amat beberapa tahun gak pernah mampir.” Ujarmu kemudian menatap Suna, seakan bertanya apakah masih ada yang ingin ia sampaikan pada Shinsuke.

“Gue juga pamit ya Bang Shin. Tenang, adik lo aman sama gue. Dia juga dikelilingi orang baik kok.”

Kemudian kamu dan Suna mulai berlalu meninggalkan area makam dengan perasaan yang sama-sama lega.

Lega karena kamu baik-baik saja, untuk Suna. Lega karena kamu bisa menyampaikan rasa rindumu setelah bertahun-tahun dipeluk oleh gengsi, untukmu.