alasan


Kamu melangkah gontai memasuki minimarket yang sepi, sebenarnya jarak dari rumahmu kesini tidak jauh hanya saja cuacanya panas jadi terasa melelahkan. 

Setelah mengambil barang-barang yang diamanatkan oleh bunda, kamu berjalan menuju rak makanan ringan, menimbang-nimbang kiranya yang mana yang akan kamu beli.

“Yang itu aja, yang keju” sebuah suara terdengar di belakangmu, membuatmu otomatis menoleh dan menemukan senyum menyebalkan seseorang yang sangat kamu hindari.

Kamu memilih tak mengatakan apapun kemudian pergi dari hadapannya menuju kasir untuk membayar belanjaan dan pulang secepat mungkin.

Belanjaanmu tidak terlalu banyak memang, tapi Suna cepat, ia sudah berdiri di belakangmu dengan satu kaleng minuman di tangannya. “Buru-buru amat, gajadi jajan snacknya?”

Lagi, pertanyaannya tak digubris. Setelah si kasir menyebutkan nominal belanja kamu langsung membayarnya, “ambil aja kembaliannya” dan pergi begitu saja.

Kamu tak habis pikir, bertahun-tahun tinggal disini baru kali ini kamu bertemu dengan Suna di minimarket dekat komplek. Bertemu di sekolah saja sudah malas apalagi diluar sekolah.

“Lo kenapa sih benci banget sama gue dan temen-temen gue?” Suna mengikutimu dengan motornya yang di gas pelan, dan seketika kamu menyesal kenapa tadi tidak berlari saja menuju rumah.

Kamu mempercepat langkah, masih menghiraukannya. Namun Suna terus mengikuti seraya melontarkan pertanyaan yang sama.

“Emangnya penting banget lo tau alesannya? Kan ada ribuan orang yang suka sama GENG lo itu jadi satu dua orang yang benci ga akan ngaruh kali?”

“Tapi gue pengen tau alesan LO” melihatmu kembali menghiraukannya, Suna melanjutkan. “Kalo ga dijawab gue bakal ikutin lo sampe ke rumah terus gue tunggu depan rumah sampe ada yang nanya gue siapa dan nyuruh gue masuk”

Kamu mengerang sebal, memutuskan untuk meladeninya daripada harus terus diikuti. “Gue gasuka aja. Anak geng kayak kalian tuh sok banget tau ga? sok tenar, sok cakep, sok keren. Berasa penguasa sekolah lo? Mana kalo nongkrong gatau tempat banget, ngehalangin jalan, kayak koridor atau tangga sekolah punya nenek moyang lo aja”

“Nethink amat sih lo?” ujar Suna tak terima.

“Loh emang bener kan? Anak-anak kayak kalian ini pasti sok sokan doang sama banyak omong, tipe yang ceweknya dimana-mana ada, yang brengsek.” Kamu tersenyum meremehkan. “Yahh pokoknya gada bagusnya lah gitu isinya pasti yang jelek-jelek doang”

Suna mungkin telah melakukan kesalahan besar dengan menanyakan alasan kenapa kamu membenci ia dan teman-temannya, karena kini ia merasa amarahnya memuncak, siap meledak kapan saja.

Kamu menatap balik kedua mata rubah yang memicing tajam ke arahmu–tanpa ia bicara pun kamu tau bahwa ia marah, sangat marah. Tanpa sadar kamu sedikit bergidik, tapi berusaha keras tetap tenang.

“Gue ga nyangka isi pikiran lo ternyata sehina itu soal kita” tapi Suna memilih untuk menahannya.

Setelah berujar demikian, Suna menyalakan motornya dan tanpa bicara apapun lagi ia tancap gas meninggalkanmu yang kemudian menghembuskan nafas lega.

Jujur, untuk beberapa menit terakhir tadi Suna terasa berbeda dari Suna yang kamu tahu selama ini. Ia menyeramkan.