Dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri.

PondPhuwin oneshot au


Hubungan percintaan pada masa-masa sekolah menengah atas memang terasa begitu manis. Bahkan sebagian besar orang berpendapat bahwa masa-masa tersebut merupakan masa yang paling tidak terlupakan terutama persoalan cintanya, dan Naravit adalah satu dari sebagian besar orang yang setuju dengan hal tersebut.

Naravit dan Phuwin resmi menjadi sepasang kekasih ketika berada di tingkat 2 bangku persekolahan menengah atas. Saat itu segalanya terasa manis, dunia seperti milik berdua, orang lain hanyalah figuran semata. Setiap hari berjumpa, istirahat makan bersama, mampir ke perpustakaan untuk belajar bersama, sementara akhir pekan digunakan untuk jalan-jalan menyusuri tiap-tiap sudut perkotaan.

Namun seiring bertambahnya usia, rutinitas banyak berubah, ditambah waktu yang semakin hari rasanya semakin sedikit. Jika dulu, dalam satu minggu hanya satu hari tidak bertemu, maka kini bisa menyisakan satu hari untuk bertemu saja sudah sangat cukup. Menjadi dewasa tidaklah menyenangkan.

Naravit dan Phuwin sudah menjadi korban dari pendewasaan. Digempur oleh banyaknya tugas serta tuntutan dari sana-sini, pikiran yang semakin hari semakin bercabang, serta pertengkaran yang kadang kala memperkeruh suasana. Meskipun begitu, keduanya masih memiliki rutinitas yang sejak dulu tidak berubah, sesibuk apapun mereka, sekeras apapun dunia berusaha memisahkan keduanya.

Menyisihkan minimal satu hari dalam satu minggu untuk pulang bersama, lalu mencari makan di perjalanan pulang, diiringi perbincangan apa saja asalkan tidak menyangkut pekerjaan dan perkuliahan.

Pertama-tama, Naravit akan menjemput Phuwin di kampusnya atau sebaliknya, Phuwin yang menjemput Naravit. Untuk kali ini, karena Naravit pulang duluan, maka ia yang menjemput Phuwin yang pulang terlambat sebab masih ada evaluasi panitia ospek universitas. Phuwin merupakan mahasiswa yang bisa dibilang produktif serta aktif berkegiatan, ia sering menjadi panitia karena baginya menyenangkan bisa berinteraksi dengan banyak orang.

“Aku di ceng-cengin lagi.” Ujar Phuwin sedetik setelah duduk di samping Naravit.
“Oh iya? Soal aku?” Naravit bertanya sementara tangannya bergerak memakaikan sabuk pengaman untuk sang kekasih yang kini menyandarkan seluruh tubuhnya ke kursi diiringi helaan nafas lelah.

“Kan barusan aku izin balik duluan, yang lain masih pada ngobrol gitu pas evalnya udah selesai. Terus mereka kayak ‘duh enak ya Phuwin abis capek-capek jadi panitia langsung dijemput pacar’ yang lain langsung nyautin kayak ngecie-ciein gitu. Aku sih sebenernya gak apa-apa cuma malu aja.” Jelas Phuwin panjang lebar.

Naravit terkekeh, ia mencubit pipi kekasihnya sebelum melajukan mobilnya. “Pantes pipinya masih merah” katanya kemudian.

Setelahnya Phuwin sibuk mencari lagu untuk meramaikan perjalanan mereka sementara Naravit bercerita soal kerandomannya yang baru saja membeli bakso aci 12 bungkus karena diskon besar yang didapatkannya.

Sepanjang perjalanan, tak sedikitpun hening menguasai. Keduanya senang mendengarkan, pun senang ketika didengar. Menikmati waktu berdua seperti ini merupakan cara mereka untuk recharge energy setelah hari–atau minggu yang panjang.

Kali ini Phuwin menjadi penentu menu makan malam. Ia memilih sebuah restoran all you can eat dengan kebanyakan pilihan makanan khas Korea. “Aku dari minggu lalu kepengen makan daging-dagingan kayak gini.”

“Kenapa gak pas kita jalan minggu lalu aja? Malah baru mintanya sekarang.” Naravit menimpali.

“Baru pengen setelah kita jalan, jadi gak ada waktu lagi selain hari ini.”

