Done


Dua insan beriringan dengan hening. Berjalan tak berarah membawa rasa marah, kecewa, juga cinta–bersemayam dengan nyaman dalam hati yang terdalam.

Tak ada kata untuk bersua, pun untuk saling menyapa. Lama bersama tak jua berterus terang. Gerah dengan keadaan yang terus sama, kamu berdeham siap melontar kata. Namun suara darinya terdengar pula.

“Apa kabar?”

“Don't act like we've never seen each other for such a long time.”

Tawanya mengudara, memecah rasa yang lama tertahan paksa. Rasamu bergetar, merasa heran dengan diri sendiri karena bunga yang dulu kerap memenuhi relung hati dengan cepat berganti kecewa yang belum juga pergi.

“I want to make things clear between us” katanya mendapat dengusan tanda malas darimu.

Hari ini harusnya menjadi salah satu hari yang bersejarah karena selesainya ujian akhir sebagai salah satu syarat kelulusan juga. Tapi kemunculan Suna yang memintamu untuk berbincang cukup mengacaukan perasaan bahagia yang sempat membuncah.

“Everything's already clear.”

Dingin. Itu yang dapat Suna rasakan darimu. Tiap kata yang terucap, air muka yang terlukis, juga bahasa tubuh yang tercipta. Semuanya nampak asing, dan ia tahu bahwa kamu tak akan pernah lagi sama.

“Gue tau kenapa lo jauhin gue. Alesannya bukan karena lo gak pernah suka sama gue kan? tapi karena lo liat gue ciuman sama Kaori,” Suna berujar tepat.

Kamu jelas mengelak, menertawakannya seakan mengejek karena telah melontarkan omong kosong. “Lo tau apa soal perasaan gue? oke gue emang liat lo sama Kaori ciuman, but that ain't the reason why.”

Langkah terhenti, tatapan saling terbagi. Kalian menatap satu sama lain, mencari dusta yang barangkali tertera disana. Namun yang kamu temukan darinya hanyalah penyesalan juga kesedihan. Sebaliknya bagi Suna, yang ia lihat hanyalah ruang hampa yang menurutnya mungkin disebabkan oleh derita.

“Gue bener-bener minta maaf atas apa yang gue lakuin sama Kaori waktu itu. I can't refuse. Dan gue secara gak sadar ya nurutin apa yang dia mau. Tapi bukan berarti Kaori terang-terangan pengen ciuman sama gue, dia bilang penasaran soal gimana rasanya ciuman because her friends already did it. Terus gue-

“Gak butuh. Lo mau jelasin sampe berbusa juga gak akan ada yang berubah dari kita. You're wasting your time. So go back to the school and let's never meet again.”

Listen to me first. Setelah itu, lo bebas nentuin mau ninggalin gue dan gak pernah ketemu lagi, atau kita perbaiki semuanya.”

Diam menjadi jawabanmu. Kamu berperang dalam pikiran, di satu sisi ingin mendengar sementara di sisi lain merasa lebih baik tak pernah tahu. Maka Suna menyimpulkan dengan setuju.

“Kaori bilang penasaran soal temennya yang udah pernah ciuman, terus bercanda ke gue kalo gue mau apa ngga nyobain sama dia. Gue jawabnya juga bercanda, gue bilang mau. Kaori anggap jawaban gue serius. This is our fault, I'm so sorry for this. From the bottom of my heart, i apologize to you.” Suna membuat gestur meminta maaf yang menunjukan keseriusan dari penyesalannya.

Tapi kamu tak bisa begitu saja menerima alasan Suna. Kamu menyesal, kamu ingin memilih untuk tak pernah tahu sama sekali daripada mendengar hal bodoh seperti itu.

“Lo sadar gak sih dia sengaja bilang kayak gitu? ah ralat, dia sengaja ngajak lo ciuman supaya gue liat, terus hubungan kita rusak. Sadar gak kalo orang kesayangan lo itu adalah orang yang sengaja bikin kita kayak gini?”

“Nggak. Kaori nggak mungkin mau rusakin hubungan kita. Lo juga udah deket kan sama dia? kenapa lo bilang kayak gitu? soal ciuman kemarin ada salah gue juga.”

“Sekarang gue tau, lo bukan gak sadar tapi bodoh. Jelas-jelas dia sengaja mancing lo kayak gitu. Dan lo tau gak kalo waktu ciuman lo sama kedatangan gue emang udah sengaja dia setting sedemikian rupa? masa iya gak ada maksud tertentu?”

“Kaori sama gue udah lama bareng, i know her well. Kalo pun dia niat ngerusak kita, tujuannya apa?”

“Kenapa gak lo tanya aja sama orangnya? lagian kalo gue bilang juga kayaknya lo bakal tetep bilang gak mungkin,” kamu begitu geram sampai-sampai wajahmu memerah menahan agar nada suaramu tidak naik.

Suna melempar pandangan, mencari kata untuk diucap sebagai balasan. Ia masih tak mau berburuk sangka pada Kaori, ia juga tak yakin Kaori seperti itu. Di lain sisi, Suna juga tak bisa bilang begitu saja kalau kamu berbohong.

“Oh satu lagi, I'm telling you all of this bukan berarti gue sebenernya ada rasa sama lo. Gue emang gak pernah punya rasa sama lo dan gue greget sama sifat lo yang terlalu bodoh sampe bisa dimanfaatin sama Kaori, orang yang lo kenal baik bertahun-tahun lamanya.”