Salah satu kebiasaan Naravit jika sedang makan bersama Phuwin, di tengah-tengah kegiatan memanggangnya, ia sesekali akan menyuapi Phuwin dengan leluasa tanpa diminta. Sementara Phuwin lebih terbiasa melakukan hal-hal kecil lain seperti mengisi air minum Naravit jika dirasa sudah sedikit, mengelap bekas saus yang tak sengaja tertinggal di sisi bibir Naravit, memberikan pelengkap seperti saus, sambal, dan lain-lain karena ia tahu Naravit suka ketika rasa makanannya lebih pedas.

Selepas makan, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Phuwin. Phuwin meminta Naravit mengambil jalan memutar agar mereka memiliki lebih banyak waktu untuk berduaan.

“Terus kan aku bilang mau pergi sama kamu, tapi malah-“ Naravit menghentikan ucapannya ketika mendengar dengkuran halus di sebelahnya. Dilihatnya Phuwin yang tengah pulas menyelami alam mimpi dengan bibir yang sedikit mengerucut lucu, ciri khas Phuwin ketika tertidur.

Mau tak mau Naravit tersenyum lembut melihat betapa polos dan tenangnya sang kekasih ketika sedang tertidur. Ia mengecilkan volume musik yang sedari tadi terputar agar tak menganggu tidur lelakinya. Tangannya terangkat untuk mengusap pipi milik Phuwin selembut mungkin, ia tahu betapa lelah Phuwin belakangan ini, di tahun-tahun terakhir kuliahnya ia masih mau menjadi panitia yang pastinya lebih banyak menyita waktu serta tenaganya.

“Tidur yang nyenyak sayang, capek banget kayaknya.” gumamnya lalu menarik tangannya kembali ke kemudi, membiarkan kekasihnya tidur dengan tenang.

Sesampainya di kediaman keluarga Tangsakyuen, Naravit tidak langsung membangunkan Phuwin melainkan diam di tempatnya sambil duduk menghadap sang kekasih untuk memandanginya dalam diam. Menikmati waktunya seiringan dengan helaan nafas Phuwin yang tenang. Dalam hatinya memuji betapa indah tiap-tiap bagian wajahnya, bak diukir sedemikian rupa, seakan terlahir dari sang Aphrodite.

Jari telunjuknya mengusap lembut kening yang semula mengernyit, membuatnya normal kembali. Turun menyusuri hidung bangirnya, kemudian berhenti sejenak di bibir merah muda yang terlihat sehat, lalu berakhir di dagu, sedikit menyentuh rahangnya.

I love you my sun, my star, my shine, my life.” Adalah ungkapan cinta yang selalu Naravit ucapkan ketika Phuwinnya tertidur, dengan suara yang begitu pelan namun menyiratkan sejuta ketulusan. “You’re this beautiful, I’m sure you’re god’s favorite creature.

Ia kemudian keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sisi satunya, lalu membangunkan Phuwin. “Phuwin, sayang, bangun yuk? Udah sampe, tidurnya dilanjut di kamar aja biar lebih nyaman.” Naravit menepuk pipinya lembut, sesekali mengusapnya hingga Phuwin bangun. “Tegakin dulu badannya, seat beltnya aku bukain dulu.” Phuwin yang setengah sadar menurut saja apa yang Naravit ucapkan.

Phuwin keluar dari mobil lalu memeluk Naravit cukup lama, membiarkan wajahnya tenggelam dalam ceruk leher sang kekasih, sementara Naravit mengistirahatkan dagunya di pundak lelaki yang lebih kecil darinya ini. Angin malam yang berhembus dingin tak berpengaruh sebab pelukan keduanya jauh lebih hangat dari penghangat manapun, dari selimut manapun.

“Udah yuk? Masuk angin nanti kamu kalo kelamaan di luar gini.” Naravit hendak melepaskan pelukannya, namun Phuwin enggan. “Ya udah lima menit lagi ya.” Ujarnya lagi diiringi kekehan ringan.

Lima menit kemudian, pelukannya benar terlepas. Phuwin mengecup pipi sang kekasih dibalas usakan lembut pada surainya, menjadi penutup hari yang sempurna untuk keduanya. Dunia ini memang bukan lagi hanya milik mereka, namun kini mereka membuat dunianya sendiri yang jauh dari campur tangan manusia lainnya, menciptakan persembunyian yang sempurna untuk saling jatuh cinta.