“Gue masih gak bisa percaya, sama lo yang gak ada rasa ke gue dan sama Kaori yang manfaatin gue. Dia udah nyelamatin gue dulu, jadi udah seharusnya gue balas budi.”

“Tapi lo berdua berlebihan. Balas budi gak sama kayak dimanfaatin. I'm telling you, Kaori gak mau lo jadi milik orang lain tapi dia gak ada rasa sama lo. Apalagi namanya kalo bukan mau manfaatin?”

You're too much. Lo dipengaruhi ya sama Konoha makanya ngejelekin Kaori segininya? Lo tau kan kalo Konoha mau rusakin hubungan kita? dia pasti bilang yang nggak-nggak demi jauhin kita. Kaori bukan orang yang seburuk itu.”

Tak habis pikir, padahal Kaori tak begitu menyembunyikan kelakuan buruknya, tapi Suna seakan dibuat buta. Baru kali ini kamu merasa ingin memukul kepalanya agar dia sadar.

“Konoha gak mengaruhin apapun. Dan ini bukan soal Konoha, tapi soal lo sama Kaori. Kalo lo terus-terusan kayak gini, lo gak akan bisa lepas dari Kaori.”

“Gue emang gak ada niatan lepas dari Kaori.”

Selesai sudah. Keraguan untuk pergi yang sedari tadi menghantui, hilanglah sudah. Kini kamu yakin bahwa berpisah adalah keputusan yang paling tepat. Tak ada lagi alasan untuk bertahan, kamu juga tak lagi memiliki kekuatan untuk menahan.

You said that you want to make things clear. Tapi lo gak mau dengerin gue dan gak mau lepas dari Kaori. Sia-sia Sun. Gak akan ada yang bisa diperbaiki kalo lo sendiri gak mau lepasin Kaori. Ini berandai-andai aja ya, ke depannya mau gimana kalo kita balik? gue nomor dua karena Kaori bakal selalu jadi prioritas lo? kita setiap hari berantem karena Kaori berusaha misahin kita? we're hopeless.”

Lagi, Suna dibungkam. Ia berusaha memilah kata yang akan diucap, membalasmu dengan jelas agar langkahnya tak lagi salah.

“Gue bakal jadiin lo prioritas, of course, because you will be my girlfriend kalo lo punya perasaan yang sama kayak gue. Tapi kalo Kaori butuh gue, gue minta lo ngerti, gak akan setiap saat juga kan? i really can't let her go just like that.”

“Gue bukan tipe orang yang gak bisa ngerti kalo ada hal lain yang harus dilakuin diluar suatu hubungan. Tapi untuk kasus lo itu beda. This is 'that' Kaori that we're talking about, gak ada yang bisa jamin ke depannya dia gak bakal ngapa-ngapain. Katakanlah gue buruk sangka, tapi kalo nantinya yang ada kita cuma terus berantem, baikan, berantem, baikan karena orang luar, buat apa?”

“Segitu jeleknya kah pikiran lo soal Kaori? tau apa lo soal Kaori? cuma ngalamin sekali aja lo udah ngecap ini itu ke dia. Lo boleh marah ke gue, tapi gak dengan ngejatuhin orang lain,” Suna balik memarahimu.

Kamu semakin heran dengannya, memangnya salah memberi saran? mengantisipasi untuk hal-hal yang akan terjadi? memangnya salah jika kamu mengatakan fakta soal gadis yang sudah merusak 'kalian'?

“Terserah lo. I've warned you, Kaori orang yang licik dan dia manfaatin lo. Better lo sadar dan lebih tegas ke dia dari sekarang sebelum jatuh semakin dalem. And, gue gak mau memperbaiki semuanya dari awal.”

Setelah berujar demikian, kamu berniat pergi, namun Suna menahanmu dengan tatapannya seperti di kali pertama kalian bertatapan secara jelas beberapa saat lalu. Namun hatimu tak akan lagi goyah, keputusanmu terlampau bulat, rasamu sudah penuh kecewa.

“Gue janji bakal bagi waktu yang adil, gue juga bakal berusaha supaya Kaori bisa buktiin ke lo kalo apa yang lo bilang itu salah. Please give me a second chance,” mohonnya, dengan nada terlampau sendu.

“Ngga perlu. Mind your own life for now, we're officially done. But i want to tell you; me and your friends already warned you about Kaori. Please think about it.”

Lagi dan lagi, Suna menahanmu pergi. Sebab ia tak mau kehilangan, tidak dua kali, dengan orang yang sama lagi.

“Gue belajar gimana caranya mencintai seseorang karena lo. Gimana ceritanya lo bukan orang yang bakal nerima cinta gue untuk pertama kalinya?”

Kamu memintanya untuk melepas genggamanmu, membiarkanmu pergi tanpa harus menoleh ke belakang lagi, benar-benar berjalan sendiri dengan kisah yang terpisah mulai saat ini.

“Yaudah bagus dong. Lo udah tau caranya buat bisa jatuh cinta sama orang lain tanpa harus bingung lagi. I wish for our happiness.

Setelahnya, tali benar terputus. Tali tak kasat mata yang selama ini mengekang mereka, mencekik seakan menuntut banyak hal. Cinta sederhana yang belum sempat bersemi, belum sempat berkisah dengan dirinya sendiri. Cinta sederhana yang berakhir perpisahan, yang berakhir di jalan berbeda.